Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Senin, 28 Juni 2010

"Ariel" menguak sebuah kebetulan.


Topik seputar video porno Ariel masih berseliweran di tengah-tengah ketakmapanan negeri ini. Ketika sebuah ketakpuasan selalu menghantui kita, maka objek untuk pelampiasan tentu saja harus ada. Entah beruntung atau sial, kini pelampiasan itu mengarah pada Ariel, mantan vokalis peterpan. Semua lapisan masyarakat saling beropini, pro dan kontra merebak dengan cepat dan terkadang melejit dengan sendirinya. Posisi catatan ini bukan hendak menghujat atau mendukung Ariel, tetapi lebih memilih opsi tengah yakni keragu-raguan, kebimbangan juga ketaktahuan. Dalam menafsirkan kasus Ariel dan aneka wacana yang menempelinya tentu saja bukan sebuah pekerjaan mudah. Bila Bhaba memperkenalkan dunia ambang sebagai fasilitator antara dua oposisi biner, maka tulisan ini kurang lebih berpijak di situ.

Seks sepertinya masih menjadi perihal amat tabu di negeri ini. Kita bisa lihat bagaimana reaksi di sekolah-sekolah ketika video artis ini merebak. Razia Hp menjadi cara termudah sembari mengetatkan pengunduhan di dunia maya. untuk cara kedua semua aparatur negara bersuara. Tanpa disadari, kita memang telah hidup di alam yang kaya akan hal yang disebut tabu tersebut. Kasus semacam ini bukan menjadi yang pertama, tapi sudah kesekian. Namun seperti sebelumnya, masih heboh dan tekesan berlarut-larut. Kehebohan ini mengindikasikan ada dua hal, yakni keantian terhadap hal "begituan" dan kerinduan terhadap hal "begituan". Namun apapun indikasinya, saya lebih cenderung mengamini faktor kedua.

Pelan dan terkadang cepat, konsumsi masyarakat terhadap pornografi makin melejit. Tak peduli desa dan kota, semuanya bermuatan sama. Ketika banyak porno-porno lain berseliweran dalam banyak hal di sekitar kita, kecenderungan untuk menjiwai dan menikmati menjadi langkah utama. Tetapi setelah terjadi keributan, entah oleh apa, kesan menghakimi dan mencuci diri menjadi isu utama. Seakan-akan keamatan tabu tadi masih sakral , padahal dengan demikian malah menandakan jika hal tabu tadi menjadi kelumrahan yang selalu dirindukan.

Madura Dari Dekat



Madura dari dekat

adalah kejujuran
adalah kelugasan
adalah keberagaman

sebaris nyanyi malam yang
menjalar pelan dan tak mungkin terdengar.

Sampang, 27 Juni 2010