Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Senin, 12 April 2010

Sebuah Catatan Tak Rampung

Kita berdiri di bangsa ini dengan berpongah ria, seakan hidup hanya untuk menikmati saja. Sejarah tak mengajari kita untuk menjadi pribadi yang elegan. Sejarah malah membentuk kita menjadi manusia robot yang bervisi ke depan. Meninggalkan sejarah yang diusahakan oleh pendahulu kita. Baiklah kita anggap diri ini menjadi bagian dari Indonesia. Meski saya yakin, keindonesiaan macam apa tak pernah ada yang menyangsikan, mempertanyakan, atau menggugat. Karena kita tahu bahwa kita adalah bangsa Indonesia. Konon yang melebar dari sabang-merauke. Itulah Indonesia yang menjadi doktrin kita.

Membaca "Anak Semua Bangsa", roman Pramoedya, membuka mataku akan sebuah suasana yang benar-benar asing. Ternyata kita mempunyai rumpun panjang yang belum banyak disibak ke permukaan. Kita begitu fasih jika ditanya berapa tahunkah Belanda mencengkram Ibu pertiwi. Sejarah kita mengajarkan juga bagaimana penderitaan yang tak bisa lagi diungkap dengan kata. Tetapi ada banyak hal yang membuat kita lebih asyik bermain dengan keasyikan sendiri. Mematah-matah garis kehidupan yang harusnya digali untuk membentuk karakter berbangsa. Bukankah sejarah itu sebuah memori? Sebuah masa silam yang tak berelevansi lagi?

Karya Pram (Aku baru baca Bumi manusia, Anak Semua bangsa, Gadis Pantai), telah memaparkan kepadaku bahwa kau sebenarnya tak tahu apa-apa. Tak ada yang harus kubanggakan dari yang selama ini kuketahui. Karena banyak hal yang tak kukutahui, sehingga mau tak mau aku harus mencari itu. Menyelam ke dasar laut untuk membuktikan bahwa laut itu dalam atau dangkal.