Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Rabu, 01 Juli 2015

Lelaki Penggenggam Banner itu Telah Pergi


Di hari pertama puasa kali ini, saya mendapati kabar yang begitu membuat diriku terhuyung. Salah satu sahabatku harus memenuhi panggilanNya. Entah bagaimana saya dapat membalas apa yang selama ini dia berikan di tiap kebersamaan kami.
-----------
Hakim, salah satu murid saya yang memiliki integritas. Saya mengenalnya lima tahun yang lalu. Saat mengajar di SMK Tri Guna Bhakti, kelas Hakim lah yang pertama kali kumasuki. Meski sekolah berada di pinggiran kota, namun anak-anak dalam kelas itu memiliki daya tarik. Tentu saja, salah satunya sang kapten, yakni Hakim. Di kelas, dia cukup menonjol. Murah senyum. Dan amat antusias dengan apa yang saya sampaikan. Sebenarnya, saya tak menyangka juga jika dua dari siswa kelas tersebut akan menjadi sahabatku ke depannya. Hakim dan Rama. Keduanya, kerap tertukar saat aku memanggil keduanya. Bukan karena mirip, tetapi jeleknya daya ingatku.

Selepas lulus pun, susah sekali mengusir tentang sosok Hakim. Dan kalau sudah berpikir Hakim, saya juga akan mengingat Rama. Satu paket. Ini juga bukan tanpa alasan. karena tiap saya bertemu Hakim, hampir pasti selalu ada Rama. Kalaupun bertemu salah satu dari mereka, saya akan tanya lebih dulu: Hakim ke mana? atau Rama ke mana?

Persahabatan kami lebih intens saat bulan puasa dua tahun lalu. Kebetulan saya tinggal sendirian. Sehingga kerap keduanya bermalam di kontrakan. Kobtrakan saya berada di daerah Asempayung, Gebang putih. Belakangnya kampus ITS. Padahal rumah keduanya cukup jauh dari tempatku. Namun karena barangkali ada chemistry diantara kita, kebersamaan itu tak bisa dielakkan. Entah itu mulai berbuka bersama, sahur bersama, atau ngobrol sana sini sambil bermain playstation. Saat bermain PS, Hakim tampil begitu digdaya. Aku tak pernah bisa mengalahkannya. Namun begitu, saya tak pernah mengakui kekalahan saya. karena selalu ada saja alasan yang saya utarakan.

Di lain waktu, pernah juga membuat film dokumenter tentang perjalanan kami mencari takjil gratis. Kami menyebutnya dengan tiga kaum dhuafa. Tujuannya yakni masjid Al-falah, berada di sebalah selatan Taman Bungkul. masjid tersebut memang mengalokasikan takjil baik makanan dan minuman yang cukup banyak. Yang saya sayangkan, film itu tak bisa kutemukan lagi di mana lektaknya.

Yang cukup terkaing-kaing yakni saat sahur bersama. Berharap di masjid Al-Akbar, Pagesangan, ada kegiatan sahur gratis. Ternyata tak sesuai dugaan. Kami parkir di masjid sekitar pukul 02.00. karena tak ada tanda-tanda ada makanan gratis, akhirnya kami mencari penjual makanan. Alhamdulillah, susah sekali menemukan mereka. Sampai kaki kami menginjak pasar Jambangan. Di situ terdapat satu-satunya penjual soto ayam, yang kebetulan akan tutup. Terpaksa dengan negosiasi, kami menikmati soto super hemat di depan ruko. Subuh yang masih lama, membuat kami tiduran di lantai ruko. Saling membincangkan kebodohan kami pagi itu. Hakim dengan kekonyolannya. Dilengkapi Rama. Biasanya kalau begitu, saya yang dikeroyok.

Sempat vakum beberapa bulan, setelah sebelumnya sebulan penuh dalam kebersamaan. kami bertemu lagi di kos-kosan baruku. Di daerah Bulak Rukem Timur. Hakim dan Rama kembali bersamaku. Tiap malam kami selalu beradu kepandaian main catur. Untuk urusan catur, saya lebih canggih ketimbang memencet tombol stick PS. Hal ini sampai-sampai, saya kadang lupa kalau dulu Hakim pernah menjadi muridku. Karena ejekan saya kadang vulgar dan cenderung kekanak-kanakan.

Hakim & Rama, merupakan satu paket. Tapi mereka bukan sisi mata uang. Mereka adalah manusia sebagaimana saya. Tak jarang saya mendapati mereka tidak akur. Kadang masalah kecil yang kemudian dibakar egois, menjadi emosi berlebih. Menurutku ini bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Ini manusiawi. Pershabatan tanpa ketak akuran, susah sekali dibayangkan. kalau sudah begitu, saya akan berdiri di tengah. membiarkan mereka belajar dari emosi-emosi yang meletup. Buktinya, mereka mampu melepaskan masalah dari ketak akuran menjadi seperti sedia kala. Baik-baik saja.

Puncaknya, ini saya pikir, keduanya menjadi pendamping saya dalam menyiapkan ribetnya prosesi pernikahan. Mulai melipat undangan. Menjemput Bapak dan Pakdheku di terminal. Menemaniku di malam-malam menjemput hari bahagia. Tidur dalam sebuah ruangan sempit dengan peserta tidur yang membludak. Menjadi tukang foto di akad nikah. Mengunjungi anakku yang baru saja lahir. Hakim dan Rama telah benar-benar masuk ke wilayah-wilayah privat, yang bahkan saudaraku tak tahu. Saat demikian, saya menjadi lebih berarti. Saya sebatang kara, ibuku meninggal. Bapakku juga tak pernah bersamaku semenjak kecil. Sementara saudara-saudaraku berada di kampung.
-----------
Kabar dari Bu Ari pagi itu, membuat skema emosiku berubah drastis. Hakim, sahabatku, telah berpulang. Kecelakaan. Secara detail aku tidak bisa menceritakan di sini. Namun, sekali lagi siklus kehidupan akan senantiasa terjadi. Sahabatku, pagi itu, telah lebih dulu menghadap Allah. Selanjutnya tentu saja, giliran kita yang akan menghadapNya.

Selamat jalan, mas Hakim (laki-laki penggenggam banner)

:Di suatu waktu, saya dan Rama akan mengunjungimu

(Prambon, 18 Juni 2015)

Bila Ternyata: Asal Muasal Penciptaan

sisa puntung rokokmu tidak lama lagi
akan berulang tahun. ini yang kelima.
daftar catatan menu telah sibuk
menyesueikan dirinya berjam-jam
di depan lemari berisi rempah-rempah.
katamu: yang spesial, akan spesial. harusnya
yang bernas, akan bernas. harusnya

ini masalah logika. bila penciptaan
memerlukan ketaatan, maka
pasrahlah dengan ketentuan,
: maaf, ini tidak berhubungan dengan ramadhan
ini hanyalah cerita puntung rokok
yang akan merayakan hari jadinya
di waktu tertentu.
tepatnya, kali kelima.

kamu telah menciptakannya.
asal sebab kamu menghisap. mengambil sari pati
sehingga tercipta. bukankah di sana terselip harapan?

::selamat ulang tahun puntung rokokmu
berolehlah ketentuan atas takdirmu
pada basis penciptaan dan koloni-koloni
yang menyemut di asbak-asbak
yang tidak sama sekali menarik
untuk dibicarakan dalam forum-forum dakwah
//kecuali label-label: merokok membunuhmu

sekali lagi, ini bukanlah tentang ramadhan
ini bukan hal-hal mayor.
bilapun penciptaan
ketentuan yang melibatkannya hanya pada hal minor.
--sebuah puntung rokok yang telah habis sari patinya hendak berulang tahun.

bukankah lebih menarik mendiskusikan hal apa yang akan kita santap saat berbuka tiba?

itu saja.
----------

(Surabaya-Prambon/senja ramdahan 1437H, 17-19 Juni 2015)

Selasa, 30 Juni 2015

TANAH AIR: Lidah, Darah, dan Perlawanan

(Pembacaan Novel Pulang Karya Leila S. Chudori)

Kalau aku mampus, tangisku
Yang menyeruak dari hati
Akan terdengar abadi dalam sajakku
Yang tak pernah mati
(Subagyo Sastrowardoyo; Sajak yang Tak Pernah Mati)

PULANG, novel tulisan Leila S. Chudori, merupakan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013 (KTA). Terbit pertama kali di pengujung Desember 2012. Setelahnya mengalami beberapa percetakan ulang.

Saya membaca novel ini di cetakan keempat Desember 2013, namun tahun pembacaannya cukup mentereng, yakni Juni 2015. Berarti ada jarak 2 tahun lebih sejak buku ini beredar. Perlu diketahui, di terbitan yang saya baca, sudah terdapat logo KTA. Catatan lainnya, di lembar pertama, kita akan menemui testimoni dari beberapa tokoh sastra, sosiolog, psikolog, wartawan, dan juga pecinta buku. Kata lainnya, bahwa novel ini memang berkualitas. Anda harus segera membaca.
Jika ingin sari pati dari novel ini, silakan lihat halaman belakang. Sinopsis dua bagian (Paris, Mei 1968 – Jakarta, Mei 1998), dan baris terakhir sebagai kata kunci:
::Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Perancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.
----------
Tragedi kemanusian di tahun 1965, tepatnya 30 September, merupakan sebuah letupan dinamit penderitaan yang amat sangat berkepanjangan dan menimbulkan beragam intrik-polemik, terutama bagi keluarga korban. Pemerintah dengan merancang strategi politik, bersih diri-bersih lingkungan, dari semua yang berbau Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menimbulkan perang saudara berkepanjangan. Penangkapan, interogasi, penyiksaan, pembuangan, pembunuhan, secara sporadis menyerang keluarga, saudara, teman dan lainnya yang mereka anggap sebagai PKI. Tragedi kemanusiaan tersebut tidak sebentar. Sebuah tragedi tepatnya di Mei 1998, membuat semuanya menjadi lebih baik. Setidaknya, bayang-bayang tragedi 1965 berakhir dengan turunnya sang jenderal dari tampuk pimpinan. (Sejarah yang dibelokkan pada masa orde baru, di era reformasi, mulai kembali diluruskan beramai-ramai dalam banyak versi. Termasuk dalam Pulang)

Novel PULANG, mengawali ceritanya dari tahap itu. Dimas Soeryo, seorang wartawan di Kantor Berita Nusantara, harus terasing dari tanah airnya berpuluh-puluh tahun. Ia dan juga beberapa rekannya yang tengah mengikuti konferensi pers di Kuba, keberangkatan sebelum 30 September, tidak bisa kembali karena di Indonesia telah terjadi penumpasan PKI. Dimas dkk, termasuk orang yang diburu saat itu. Sehingga, jika mereka kembali, maka penjara dan kuburan akan menanti mereka. Pilihan yang tepat yakni mengembara. Tentu saja dengan konsekuensi, meninggalkan seluruh keluarga di tanah air, yang juga diburu-buru aparat. Pada mulanya, mereka menuju China dan selanjutnya tingga di bawah rezim komunis selama hampir tiga tahun. Selanjutnya, pintu kehidupan baru terbuka: Eropa dengan segala kebebasannya.

Paris, menjadi agenda terakhir pengembara politik tersebut tinggal. Mereka mencari cara bertahan di negeri Eiffel tersebut dengan penuh liku. Pusat penceritaan yakni Dimas Soeryo, seorang yang tidak memiliki afiliasi politik apapun namun dituduh komunis. Bersama rekannya menghidupi diri dengan semua kekuatan yang dimiliki. Hingga pada suatu waktu, mereka (Dimas, Mas Nug, Risjaf, Tjai) mendirikan sebuah restoran kecil yang beranama Tanah Air. Sebagai sebuah replika kerinduan pada Indonesia.

Sudut Pandang
Meskipun pusat penceritaan pada Dimas Soeryo, namun di novel ini sudut pandang dari beberapa tokoh yang semakin menguatkan sosok Dimas sendiri. Vivienne (istrinya), Lintang Utara (Anak semata wayangnya), Hananto (pimred Nusantara) Segara Alam (putra bungsu mendiang Hananto P., pemimpin redaksi Nusantara, yang juga anak kekasih Dimas pada mulanya, Surti Andini), Bimo (Putra Mas Nug, wakil pimpinan Nusantara yang kini bersamanya di Paris). Juga surat-surat dari orang terdekat Dimas yang mengabarkan secara intens apa yang terjadi di Jakarta pada masa kerusuhan (Surti, Kenanga, Aji, Aziz).

Alur

Pulang, tidak mengisahkan kepada kita (secara kemasan) dengan kronologis mulai awal sampai akhir. Kilas balik ditampilkan masa lalu, masa kini, dengan acak tetapi dengan sangat bagus. Sehingga, saya menyebut dengan puzle, kepingan-kepingannya sangat berhasil.

Drama Keluarga

Terlepas dari isu yang diangkat sensitif, tetapi tak menghilangkan sisi romantis dari semua tokohnya. Juga kekonyolan yang kerap terjadi. Kita akan melihat dari dekat kehidupan keluarga multikultur, ayah Indonesia-Ibu Prancis, dalam keseharian keluarga Dimas. Lengkap, mulai bertemu, menikah, hingga keduanya memutuskan bercerai. Tentang kisah asmara Lintang Utara, anak semata wayangnya, dengan Nara dan Alam.

Kita juga disuguhi romantisisme masa lalu Dimas saat menjadi mahasiswa. Cinta matinya dengan Surti Andari yang kemudian tidak pernah dimilikinya. Begitu juga rekan lainnya. Semuanya menjadi sebuah racikan cerita yang ciamik dari ketegangan-ketegangan sejarah yang tidak beradab.
1968-1998

Novel dimulai dengan sebuah prolog tahun 1968 tentang penangkapan Hananto Prawiro, pimred Nusantara. Sudut pandang pelaku yang saat itu bekerja sebagai tukang cuci cetak film. Yang kebebasannya terampas karena selalu diburu aparat.

Selanjutnya, panggung cerita menjadi milik Dimas Soeryo, dengan segala pemikiran, kehidupan, dan pengetahuannya yang cukup besar dalam bidang kesastraan, film, dan wayang.

Epilog Pulang diawali dengan surat wasiat Dimas pada putrinya yang tengah meyelesaikan penelitiannya tentang nasib keluarga korban politik 65 di Jakarta. Keberadaan Lintang Utara sendiri tepat di masa krisis bulan Mei 1998. Sehingga ia juga mengalami chaos secara langsung. Isi surat Dimas yakni merasakan bahwa tidak lama lagi ia akan pulang selama-lamanya. Termasuk keinginannya untuk dimakamkan di daerah perkebunan karet, dekat dengan makam Chairil Anwar.

(Ruang Pribadi, 30 Juni 2015)

Sempoyongan

Miskin baru saja ikut puasa. Pertama kali pula. Padahal usianya kini sudah 20 tahunan. Ditambah lagi, ia islam semenjak dalam kandungan. Kedua orang tuanya menikah dengan berikrar dengan diawali syahadat. Pun saat usia kandungan 6 bulan. Keluarganya mengundang seorang mubaligh untuk ceramah syukuran. Saat lahir, kedua telinganya didahului dengan adzan dan iqomah.
-----
Tentu saja, sebagai kawan yang baru kenal, saya cukup takjub mendengar pengakuan dari Miskin. Katanya, seminggu sebelum ramadhan tiba, ia bermimpi ke dua orang tuanya yang telah lama meninggal. Dalam mimpinya, ia disuruh puasa. Maka, Miskinpun puasa. Karena baru saja belajar puasa, maka sudah pasti ada banyak hal kejadian yang menimpanya. Waktu sahur pertama kali, ia ngotot untuk meneruskan tidur. Ia meyakinkanku kuat puasa meski tidak sahur. Sebelum kujelaskan perintah saur itu sunah rosul, dengkur Miskin sudah lebih dulu terdengar. Hasilnya? Sekitar pukul 11 wajahnya pucat. Ia bilang jika dirinya sangat lapar. Haus juga. Ia juga menyesal tidak menurut kata-kataku untuk sahur. Karena tak tega, kusuruh saja dia berbuka ketika adzan dhuhur berkumandang.
--------
"Aku mau puasa terus Gus. Kamu gimana sih?" katanya sembari memandangku minta penjelasan.
--------
Segera saya jelaskan padanya, jika ada sebagian yang baru belajar puasa dimulai dengan puasa dhuhur dulu. Ternyata penjelasanku ini membuatnya mengerti. Lebih tepatnya bersemangat. Segera saja dia minum, lalu makan. Setelah shalat dhuhur, kulihat wajahnya mulai berseri kembali.
-------
"Gus, ternyata Tuhan tak meyulitkan umatnya ya"
-------
Saya kaget mendengar celetukan Miskin. Nada bicaranya sangat datar, sangat biasa. Kembali saya menelan ludah.
"Justru yang mempersulit itu ya kita kita ini. Coba saja, perintah shalat. Kalau tak kuat berdiri, sambil duduk. Tak juga kuat, sambil tidur."
"Tapi gus, apakah saya dosa jika baru kali ini puasa. Sementara di tahun tahun lalu, tak pernah puasa."
--------
Saya berpikir sejenak. Ternyata saya tak bisa merumuskan jawaban baginya.
"Lain kali tanya sama ustaz Sanusi saja mas. Saya juga tak begitu paham detail masalah serumit macam itu. Saran saya, puasamu kali ini tolong dijaga. Kalaupun awalnya puasa karena mimpimu, mari meluruskan niat. Puasa lillahi ta'ala.." saya terkejut dengan ucapanku sendiri. Kesannya menggurui. Padahal terkadang puasaku juga tercampur hal hal di luar keilahian. Saat itu juga aku celingukan. Miskin telah lenyap dari hadapanku.
"Gus, antum masih di sini?"
Suara syahdu ustad Sanusi membuatku terkejut. Buru buru saya menyalaminya.
"Ustad. Afwan, ana baru saja ngobrol dengan Miskin soal..?"
" Lho, antum yang benar saja. Saat saya menuju masjid hendak shalat, saya dikejutkan oleh sebuah kejadian. Miskin ditemukan beberapa warga mengapung di sungai. Ia meninggal. Kini jenazahnya di puskesmas, masih diperiksa polisi. Tadi saya ikut evakuasi."
--------
Kata kata yang meluncur dari bibir ustas Sanusi, serupa meriam. Membombardir seluruh isi tubuhku. Tulang tulangku berdenyut. Saya merasa linglung. Semua serba gelap.

"innalilahi" ujarku lirih. Air mataku tiba tiba berjatuhan begitu saja.
--------
Belum sempat berkata lagi, ustad Sanusi sudah berjalan menuju masjid. Sekuat tenaga saya menguatkan tubuh, lalu berjalan sempoyongan menuju ke arah ustad Sanusi berjalan.
--------
(Prambon, 28 Jun 2015 23:25:01)

Yatim

Yatim selama Ramadhan, tepatnya hingga dua minggu ini, sudah mendapatkan undangan buka bersama sebanyak sepuluh kali. Sesuai dengan namanya, Yatim, memang benar-benar yatim dalam artian yang sesungguhnya. Ayahnya meninggal semenjak Ia masih dikandung Ibunya. Konon, Ibunya yang tak kuasa merawatnya menitipkan di panti asuhan. Hingga kini, Ibunya kerap berkunjung ke panti. Sebuah perjanjian dengan panti, membuatnya harus menunggu usia 30 tahun untuk mengambil buah hatinya. Sedangkan Yatim kini baru berusia empat tahun.

Panti asuhan yang menaunginya bernama panti asuhan Sederhana. Sesuai namanya yang sederhana, Yatim hidup bersama rekannya dengan amat sederhana. Bahkan cenderung mendekati kekurangan. Sebenarnya pantinya memiliki banyak donatur. Panti Sederhana bahkan sudah buka cabang di empat kota besar. Yatim tinggal dengan enam belas anak yatim piatu. Kisahnya macam-macam. Pada intinya mereka membutuhkan bantuan. Sedangkan pengurus pantinya berjumlah sepuluh orang. Jadi, bantuan yang ditujukan kepada anak panti, sepersekian diolah juga untuk menggaji sepuluh pengurus. karena mereka mengurus panti bukan karena mereka peduli, tetapi lebih tepatnya mereka bekerja. Dan hal yang demikian bukanlah sebuah kejahatan.

Sore itu, di undangan yang kesebelas, panti asuhan Sederhana akan menghadiri sebuah undangan buka bersama dengan seorang pejabat di kotanya. Karena kuota peserta buka seratus orang, maka pengelola panti mencari tambah sisa peserta. Mengingat panti Sederahana hanya memiliki 16 penghuni. Namun dalih pengurus, penghuni panti dibedakan menjadi dua. Yakni aktif dan pasif. Penghuni aktif berarti mereka memang hidup full di panti. Sementa pasif, tetap tinggal di rumah orang tuanya. Penghuni pasif biasanya mendapat bantuan rutin bulanan. Semisal biaya sekolah dan lainnya yang memang diperlukan. Jadi menurut data yang ada di meja tata usaha, di kota S penghuni panti mencapai 200 orang.

Dengan iring-iringan mobil yang menjemput mereka, peserta buka persama menuju rumah pejabat itu. Yatim dan kawan-kawannya memakai baju stelan putih-putih. Dibagian belakang baju, tertera nama panti asuhan lengkap beserta alamat dan rekening donasi. Di bagian depan, sebuah logo dan sebuah motto: saling berbagi-sangat berarti. Karena letak panti Sederhana agak menjorok ke pinggiran kota, maka perjalanan menuju pusat kota bisa dibilang cukup lama. Ditambah lagi cita rasa jalanan kota, macet.

Pejabat itu telah menyiapkan jamuan dengan istimewa. Tempat dan jamuan, serta ustad yang memandu acara telah dipilih yang terbaik. Beberapa media lokal telah berada di rumahnya sehari sebelumnya. Tuan rumah telah menyiapkan reservasi buat mereka. Sembari menunggu kedatangan anak panti, pejabat tersebut melakukan prosesi wawancara. Sesi dibuka oleh asisten pribadi si pejabat. Wartawan-wartawan yang telah menginap inipun antusias menanyai si pejabat.

"Bapak, saya salut dengan aktivitas sosial ini. Selain jamuan dan persiapan yang serba istimewa, nampaknya Bapak juga memiliki alasan tersendiri dengan menggelar acara ini?"

"Silakan satu lagi penanya. Baik, yang pake peci biru."

"Terima kasih moderator. Bapak, apakah acara seperti ini rutinitas tahunan atau pada waktu tertentu saja? Semisal ada pilkada atau sejenisnya?"

Ruangan yang sebelumnya riuh, menjadi hening seketika. Wartawan berpeci biru menjadi sasaran perhatian.

"Maaf, dari media mana mas"? ujar asisten si pejabat.

"Mohon maaf, saya dari Delik Deluk Press. Maaf sedikit terlambat dari undangan. Saya baru saja datang."

Si pejabat mukanya menjadi masam. Asisten langsung bersikap cepat.

"Baiklah, sesi pertanyaan ditambah menjadi lima penanya"

Pertanyaan basa-basi seperti yang telah direncanakan segera diutarakan. Muka si pejabat agak lebih ceria. Saat menjawabpun, pertanyaan nomer dua diletakkan di bagian akhir. Sampai akhirnya sesi wawancara tiba-tiba dipotong oleh beberapa security.

"Maaf, Tuan. Di luar ada polisi. Hendak menemui Tuan."

Si pejabat dengan nafas mendengus keras, segera bangkit dan menuju ke pintu utama. Kemarahan sekaligus kejengkelannya menyatu.

"Mohon maaf Pak. Apakah Bapak akan mengadakan buka bersama dengan 100 anak yatim piatu dari Panti Sederhana?"

Pejabat yang dipenuhi dengan kejengkelan itu hanya mengangguk.

"Kalau begitu, Bapak harus ikut kami sekarang juga."

"Hei, apa-apaan ini. Sudah menganggu ketenanganku, sekarang kamu menyuruh-nyuruh saya. Belum tahu kalau aku bisa merekomendasikan kalian agar kamu kamu dimutasi. Saya ini kenal dengan pimpinan kalian."

"Mohon maaf Bapak. Rombongan dari panti Sederhana, jam 15.00 sebagian terlibat kecelakaan. Dari empat mobil, hanya satu mobil yang lolos dari kecelakaan maut. Semua korban berhasil dievakuasi, namun sebagian nyawanya tak bisa tertolong"

Wartawan yang dari tadi rupanya mengikuti si pejabat, langsung menyerang polisi dengan berbagai pertanyaan. Dari dalam rumah, Pak Ustad berlari tergopoh-gopoh menuju ke tempat keributan. Suara musik religi segera berkumandang. lamat-lamat dan semakin keras.

(Prambon, 22 Juni 2015)

Selasa, 16 Juni 2015

Nyanyi dan Nyinya Menjelang Ramadhan

bendera sudah ditancapkan pada bilur-bilur dosa
----yang lain keukeuh menyebut taubatan nasuha
melambai-lambai dihujani semilir senja
yang bergerak menuju arah matahari tenggelam
----sementara malam sibuk merias alisnya yang kini dipertebal beberapa centi

senja ramadhan, ada di wajah-wajah yang ramai
dibicarakan di multi forum
----bahkan televisi telah menyiapkan  beragam agenda berbaju syariah

senja ramadhan adalah harga
:yang mana tausiyah pak ustaz menjadi berlipat rupiah
:yang mana sembako merangkak pelan-pelan memenuhi garis inflasi
:yang mana penebusan dosa dari 11 masa yang telah seenaknya berlalu
:yang mana sifat rakus hanya dihalalkan saat Maghrib tiba

ini adalah nyanyi
sekaligus nyinya
namun segeralah bergembira
bila dan jika usiamu kembali bertemu
juga tak ada garansi
nyanyi dan nyinya ini
di edisi mendatang

bernyanyilah!
bernyinyalah!

Ramadhan mubarak...

(Prambon, 16 Juni 2015)

Bulik Romlah

Sebelum aku meninggalkan kampung kelahiranku, barang sejenak kuhirup udara siang itu. Udara yang sejuk. Aku pasti mengingatnya. Kehidupan selalu menampilkan cara-cara yang susah ditebak. harusnya aku masih di sini. Bersama bapak dan ibu. Bersekolah. Membantu Ibu jualan. Membantu bapak di ladang. Namun, roda zaman berputar dengan cepatnya. Putarannya kini melindas keluargaku. Setelah Bapak, kini Ibuku yang berjumpa dengan Allah. Dari piatu menjadi yatim piatu. Sebatang kara. Usiaku beberapa hari lagi menginjak 14 tahun. Kini, setelah kesedihan dan kenangan mampu kuredam, saatnya aku akan mencari pengalaman baru. Ke Surabaya. Bekerja bareng bulik Romlah. Entah bekerja apa, yang penting hidupku yang masih segini ini tak boleh sia-sia.

Kami berangkat. Naik ojek dari desa. Bukan tukang ojek asli, tapi tetangga yang diminta antar ke terminal. Tentu saja tidak gratis. Lagian siapa mau kalau gratis. Zaman seperti ini, sekekeluargaan model manapun, rupiah tetaplah diperhitungkan. Aku bersama Lek Satino. Bulik Romlah dengan Cak Sadi. kami berjalan beriringan. melintasi jurang cukup curam. Melewati balai desa. Melewati sekolah SDku. Sampai kemudian kami telah melewati perbatasan desa. Tak kurasa, air mataku rontok. Bepergian jauh, memang tak pernah teradi padaku. Sampai 14 tahun usiaku, paling jauh ya ke pasar Lumajang. Itupun bersama Ibu. maka peristiwa hari itu menjadi yang melodramatis. Ketika sampai di terminal, aku sibuk meneringkan air mata.

"kamu menangis Parti?" suara bulik memcacah telingaku, Keibuan. Aku hanya diam saja. Menenteng tas menuju ruang tunggu. Sebenarnya bukan ruang tunggu yang sempurna. kami tak masuk ke terminal. Terminal Minak Koncar merupakan terminal kecil. Penumpang kebanyakan menunggu di pintu ke luar. bahkan bus yang datang dari arah Jember, jarang juga yang masuk terminal. Ini berbeda dengan bus dari arah Surabaya yang selalu atau sebagian besar masuk terminal. Di bus aku lebih banyak diam. Tidur. maklum, pengalaman pertama. Mualnya minta ampun. Pusing. beberapa kali mulutku mengeluarkan cairan. Aku mabuk darat. Bulik menggosok perut dan leherku dengan minyak angin. Biar hangat katanya. Sepanjang perjalanan aku hanya tidur. Mual.
--------------------------------------
Saat mata ku buka, warna hitam legam berpendar. Sekujur tubuhnya terasa ngilu. Kepalaku, tanganku, kakiku, badan. Beberapa saat pandangan hitam menjadi ambyar. Perlahan warna itu memudar.
"Dok, dia sadar" suara perempuan. Tiba-tiba bayangan bulik Romlah menguat. Saat mataku sudah benar-benar berfungsi, kudapati diriku berada di sebuah ruang yang mirip rumah sakit. Tidak salah, ini memang rumah sakit. Ruangan ini dipenuhi oleh banyak orang. Kulihat ada yang sesenggukan. Menangis. Berteriak. Aku baru sadar, aku tak mengenakan baju lurik peninggalan Ibu lagi. Baju baru, mirip baju Lek Sudar saat akan operasi dulu. Pikiranku merancau. bayanga Bulik melintas. Sangat dekat.
"Adik, badannya masih sakit?" lelaki berbahu putih menanyaiku sembari tersenyum.
"Ini berapa?" sambil mengacungkan dua jari.
"tiga" kataku lemah.
"Adik istirahat dulu ya. nanti akan saya cek lagi." tanpa menunggu perimbanganku, lelaki senyum indah itu beranjak meninggalkanku. Menjumpai beberapa orang yang terbaring di sebelahku.
"Bus yang mbak tumpangi kecelakaan. Menabrak sebuah truk besar." seorang perempuan memberitahuku. Informasi ini telak menghujam ke tubuhku yang sudah keok.

Kejadian itu, masih terus membekas di ingatan. Bulik Romlah menjadi korban meninggal, bersama hampir separuh penumpang lainnya. Saat kesehatanku mulai pulih, tak kudapati Bulik. Menurut salah satu perawat, korban meninggal sudah dikirim ke alamat sesuai KTP. Saat itu, aku lebih memilih meninggalkan rumah sakit tempatku di rawat diam-diam. Tak terbersit keinginan untuk kembali. Kemana kaki melangkah, ke situlah tubuhku mengikuti. Anak perempuan desa, yang tak punya pengalaman sama sekali, berkeliaran di kota sendirian. Di sebuah jembatan, masih ingat dalam kepala, tubuhku dikeroyok oleh dua lelaki muda. Digerayangi seluruh tubuhku. Baju dan celanaku dilucuti. Aku hanya bisa menangis. Dua lelaki itu semakin beringas saja. Sampai kemudian, sebuah teriakan dan suara berdebum membuat dua lelaki yang menindihku terlempar. Pahlawan yang menolongku, membawaku. menjauhi tempat itu. Merawat luka-lukaku. Sehingga suatu saat, dia juga meniduriku. Berkali-kali.Berulang-ulang.

(21/2/2014/ruang kerja)