Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Jumat, 14 Mei 2010

Feminisme dalam "Tarian Bumi" Oka Rusmini


BAB I PENDAHULUAN
Pada lingkup sosial manapun, terjadi hegemoni, penindasan atau subordinasi perempuan oleh lelaki. Bukan hanya pada maslah seks semata, namun sudah komplek dalam setiap sendi kehidupan. Permasalahan lebih rumit lagi terjadi di daerah pedesaan, yang mana persoalannya tidak sekedar perkelaminan tetapi mengakar memasuki wilayah tradisi, budaya dan agama. Tentu saja hal ini akan memantik reaksi. Gerakan emansipasi wanita muncul diberbagai b elahan dunia dalam tiap jenjang strata sosial.
Kita akan melihat wacana pergolakan ini dalam sebuah novel yang menarik karya Oka Rusmini dengan judul Tarian Bumi. Pengarang menyuguhkan kepada kita bagaimana sikap serta perjuangan seorang perempuan melawan kebudayaan yang membelenggunya. Kebudayaan yang memandang perempuan setingkat di bawah lelaki (budaya patriarki).
BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1. Ranah Kajian Sosiologi Sastra
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan engan norma-norma dan adapt isitiadat zaman itu (Luxemburg dkk, 1992:23). Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial. Ia merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan mencakup hubungan antar manusia, antar masyarakat, peristiwa yang terjadi dalam batin manusia. Titik tolak inilah yang kemudian mendasari kajian sosiologi sastra, bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya.
Secara garis besar, ranah sosiologi sastra menurut Wellek dan Werren (1993:11) membicarakan tiga hal yakni:
a.Sosiologi pengarang
Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang social, status pengarang dan ideology pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
b.Sosiologi karya sastra
Yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra: yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya.
c.Sosiologi sastra
Yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (Faruk, 1994: 4-5), dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni:
a.Konteks sosial pengarang
Hal ini berhubungan dengan posisi social sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
b.Sastra sebagai cermin masyarakat
Yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat
c.Fungsi sosial sastra
Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai penghibur saja, sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan sebagai perombak masyarakat dan penghibur
Untuk mengkaji novel Tarian Bumi kami menggunakan ranah karya sastra sebagai dokumen sosial budaya. Yakni bagaimana novel tersebut mampu menghadirkan kehidupan sosial beserta polemiknya dalam hubungannya dengan realitas. Serta sejauh mana karya sastra itu mampu mempengaruhi serta memotret realitas itu.
2.2. Teori Feminisme
Secara etimilogis feminis berasal dari kata “femine” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak). Dalam peneretian yang lebih luas, feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2009:184)
Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan social dan pengalaman manusia yang dikembangkan pada perspektif wanita. Teori ini berpusat pada wanita karena tiga hal, yakni:
a.sasaran utama, studinya, titik tolak seluruh penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman wanita dalam masyarakat
b.proses penelitiannya, wanita dijadikan “sasaran sentral”, artinya mencoba melihat dunia khusus dari sudut pandang wanita pada situsai sosial
c.teori feminis dikembangakan oleh pemikir kritis dan aktivia atau pejuang demi kepentingan wanita, yang mencoba menciptakan kehidupan lebih baik untuk wanita (Ritzer dan Goodman, 2005: 403-404)
2.3. Ketimpangan Jender sebagai salah satu dari variasi teori feminis.
Ada empat tema yang menandai teori ketimpangan jender. Pertama, lelaki dan wanita dalam masyarakat yang tak hanya berbeda, tetapi juga timpang. kedua, ketimpangan ini berasal dari organisasi masyarakat bukan dari perbedaan biologis, ketiga meski individual agak berbeda ciri dan tampangnya satu sama lain, namun tak ada pola perbedaan alamiah signifikan yang membedakan lelaki dan wanita, keempat, semua teori tentang ketimpangan menganggap baik itu lelaki maupun wanita akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang makin mengarah kepersamaan derajat dengan mudah dan secara almiah. (Ritzer dan Goodman, 2005: 420).
Ekspresi utama dari teori ketimpangan jender adalah feminisme liberal, yang berargumen bahwa perempuan bisa mengklaim kesamaan dengan lelaki atas dasar kapasitas esensial manusia sebagai agen moral yang bernalar, bahwa ketimpangn jender adalah akibat dari pola eksis dan patriarkis divisi kerja, dan bahwa kesetaraan jender dapat dicapai dengan mengubah divisi kerja melalui pemolaan ulang institusi-institusi kunci-hukum, pekerjaan, keluarga, pendidikan dan media (Ritzer dan Goodman, 2005: 420).Karena itu feminisme liberal berdasarkan pada keyakinan bahwa:
1. semua manusia mempunyai ciri esensial tertentu
2. pelaksanaan kapasitas dikamin melalui pengakuan legal atas hak-hak universal
3. ketimpangan antara laki-laki dan perempuan diciptakan secara sosial.
4. perubahan sosial untuk kesetaraan dapat dicapai dengan mengajak publik yang rasional dan dengan menggunakan negara (Ritzer dan Goodman, 2005: 421).


BAB III PEMBAHASAN
Perkastaan tidak hanya berdampak bagi pada perkara kehidupan di dunia, tetapi juga menyangkut akhirat-nirwana. Maka barang siapa tidak patuh pada perkastaan, ia akan sengsara di dunia, mendapat nirwana, serta gagal masuk nirwana (Mahayana, 2008). Nah, pendapat ini mengkondisikan bahwa masyarakat yang terlibat dalam perkastaan sudah terpatri dalam sanubari mereka yang paling dasar apapun itu konskwensinya.
Di sini untuk bukan untuk menyalahkan atau membenarkan, tetapi pada level bagaimana sistem perkastaan itu berdampak. Karena semua itu tergantung dari siapa yang menjalankan. Konsekwensi apakah yang terjadi pada sistem ini bila kita menilik tokoh perempuan yang ada dalam novel Tarian Bumi?
Tarian bumi merupakan sebuah novel berlatar kebudayaan Bali yang dikisahkan dari perspektif tokoh wanita. Dalam novel ini, pandangan serta sikap wanita banyak kita jumpai disini. sebab tokoh-tokohnya yang mendominasi yakni wanita itu sendiri. Sebut saja misalnya, Telaga, Jero kenanga, Luh Sadri, Luh Kramben, Luh Gumbreg juga Ida ayu Sagra Pidada. Para tokoh ini tersebar dalam berbagai titik-titik tertentu dalam sistem kebudayaan Bali. Sistem dalam konteks ini yakni pembagian kasta menurut agama Hindhu, yakni brahmana, ksatriya, waisya, dan sudra.
Telaga, tokoh utama dalam novel ini merupakan keturunan bangsawan. Status ini berasal dari kebangsawanan ayahnya yang merupakan golongan kasta brahmana. Sedangkan ibunya hanyalah seorang prempuan kebanyakan dari kasta terendah, kasta sudra. Akibatnya dalam keseharian I harus memanggil ayahnya dengan sebutan ratu. Mengingat kedua orang tua ayahnya adalah pasangan brahmana, sehingga dalam aturannya maka nilai karat kebangsawanannya tinggi.
“ Sebagai anak yang lahir dari perempuan sudra, Telaga harus menambahkan gelar kehormatan itu pada semua manusia yang ada di griya, termasuk lelaki yang dalam tubuhnya juga ada sekerat daging Telaga” (2007: 11)

Semenjak kecil, Telaga membenci Ayahnya. Hal itu karena perilaku sang ayah yang menjijikan. Baginya, lelaki itu hanya bias membanggakan kelelakiannya, lelaki yang mengagungkan kebangsawanannya dan memalukan keluarga.
“laki-laki yang memiliki ibu adalah laki-laki paling aneh. Dia bias berbulan-bulan tidak pulang. Kalau di rumah, kerjanya hanya metajen, adu ayam, atau duduk-duduk dekat perempatan bersama para berandalan minum tuak, minuman keras. Laki-laki itu juga sering membuat ulah yang sangat memalukan Nenek, Ibunya sendiri” (2007: 12)

Sikap seperti ini merupakan bentuk keprihatinan seorang gadis kecil terhadap perilaku laki-laki yang semena-mena. Terutama terhadap ibunya, juga nama keluraga. Padahal dengan status bangsawan yang disandangnya, apa yang dilakukannya sungguh tidak pantas.
Hidup pada tataran atas, membuat Telaga tidak leluasa bergerak. Ia sudah harus mengikuti aturan-aturan yang mengharuskan seorang perempuan brahmana ketika usianya memasuki remaja. Tata aturan itu secara eksplisit mengacu pada ketimpangan jender.
“sekaranag kau bukan anak kecil lagi. Kau tidak bias bermain bola lagi. Kau harus mulai belajar menjadi perempuan keturunan brahmana. Menghapal beragam saji, juga harus tahu bagaimana mengukir janur untuk kegiatan upacara…” (2007: 67)

“Sekarang Tugeg bukan anak-anak lagi. Tugeg tidak boleh memakai celana pendek. Kalau tugeg ingin keluar, pakailah kain dan harus rapi. Jangan ngawur. Jaga wibawa meme di depan orang-orang griya” (2007: 68)

Kutipan di atas dapat memeberikan gambaran sedikit pada kita bagaimana seorang prempuan bangsawan terbentuk. Perempuan nampaknya adalah sebuah asset, sementara pelakunya adalah kaum lelaki. Dan itu bukan tanpa disadari, sebab kaum perempuan pun menerimanya. Fakta semacam ini sudah menjadi mitos, lebih jauh telah melahirkan apa yang disebut dengan hegemoni.
Pada akhirnya status social ini juga mengakibatkan Telaga mengalami jalan terjal percintaannya. Ia mencintai pemuda dari kasta sudra, Wayan Sasmitha. Namun terbentur oleh dinding terjal yang menghantar di depannya. Perempuan brahmana tidak boleh memiliki suami dari kasta sudra. Tradisi ini mengacu pada efek kesialan yang ditimbulkan, sebab para dewa tidak merestui. Oleh sebab itulah Telaga tidak perlu meminta restu darim keluarga griya,. Namun ia namun niat itu ia utarakan pada calon mertuanya Luh Gumbreg. Meski kemudian yang didapat yakni penolakan keras dri ibunya Wayan. Orang tua itu percaya, bahawa para dewa akan murka. Sehingga di masa mendatang sejuta kesialan akan menghampiri keluarga besarnya.
“Perempuan tua itu tidak berani menerimanya sebagai menantu. Seorang lelaki sudara dilarang meminang perempuan brahmana. Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai isteri…..” (2007: 137)

“Luh Gumbreng merasa kesulitan hidupnya sudah mulai terbuka di depan mata. Dia akan menjadi pergunjingan orang. Setiap dia melakukan gerak, seluruh mata orang desa akan menikuti gerakannya…..” (2007: 138)

Sangatlah nampak, bagaimana tradisi itu telah mendarah daging. Bahkan seorang perempuan pun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Padahal lelaki brahmana boleh mempersunting perempuan sudra. Misalnya saja Ibu telaga yang diperistri ayahnya.
Perkawinan itupun akhirnya berlangsung. Konskwensi terbesar ada pada diri Telaga. Ia harus merelakan kebangsawanannya serta kemewahannya tercerabut. Hanya untuk mimpinya, mimpi wanita kebanyakan untuk kebahagiaan dirinya. Sebuah siakap melawan arus dengan mendekontruksi sesuatu yang sudah mapan.
“ Telaga mulai menyalakan api tungku. Asapnya memenuhi dapur yang menghitam itu. Kuku Telaga yang runcing mulai dibalut warna hitam. Dimana-mana hitam. Panic, atap dapur, dinding dapur. Telaga menggigil…..”

“Kalau Telaga menikah dengan laki-laki brahmana, keluarga besar akan membekali kepergiannya dengan barang-barang itu. Karena menukah dengan Wayan, tidak ada keluarga griya yang membawakan pakain dan perhiasannya”

Kehidupan perempuan secara umum selalu mengalami distorsi Anehnya ini merupakan hal yang dianggap konvensional. Kenapa lelaki brahmana boleh menikahi perempuan sudra? Bukankah itu aib bagi perempuan brahmana bila bersuami sudra? Pertanyaan yang disuarakan oleh minoritas perempuan. Pada novel ini Telaga, menjadi contoh konkret dari minoritas perempuan tersebut. Tentunya di sini kami harus mengulangi bahwa bukan kerangka menyalahkan sistem kultural yang sudah ada, tetapi merujuk pada geliat dari yang selama ini tertindas.
BAB IV KESIMPULAN
Novel Tarian Bumi merupakan cerminan dari situasi kultural di mana pengarang berada. Dari perspektifnya, ia melukiskan ketimpangan jender melalui tokoh utamanya, Telaga. Dan ia membuktikan bahwa wanita juga memiliki mimpi sama seperti lelaki dalam kapasitas manusia sebagai makhluk Tuhan.
Persoalannya yakni bukanlah karena perbedaan fisik yang menyebabkan hegemoni lelaki terhadap wanita, tetapi dalam tataran sistem sosial dan kulturalnya. Pada akhirnya kita harus membuka mata terhadap ketimpangan jender ini, dimanapun itu.



BAB V DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta
Luxemburg, Van. Dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra: terjemahan melalui
Dick Hartoko.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern: terjemahan melalui Alimandan. Jakarta: Prenada Media
Rusmini , Oka. 2007. Tarian Bumi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan: terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia