Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Rabu, 08 Juni 2011

Mental Korup bermula dari Anda.

Temanku mendapat kejutan spesial dari siswanya, ketika UAS di sekolah yang diajarnya minggu kemarin. Karena mengambil soal salah satu siswanya yang nyontek, sebuah umpatan "Jancuk" hinggap di telinganya. Tidak hanya itu, secara berang, siswa tersebut melancarkan serangan kata-kata memberontak. Temanku hanya tersenyum kecut, tetap pada pendiriannya. Tak mau memberikan anulir terhadap keputusan yang dibuatnya.

Sebuah pengalaman usang sebenarnya bila kita berbicara pendidikan di negara ini. Sebuah adegium keliru, ketika sebuah nilai (keberhasilan) harus ditempuh dengan cara-cara kotor. Sudah tidak asing lagi, bila stiap Unas berlangsung, media-media getol sekali mengabarkan kecurangan. Baik itu siswa, guru, bahkan dinas pendidikan terkait. Alasannya sederhana, supaya berhasil. Jika tidak, reputasi yang dijaga keramatannya akan punah.

Kemudian apa yang harus kita bingungkan, bila di negara ini mental korup senantiasa subur. Pemimpin-pemimpin kita yang menjadi pesakitan dan tersandung kasus korupsi, mungkin hanya potret kecil dari mental korup di bangsa ini. Hanya karena jabatan dan posisi figur publik, tingkah polah mereka santer dibicarakan. Atau mungkin adem ayem saja karena tak ketahuan. Nah, jangan-kangan mereka tidak lebih sadis dari kita, bila kita pada posisi mereka. Sebab, apa yang ditampilkan elit kita itu, cerminan dari seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa.

Pendidikan yang idealnya mencetak generasi pembaharu, malah kehilangan tajinya dengan melahirkan mental-mental korup. Bagaimana kita akan berpikir untuk merubah keadaan yang sedemikian ini? Realitas di lapangan, berbicara demikian. Krisis di negeri ini tak akan bisa pudar hanya dengan mengecam pihak-pihak terkait yang kebetulan saat itu tersandung atau diduga kasus korupsi. Sementara, pengecam berlagak sok suci.

Tak ada cara lain. Pendidikan sebagai pencetak pondasi SDM, harus mampu berdiri tegak. Budaya nyontek, semisal, perlu ditindak sebagai pembelajaran antikorupsi. Bukan malah membiarkan atau bahkan ikut berpasrtisipasi. Kita sudah terkonstuk pada budaya searah, bahwa dalam hidup kita fardu ain mencapai apa yang kita inginkan. Apapun jalan dan bagaimana rangkaian ceritanya. Dalam Unas, sebuah kelulusan bukan malah menjadi momok yang perlu ditakuti. tetapi sebagai sebuah ajang untuk merayakan segenap kemampuan. Sebagai tolak ukur lebih jauh. Sehingga bila kita gagal, haruslah menyadari bahwa itu sesuatu yang biasa. Pendidikan harus berlaku demikian.

Minggu, 05 Juni 2011

Senja di atas jembatan Dinoyo..



Sore yang cukup manis. Dengan berbekal kamera saku digital pinjaman, saya mengambil peruntungan mengunjungi Jembatan legendaris. Konon di sana sebagai saksi bisu pertempuran arek surabaya vs penjajah kolonial. Selain itu, di bawah jembatan ini mengalir sungai bernama kali mas. Sungai purba nan bersejarah. Konon, sungai ini pernah dilewati tentara mongol ketika hendak membuat perhitungan dengan Kertajaya, raja kediri,.

Di sebelah kana jembatan ini terdapat dua gedung megah. Sayangnya hingga kini terbengkalai, sehingga tak jadi megah. Beberapa bulan lalu teman saya bilang "emang gedung ini kapan mulai dibangun?", saya hanya tersenyum sambil menirukan pertanyaannya yang juga saya pertanyakan pada setiap orang sejak dulu.