Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Senin, 10 Mei 2010

Plato vs Aristoteles (sastra)

Plato memandang seni sebagai mimesis (tiruan) dari kenyataan. Seni hanya menyajikan suatu ilusi tentang kenyataan dan tetap jauh dari kebenaran. Oleh karena tiruan, maka nilai seni menurut Plato rendah. Sastra sebagai salah satu cabang seni yang bermedium bahasa, dikatakan lebih rendah karena tak bisa di raba dengan panca indra.
Adapun jalan pikiran Plato (Luxemberg dkk, 1992:16) yakni kenyataan yang dapat kita amati setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda berwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide yang asli (gambar induk); terdapat aneka macam bentuk ranjang dan meja, tetapi itu semua berasal dari ide atau gambar induk mengenai sebuah ranjang dan meja. Bila seseorang tukang membuat almari, berarti ia menjiplak almari seperti dalam dunia ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai dengan yang asli (kenyataan yang dapat kita amati dengan panca indra selalu kalah dalam duni ide). Tetapi seorang tukang lebih dekat dengan kebenaran, karena jiplakannya bisa di raba.
Berbeda dengan pandangan gurunya, Aristoteles menolak pemikiran Plato mengenai kesenian. Menurutnya, seni bukanlah kegiatan meniru kenyataan, tetapi merupakan sebuah proses kreatif yang berpangkal dari kenyataan. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan: adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya, atau ”barang-barang seperti pernah ada, atau seperti yang kita bayangkan, atau seperti adanya ada” (yaitu fakta dfari masa kini atau masa kini atau masa silam, keyakinan, cita-cita).
Dalam Poetika, Aristoteles mengutarakan beberapa pandangan yang bagi perkembangan teori sastra selanjutnya teramat penting. Ia tidak lagi memandang sastra sebagai suatu copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan melalui ”universalia” (konsep-konsep umum). Dan ini jelas berbeda dengan pemikiran Plato, yakni dunia ide, melainkan sebagai pikiran, perasaan, dan perbuatan yang khas bagi seorang manusia. Itulah sebabnya mengapa Aristoteles menilai sastra lebih tinggi dari pada penulisan sejarah.
Konsep mimesis dan creatio ini berimplikasi besar pada perkembangan sastra di era setelahnya. Sehingga kemudian memunculkan pendekatan mimesis dan ekspresif. Pendekatan mimesis membawa pembaca lebih menitik beratkan pada kenyataan, sedangkan ekspresif berpusat pada pengarang selaku pencipta.