Menu
Puisi
(60)
Resensi
(19)
Opini
(17)
Sastra
(16)
Cermin
(15)
Menjadi guru
(13)
Teror
(9)
Sabda Pemilik Kampung
(8)
Home » Archives for 2013
Senin, 25 November 2013
Senin, 04 November 2013
Menjadi Guru 9
Kesaksian:
perjalanan di batas tahun; part. 1
sepagi itu
saya sudah mendapati senyummu terkatung-katung di udara. Oksigen yang melimpah
ruah pada daundaun itu menjadi hiburan tersendiri buatku. melihat itu, saya
ingin terbang menjadi burung, persis seperti yang saat kita lihat hari itu.
Sayapnya mengepak oleh suaramu yang parau. melenting di udara. hinggap di
tambak yang telah mengering. Aku menikmati itu lebih dari yang kau lihat.
begitupun yang kurasakan.
mari berhenti
sejenak.
perjalanan
hari itu bukan kali pertama. masih di tempat sama, mungkin modelnya yang agak
berbeda. bahkan orang-orangnya tidak sama. tapi semangatku masih seperti dulu.
tentu saya tertawa. saya suka itu. di alam lepas, saya selalu melenturkan
rahangku dengan tawa. melepas beban hidup yang kian menggerogoti pikiran. maka
obatnya ya tertawa. seperti hari itu.
sudah lama
saya menunggu momen kebersamaan semacam ini. menghirup oksigen dan
menghembuskan karbondioksida secara acak, namun menimbulkan harmonisasi yang
tidak bisa dibilang jelek.
saat kakikaki
kita dengan lincahnya meloncati pematang tambak, udara tak begitu bersahabat.
maksudnya, sinar matahari yang membuat sedikit kacau. panasnya menjalar dari
ujung rambun hingga melesap ke tapak kaki. begitupun, tak memaksa surut niat
kita untuk terus merangsek. saya katakan, "sekali lagi kita sampai'.
ucapan itu berulang ulang. memang saya berbohong. namun itu demi memompa aliran
semangat yang mengental di pembuluh darah kalian.
Toh, akhirnya
kita berhasil kan? duduk di gazebo dengan mata nanar melesak ke lautan lepas.
mencoba menerka berapa jarak yang telah menyeret kita kemari. mengalikannya
dengan energienergi yang tercecer di jalanan. Tapi lihatlah, kalian tersenyum.
kalian memantik energiku berlipatlipat.. kalian tampak seperti bukan kalian.
maksud saya, kegembiraan dan keceriaan itu seperti kepunyaan malaikat. Ah, saya
cukup haus. bahkan sangat.
mangrove,
menjelang 1 Muharram 1435
*bersama 15
remaja putri yang sangat tangguh. didampingi sang maestro berkacamata.
berkelana mencari satu tujuan yang sulit untuk dibayangkan. tapi akhirnya
didapatkan dengan peluh yang membanjir. terima kasih atas kesempatan yang
diberikan atas petualangan ini.
@21:09, hari
itu juga
di perpustakaanku yang damai
Sabtu, 26 Oktober 2013
Menjadi Guru 8
Wedus
Binatang ini menjadi primadona. Bau dan kemunculannya tak asing lagi. Di dekat mall, dekat masjid, dekat sekolahan, di sepanjang jalan, dan banyak tempat lainnya. Sehingga saya sempat mikir, ini kota buaya apa kota wedus.
Sebagai kota yang punya maskot ikan SURO dan binatang semi legendaris BUAYA, tampak perlahan WEDUS mulai mengancam keeksisan dua binatang purba ala kota Surabaya.
Nah, selalu ada tragedi. Begitulah faktanya. Hari ini dan dua hari ke depan, komuitas pecinta WEDUS sudah pasti sedih. Sedih karena acara penyembelihan untuk hari raya ID tak mungkin bisa dibatalkan. Hampir di tiap masjid maupun yang berkepentingan, sangat mudah sekali mencium dan medengar erangan wedus. Selanjutnya, semuanya bermuara di perut kita.Begitulah, dan seterusnya.
Yang perlu diperhatikan, semoga setelah masuk sekolah nanti, kita masih tetap menjadi manusia. Bukan wedus atau sejenisnya. Untuk itulah, mari kita berdoa bersama, agar arwah sang wedus bisa lancar menuju sorga-Nya. Semoga juga, nasib kita ndak seperti wedus.
Salam wedus, ups maaf. salam Pak Shodiq
Rabu, 23 Oktober 2013
Bila Maaf Mulai Langka
MAAF. Kata ini begitu sederhana. Namun memiliki dampak yang luar biasa. Tanpa kita sadari, tampaknya kata tersebut akrab usai perayaan Idul Fitri saja. Selanjutnya, menjadi sesuatu hal yang begitu langka. Betapa tidak, lingkungan kita sepertinya menjadi praktik yang nyata. Baku hantam, tawuran, perkelahian, dan sejenisnya menjadi suguhan sering dijumpai. Tentu atas nama kebenaran yang kerap dimiliki sendiri-sendiri.
Akhir-akhir ini serentetan peristiwa perkelahian yang dibungkus baju politik menjadi hal yang lumrah. Karena tak puas dengan hasil pilkada di daerahnya, sampai harus baku hantam. Massa berkumpul, lalu melakukan anarki.
Akhir-akhir ini serentetan peristiwa perkelahian yang dibungkus baju politik menjadi hal yang lumrah. Karena tak puas dengan hasil pilkada di daerahnya, sampai harus baku hantam. Massa berkumpul, lalu melakukan anarki.
Tak ketinggalan juga para lembaga binaan di Lembaga Permasyarakatan. Tempat yang seharusnya menjadi ajang refleksi bagi kesalahan, malah menjadi ajang bentrok. Kadang antar narapidana, kadang juga narapidana dengan sipir.
Cuplikan peristiwa di atas tersebut merupakan hal kecil dari potongan realitas saat ini yang membentuk puzle kekerasan. Memang menarik sekaligus menggelitik.
Selain lingkungan yang kita hadapi secara nyata, peran media-media dalam membentuk alam bawah sadar tentang kekerasan nyata adanya. Tayangan TV tampaknya masih belum melalui penyaringan yang sistematis. Seringkali kita disuguhi tayangan-tayangan vulgar tentang baku hantam. Bahkan pada jam-jam produktif. Maksudnya, ketika anak-anak umumnya menjadi pemirsa setia. Belum lagi ranah internet yang tanpa batas.
Kekerasan kemudian menjadi konsumsi sehari-hari. Oleh sebab itu tidaklah aneh bila lingkungan kita pun mengajari kita tentang bagaimana keakraban menjadi sebuah gejala umum.
Gejala-gejala ini pasti akan segera dengan cepat menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, di berbagai institusi, dan juga jenjang usia. Termasuk juga akan merambah ke dunia pendidikan. Hal terakhir itulah yang akan sedikit saya diskusikan.
***
Sekolah merupakan salah satu akses untuk menuju dunia pendidikan. Melalui sekolah, nilai-nilai kultural dan moral ditanamkan. Di sinilah tugas sekolah menjadi begitu rumit. Rumitnya? Gejala kekerasan yang sudah menjadi fenomena ini harus ditanggulangi sampai bersih. Begitulah persepsi umum. Pokoknya, tugas sekolah ya memberi obat selain sisi intelektualitas, juga obat anti kekerasan.
Padahal arena sekolah juga menyimpan gejala kekerasan. Tentu saja gejala ini tidak lahir serta merta. Munculnya bibit ini secara kompleks. Jadi bekal yang di dapat baik itu siswa dan guru di lingkungannya akan dipertaruhkan di arena sekolah.
Maka lahir yang disebut konflik horisontal (siswa vs siswa) dan konflik vertikal (guru vs murid). Nah, di sinilah tugas semua pihak menjadi penting. Ketegasan sekolah harus ditopang baik dengan kedisiplinan kehidupan lingkungan. Sinergi ini yang akan melahirkan generasi yang tidak saja pandai, tapi memiliki empati yang besar. Mempunyai kadar “maaf” yang tinggi pula.
Sekolah yang tingkat kedisiplinan rendah (Tentu banyak faktor yang mempengaruhi, termasuk status sekolah tersebut. Sekolah pinggiran memiliki level disiplin lemah, agar tak ditinggalkan muridnya. Sedangnkan sekolah TOP, akan dengan mudah memosisikan level kedisiplinannya, tentu karena meraka banyak yang mencari) akan membantu suburnya gejala praktik kekerasan. Lalu bagaimana produk yang dihasilkan oleh semacam ini?
Masalah ini harus menjadi bahan diskusi semua pemangku kebijakan di pemerintahan dan masyarakat luas. Ini masalah kita bersama untuk menuju bangsa ini lebih baik ke depannya. Tentu banyak alternatif yang seharusnya menjadi dasar dari gejala kekerasan ini.
Penguatan-penguatan nilai religius melalui ajaran agama pada tataran keluarga merupakan hal mutlak yang harus dijalankan. Islam telah secara detail mengatur hidup yang jauh dari hingar bingar kekerasan. Nilai inilah yang seharusnya dievokasi oleh keluarga, masyarakat, dan pemangku kebijakan di pemerintahan. Jangan sampai pelajaran agama hanya berhenti di hafalan para nabi, hafal ini, hafal itu. Tapi kemudian tidak berlanjut dalam setiap perbuatan kita.
***
Begitulah, sebisa mungkin memang kekerasan harus mulai ditinggalkan. Sebagai manusia terdidik, kita harus mampu hijrah ke arah sana. Toh, apa gunanya pendidikan bila masih mendidik kita sifat-sifat anarkis.
Marilah kita bersama untuk lebih dekat lagi dengan kata “maaf”. Lebih akrab. Sehingga tak lagi serta merta otot yang bicara. Setidaknya berilah kesempatan hati nurani untuk menjawab semua permasalahan yang ada. MAAF.
Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUs4HJk2_yhi-2XlqBj0KoGU4jrG8ecP40AF7MwPyddDudKO0NRNY18MZrfPbVtfYOm7HSqsTFPnFtdP7PwzYJfp3_mrPauEcSt-lqKUKlUl9mf7UFGHpVFMuXImxBCoX3bVd0nb0N49HO/s320/maaf1.jpg
Baby Proof: Idealis dan Cinta
Karya: Emily Giffin (@2006); penerjemah: Isti Rahayu; penerbit: Esensi (@2009)
Baby Proof (bebas tangisan bayi)
Jatuh cinta, menikah, kemudian punya bayi. Itukah yang diinginkan setiap wanita? Tidak bagi Claudia Parr. Ia tak pernah ingin menjadi Ibu. Baginya, adanya anak-anak akan menimbulkan masalah sendiri. Itulah sebabnya harapannya untuk menikah dengan lelaki yang berpandangan sama, menjadi seperti impian belaka. Sampai kemudian, dia bertemu dengan lelaki menawan Ben Devenport.
Perjumpaan dengan Ben, membuat Claudia menemukan harapan untuk melanjutkan hubungan ke yang lebih serius, menikah. Tentu saja ini didasari oleh prinsip Ben yang sama dengannya, tidak mempermasalahkan adanya anak atau tidak. Setelah berpacaran dalam waktu relatif singkat, menikahlah dua pasangan muda yang ideal ini.
Perjalanan rumah tangga keduanya ternyata tak sesuai dengan yang direncanakan di awal pernikahan. Suatu hari, Ben mengutarakan keinginannya untuk mempunyai anak. Ia iri dengan teman dan saudaranya yang punya bayi-bayi lucu. Menggemaskan. Maka, ketika niat ini diutarakan, respon Claudia menentang. Permasalhan inilah yang kemudian semakin meruncing. Akhirnya, pernikahaan mereka tidak bisa terselamatkan. Mereka bercerai.
Pada saat sendiri, Claudia menghabiskan waktunya untuk merenung. mempelajari apakah yang ia perbuatnya ini merupakan suatu hal buruk atau sebaliknya. Sampai kemudian, ia menjalin hubungan dengan Richard, teman sekantornya. Tetapi hubungan mereka tak lebih dari sikap putus asa Claudia, saat melihat Ben berpegangan tangan dengan gadis muda, Tucker, saat lomba marathon. Kendati Ben telah menjelaskan tak ada hubungan apa-apa, tapi Claudia memiliki pemikiran berbeda.
Hingga kemudian, Claudia mengajak Richard untuk menghadiri acara pembaptisan anak sahabatnya. Tentu saja, Claudia tahu, Ben akan hadir. Di sinilah sebenarnya ia ingin agar Ben melihat kalau dirinya sudah benar-benar melupakannya. Meskipun itu tak cukup berhasil. ia gugup dan salah tingkah ketika melihat Ben. Tapi rencananya berhasil, Ben menjadi cemburu melihat kehadiran Richards.
Selepas kejadian itu, Claudia memikirkan lagi jalan hidupnya. Meskipun pada akhirnya ia kembali lagi dalam dekapan Ben, tetapi keecemburuan antara Ben dan Claudia menjadi hal kocak.
Cerita ini memang masih percaya, bahwa cinta itu mampu mengalahkan segalanya. Claudia dan Ben bersatu. Setelah perceraian dan konflik batin keduanya. Hingga berujung sebuah kesadaran untuk saling mengalah. Claudia, yang memiliki masa lalu cukup buruk dengan orang tuanya, tak lagi mempermasalhkan apakan dirinya akn punya bayi atau tidak. Demikian juga dengan pemikiran Ben. Istimewa. (PS)
Baby Proof (bebas tangisan bayi)
Jatuh cinta, menikah, kemudian punya bayi. Itukah yang diinginkan setiap wanita? Tidak bagi Claudia Parr. Ia tak pernah ingin menjadi Ibu. Baginya, adanya anak-anak akan menimbulkan masalah sendiri. Itulah sebabnya harapannya untuk menikah dengan lelaki yang berpandangan sama, menjadi seperti impian belaka. Sampai kemudian, dia bertemu dengan lelaki menawan Ben Devenport.
Perjumpaan dengan Ben, membuat Claudia menemukan harapan untuk melanjutkan hubungan ke yang lebih serius, menikah. Tentu saja ini didasari oleh prinsip Ben yang sama dengannya, tidak mempermasalahkan adanya anak atau tidak. Setelah berpacaran dalam waktu relatif singkat, menikahlah dua pasangan muda yang ideal ini.
Perjalanan rumah tangga keduanya ternyata tak sesuai dengan yang direncanakan di awal pernikahan. Suatu hari, Ben mengutarakan keinginannya untuk mempunyai anak. Ia iri dengan teman dan saudaranya yang punya bayi-bayi lucu. Menggemaskan. Maka, ketika niat ini diutarakan, respon Claudia menentang. Permasalhan inilah yang kemudian semakin meruncing. Akhirnya, pernikahaan mereka tidak bisa terselamatkan. Mereka bercerai.
Pada saat sendiri, Claudia menghabiskan waktunya untuk merenung. mempelajari apakah yang ia perbuatnya ini merupakan suatu hal buruk atau sebaliknya. Sampai kemudian, ia menjalin hubungan dengan Richard, teman sekantornya. Tetapi hubungan mereka tak lebih dari sikap putus asa Claudia, saat melihat Ben berpegangan tangan dengan gadis muda, Tucker, saat lomba marathon. Kendati Ben telah menjelaskan tak ada hubungan apa-apa, tapi Claudia memiliki pemikiran berbeda.
Hingga kemudian, Claudia mengajak Richard untuk menghadiri acara pembaptisan anak sahabatnya. Tentu saja, Claudia tahu, Ben akan hadir. Di sinilah sebenarnya ia ingin agar Ben melihat kalau dirinya sudah benar-benar melupakannya. Meskipun itu tak cukup berhasil. ia gugup dan salah tingkah ketika melihat Ben. Tapi rencananya berhasil, Ben menjadi cemburu melihat kehadiran Richards.
Selepas kejadian itu, Claudia memikirkan lagi jalan hidupnya. Meskipun pada akhirnya ia kembali lagi dalam dekapan Ben, tetapi keecemburuan antara Ben dan Claudia menjadi hal kocak.
Cerita ini memang masih percaya, bahwa cinta itu mampu mengalahkan segalanya. Claudia dan Ben bersatu. Setelah perceraian dan konflik batin keduanya. Hingga berujung sebuah kesadaran untuk saling mengalah. Claudia, yang memiliki masa lalu cukup buruk dengan orang tuanya, tak lagi mempermasalhkan apakan dirinya akn punya bayi atau tidak. Demikian juga dengan pemikiran Ben. Istimewa. (PS)
Senin, 01 Juli 2013
Menjadi Guru 7
Tujuh
http://4.bp.blogspot.com/-c1i_u5qQes8/UIbd8uBhHdI/AAAAAAAAIM0/Nh4LyH_BTro/s400/sedih.png |
Aku berjalan ragu-ragu dari parkiran. Aku tak tahu di kelas mana harus mulai mengajar. Tapi hari itu saya sedang beruntung, di tengah kebingungan saya bertemu Pak Dody. Selanjutnya beliaulah yang mengantarku ke ruang guru. Memberikan sedikit penjelasan. Tentu saja cukup mengejutkan, saya harus mengajar siswa putri. Apalagi harus berada di ruang guru putri pula. Inilah yang membuatku sedikit kikuk. Mau bicara rasanya susah. Malu. Begitulah.
***
27 Maret 2013. Pukul 09.15
Hari itu masih pagi. Saya melangkah cepat menuju parkiran. Mataku panas. Kugunakan sapu tangan untuk menyeka air mata yang tak kuasa kubendung. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa diam. Sesekali menarik napas panjang. Kebersamaan dua bulan dengan sahabat kecilku hari itu harus berakhir. Jujur, saya begitu kehilangan. Keceriaan mereka. Kenakalan mereka. Keisengan mereka. Ah, perpisahan ini menyisakan kenangan manis yang tak mungkin bisa kubagi dengan siapapun.
DOS
http://www.prfmnews.com/classSharing/classImages/slide-berita/bbm-naik.jpg
Kemarin saya pulang kampung. Momen liburan. Di sekolah ada aktivitas
penerimaan siswa ups peserta didik baru. Yah, mau siswa/murid/peserta
didik, bagi sekolah swasta pinggiran sama pentingnya.
Nah,
kembali ke masalah pulang kampung. Perjalanan Surabaya menuju Lumajang
memakan waktu kurang lebih 4 jam. bagi yang awam dengan Lumajang,
bayangkan saja Jember lah. Kalau masih belum juga ngeh, imajikan dengan
tempat nun jauh di selatan.
Ndak tahu kenapa, hari Jumat kemarin, bus bus pada padat penghuni. Jadi
harus duduk di kursi tambahan. Kursi plastik. Padahal busnya Patas.
Itupun tarifnya sama saja dengan yang duduk di kursi empuk. Masih belum
berhenti, tarifnya naik. Yap, ini masalah BBM tempo hari.
Menjadi Guru 6
http://www.marketing.co.id/wp-content/uploads/2011/11/Raport-235x300.jpg |
Benar saja. Repot. Begitulah satu kata ampuh untuk menggambarkan
situasi menjelang pengambilan RAPOR. Apalagi bila angka-angka yang ada
di dalam benda tersebut tidak cukup baik dari tahun sebelumnya. Tentu
Orang Tua kita akan sedikit rajin melontarkan petuah-petuahnya. Rumusnya
jelas, masuk telinga kiri, keluar telinga kiri. Lho? Ya, karena telinga
kanannya disumpal headphone..
Apakah hal semacam ini terjadi
di sekolah tercinta kita? Jawabannya tentu pasti. Yang saya tahu,
prestasi siswa di sekolah ini cenderung turun. Ada juga sih yang naik.
Tapi itupun menjadi bagian minoritas. Nah, umumnya nilai siswa di
sekolah ini cenderung terjun bebas. Memanglah, tak bisa disalahkan
kepada pelakunya. Maklumlah, setiap hari tentu kita banyak permasalahan
yang datang. kadang-kadang masalah tersebut menghantui. mengejar-ngejar.
memukul. menendang. Sampai akhirnya kita ambruk. Nyerah pada
permasalahan yang membelit. Untung saja masih ada sisa nafas.
Jumat, 28 Juni 2013
Menjadi Guru 5
SELESAI
mungkin belum ya. tapi saya pikir inilah saatnya. Setahun lalu, saya harus merelakan air mata jatuh. Pensi dan Wisuda GAGAL. Ya, tak ada yang lebih menyakitkan dari saat itu. Melihat dan merasakan betapa besarnya sumbangan kawan-kawan OSIS dalam mempersiapkan acara waktu itu. Kesedihan dan kegeraman menjadi satu. Mudah sekali menemukannya di wajah kawan-kawan OSIS, bahkan rekan guru juga tak kalah syok, sedih, sekaligus geram. Malam itu menjadi malam terburuk selama berada di sekolah ini.
saya tak mengatakan ini dendam, tapi biarlah bila dikatakan dendam: saya meluapkan kegembiraan saya setelah acara Pensi dan Wisuda kemarin berjalan dengan lancar. Entahlah, ketika itu saya merasa paling bahagia. Tentu saja bukan bahagia untuk kinerja saya, karena saya sadar, yang berperan besar dalam acara ini yakni kawan-kawan OSIS. Merekalah yang dalam tiga bulan ini pontang-panting. Bahkan, tak jarang mereka harus menerima kata-kata pedas dari pembina OSISnya. Yap, saya lah yang tak habis-habisnya melabrak kawan-kawan OSIS bila kurang greget. Cukup, bahkan sangat kejam. Saya sadar itu.
Begitulah, keberhasilan PENSI dan WISUDA menjadi semacam obat penawar. Entahlah, penawar dendam mungkin. Meski saya sadar, dendam bukanlah sesuatu yang baik. Lihatlah, wajah-wajah lesu kawan-kawan panitia kemarin, saya melihat bara kepuasan dalam senyum dan tatapan mata mereka. Sore itu menjadi yang paling membahagiakan. Yah, bisalah mengisi dukaku yang baru saja kehilangan seseorang yang paling kucintai tuk selama-lamanya.
dan, terima kasih buat semua pihak yang berpartisipasi acara pensi. rekan OSIS, siswa-siswi SMK TGB, guru, alumni, pihak sponsor. Yang paling spesial, selamat jalan buat WISUDAWAN. Jadilah pribadi yang memberikan kenyamanan bukan lainnya...
Apakah ini berarti selesai? oh, saya pikir tidak. hari berikutnya masih panjang. penuh liku. setidaknya kita telah berjalan dengan benar. tidak paling benar memang.
Salam Pak Shodiq
mungkin belum ya. tapi saya pikir inilah saatnya. Setahun lalu, saya harus merelakan air mata jatuh. Pensi dan Wisuda GAGAL. Ya, tak ada yang lebih menyakitkan dari saat itu. Melihat dan merasakan betapa besarnya sumbangan kawan-kawan OSIS dalam mempersiapkan acara waktu itu. Kesedihan dan kegeraman menjadi satu. Mudah sekali menemukannya di wajah kawan-kawan OSIS, bahkan rekan guru juga tak kalah syok, sedih, sekaligus geram. Malam itu menjadi malam terburuk selama berada di sekolah ini.
saya tak mengatakan ini dendam, tapi biarlah bila dikatakan dendam: saya meluapkan kegembiraan saya setelah acara Pensi dan Wisuda kemarin berjalan dengan lancar. Entahlah, ketika itu saya merasa paling bahagia. Tentu saja bukan bahagia untuk kinerja saya, karena saya sadar, yang berperan besar dalam acara ini yakni kawan-kawan OSIS. Merekalah yang dalam tiga bulan ini pontang-panting. Bahkan, tak jarang mereka harus menerima kata-kata pedas dari pembina OSISnya. Yap, saya lah yang tak habis-habisnya melabrak kawan-kawan OSIS bila kurang greget. Cukup, bahkan sangat kejam. Saya sadar itu.
Begitulah, keberhasilan PENSI dan WISUDA menjadi semacam obat penawar. Entahlah, penawar dendam mungkin. Meski saya sadar, dendam bukanlah sesuatu yang baik. Lihatlah, wajah-wajah lesu kawan-kawan panitia kemarin, saya melihat bara kepuasan dalam senyum dan tatapan mata mereka. Sore itu menjadi yang paling membahagiakan. Yah, bisalah mengisi dukaku yang baru saja kehilangan seseorang yang paling kucintai tuk selama-lamanya.
dan, terima kasih buat semua pihak yang berpartisipasi acara pensi. rekan OSIS, siswa-siswi SMK TGB, guru, alumni, pihak sponsor. Yang paling spesial, selamat jalan buat WISUDAWAN. Jadilah pribadi yang memberikan kenyamanan bukan lainnya...
Apakah ini berarti selesai? oh, saya pikir tidak. hari berikutnya masih panjang. penuh liku. setidaknya kita telah berjalan dengan benar. tidak paling benar memang.
Salam Pak Shodiq
Jumat, 11 Januari 2013
Menjadi Guru 4
RAPOT
itu saja. Tapi gara-gara itu pula, saya harus menahan malu karena
beberapa mata pelajaran nilaiku mendapat angka 5. Pertama matematika,
jelas saya maklum, ini musuh abadi saya semenjak SD. Kedua Agama, dapat
nilai 6. Hah, jelas ini gila. saya tercatat sebagai santri aktif di
mushola kampung. Terakhir, mata pelajaran produktif, menggambar
elektronik, nilaiku terjun payung di poin 4,5. Saya benar-benar
menyerah, saya benci menggambar. Bahkan mungkin semenjak dalam
kandungan.
Pagi itu untuk pertama kalinya yang mengambil rapot,
bukan orang tuaku. Menempuh pendidikan STM jauh dari kota kelahiran
memberikan sensasi yang berbeda. Di SMP setiap semester saya selalu
dibanggakan karena nilaiku selalu surplus. Okelah, saya setuju itu masa
lalu. Pagi itu saya menunduk ketika Ibu Kosku memberikan rapot kepadaku
sambil memberikan wejangan. Telingaku panas. Sepertinya ribuan tawon
mengepung kepala. Entahlah saya menjadi manusia paling tidak beruntung.
Semenjak di STM, yang mengurusi segala masalahku di sekolah adalah Ibu
Kos. Sudah mendapat mandat dari orang tuaku. Maka, mendapat nilai buruk,
menjadi pukulan telak bagiku. Malu pada diri sendiri, pada Ibu kosku,
dan ah.. aku telah mengecewakan orang tuaku.. Anehnya, tiap semester
saya selalu ada yang buruk nilaiku.
Semenjak STM, memang ada
satu kebisaan baru yakni keranjingan Playstation. saat itu masih PS1.
Setiap hari selalu ada waktu yang kuluangkan ke rental untuk bermain PS.
Maklum di kampungku saya tak menemukan hiburan seperti itu. Mungkin
cuma main bola, main layangan, main gambar, dan beberapa permainan ala
anak desa. hijrah saya untuk sekolah di salah satu kota besar, memiliki
dampak tersendiri.
Aha, ternyata itu dulu. sekarang saya malah
didatangi salah satu siswa, sambil menunjukkan rapotnya. Di situ ada
nilai 5, dan saya tersenyum saja melihat mata pelajaran bahasa Indonesia
menjadi bahan diskusi anata saya dengan murid saya. Saya memahami
perasaannya, sebab di luar ruangan, Ibunya tampak menunggu sang anak.
Perasaan saya tiba-tiba campur aduk. Apakah saya terlalu kejam? apakah
saya terlalu egois? apakah saya raja tega?
Untuk teman-teman
semua, semoga rapot yang ada di tangan sahabat semua (meskipun
terlambat) silakan dinikmati. yang mendapat nilai bagus, bersyukurlah
dan tingkatkan. Untuk yang mendapat nilai kurus kering, bangkitlah untuk
menjadi lebih baik. Rapot bukanlah nilai akhir dari segalanya. Bukan
vonis. karena saya yakin, teman-teman lebih bagus dan tak terumuskan
oleh angka-angka. Selamat kawan..
Salam Pak Shodiq
Senin, 07 Januari 2013
Menjadi Guru 3
H+
Demam sekolah menjadi titik temu kebisingan pagi ini. Liburan semester
yang hampir tiga mingguan nampaknya sedikit memberikan energi positif
bagi pecandu sekolah, baik itu muridnya ataupun gurunya. Tentu saja saya
ambil bagian dalam kebisingan itu. Pagi-pagi sudah diberi wejangan Ibu
agar membetulkan selokan yang mampet. Alhasil, aku harus bergumul dengan
comberan yang sedikit kurang sedap. Bahkan setelah berkali-kali kucuci
dan kuberi minyak wangi, samar-samar masih tercium aromanya.
Hanya sedkit waktuku setelah bergelut dengan selokan, selanjutnya
melanjutkan kembali rutinitas sebagai guru yang sempat terhenti dalam
liburan ini. Motor kuparkir dengan perasaan agak bahagia, pasalnya belum
terlambat. Segera saja menuju ruang guru dengan menahan rasa sakit di
pergelangan tangan akibat beradu dengan beron selokan. Baunya juga masih
segar. Bau selokan. Menyapa beberapa guru yang berbincang di dekat
mading. Sensasi yang cukup berbeda, mungkin karena jarang berjumpa jadi
memberikan sebuah cetakan kejut yang membuat pikiran menjadi baru.
Setelah merapikan rambut dan memotong kumis di ruang guru, saya
langsung menuju kelas XII APK. Beberapa buku telah kusiapkan. Saya
melangkah dengan pelan. Bau selokan masih kurasakan berpendar dari
tanganku. Di ruang kelas, saya merasa berada di sebuah selokan yang
cukup besar dan di dalamnya banyak wajah-wajah yang melancarkan nada
protes. Musim hujan tampaknya membuat ruang kelas ini menjadi cukup
parah. Air menggenang di sana-sini. Wajah-wajah siswa nampak mendukung
suasana. Muram.
Yang ada di benakku saat itu yakni, bagaimana
agar kelas tersebut menjadi bersih kembali. Bukan itu saja, saya ingin
teman-teman XII APK dengan senang hati dan gembira membersihkan
kelasnya. Ternyata impian saya terwujud, beberapa anak rela mengepel,
membelikan soklin lantai, melepas sepatu, mengambil air berkali-kali,
menyapu. Tentu saja sambil bercanda. Supri yang konyol dengan sepatu
abu-abunya. Agus yang memiliki pengalaman ceria dengan ruang kelas
basah. Bagus yang sedikit senyum tapi cukup telaten. Ratno yang ulet
menyapu dan sesekali mengelap lantai. Hasan dengan senyum simpulnya
membantu agus. Ludia dengan bijaknya memberikan petuah. Begitu juga
dengan eko yang kadang membantu, kadang memberikan masukan. Fatmah,
anggun, rini yang bergantian mengelap meja dan mengambili kursi. Juga
semua siswa yang begitu keadaan bersih langsung berduyun-duyun masuk
kelas dengan sedikit komentar-komentar jenaka.
Saya begitu
terkesan dengan kelas ini. Terimakasih banyak atas kerja kerasnya tadi
pagi. Semoga ndak bosan seperti itu lagi bila sewaktu-waktu hujan lebat.
Kelas kalian merupakan rumah kalian juga ketika berada di sekolah.
Harus ada yang sadar untuk merawatnya. Tentu saja agar kita nyaman di
dalamnya. Tenang saja, beberapa bulan lagi teman-teman akan segera
lulus. Saya doakan semua lancar....
Begitulah. Saya belajar banyak dari kerja keras "sampean".
Salam Pak Shodiq
Menjadi Guru 2
I
Akhirnya sampai juga. Liburan telah menunggu. Setelah enam bulan
berjibaku dengan alat tulis, uang saku, raut guru yang menjengkelkan,
senyum teman yang tulus, dan banyak hal lainnya. Saatnya untuk mengenang
kembali, apakah selama enam bulan yang telah kita jalankan di semester
kemarin, banyak mengubah sikap kita. Mungkin menjadi lebih dewasa,
menjadi lebih percaya diri, atau justru malah menjadi-jadi sifat
buruknya. Sebut saja bertambah malas, sering menguap saat pelajaran,
sering menghujat teman dan guru...
Sederhana saja. Rentang enam
bulan seperti baru kemarin kita jalani. Untuk yang saat ini duduk di
kelas X, bukankah putih biru serasa kemarin kita tanggalkan? yang kelas
XI, bukankah masa-masa kelas X masih segar dalam ingatan? untuk yang
kelas XII, waduh enam bulan lagi ternyata harus sudah angkat koper dari
skul tercinta kita. Waktu bergerak sedemikian cepatnya. 24 jam yang kita
miliki tiap harinya ternyata kadang-kadang membuat kita tetap seperti itu-itu saja.
Entahlah, tapi yang jelas menyesal untuk apa yang terjadi tak banyak
membantu kita. Maka mari kita niatkan dengan sesadar-sadarnya untuk
bangkit lagi di masa mendatang. Semester dua sudah mulai menyambut kita.
Ramah atau tidak, itu tergantung dari bagaimana yang kita lakukan.
Tentunya enam bulan lagi kita berharap yang terbaik bagi kita. Bisa
melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi, dan lulus untuk yang sekarang
kelas XII.
Salah satu sahabat kita, ada yang tidak lagi bisa
melanjutkan sekolah karena masalah keluarga. Sehingga sekarang dia
memutuskan untuk bekerja saja ketimbang sekolah. Meskipun dia menyadari,
sangat berat sekali untuk meninggalkan sekolah yang telah ia jalani
hampir tiga bulan lamanya. Tapi seklai lagi, hidup memberinya pilihan
yang berbeda. Dan saya mendukungnya untuk bekerja. Bukankah pengalaman
tidak hanya datang dari bangku sekolah saja? Jadi untuk teman-teman
kecilku yang sekarang masih berkesempatan sekolah, mari kita gunakan
sebaik-baiknya. Banyak sahabat kota di luar sana yang tidak bisa sekolah
karena faktor keadaan.
Selamat berlibur sahabat. Semoga setelah liburan nanti, kita menjadi fresh kembali.
Salam Pak Shodiq
Menjadi Guru 1
NAH
rupanya musim penghujan sudah memasuki masa subur. Kepala ini hendak
pecah rasanya, setelah tidak sengaja harus berjibaku dengan hujan.
Padahal dulu, mandi hujan merupakan ritual wajib bersama teman-teman
semasa kecil. Ternyata daya tahan tubuh sudah tidak segila dulu. Selain
kepala pusing, hidung juga kena demam dan selalu kembang kempis ketika
bernafas. Ada yang mengatakan itu gejala hendak dapat rezeki. wow, tentu
saja saya tak mau koprol mendengar wejangan aneh tersebut.
Saya suka sekali menikmati saat-saat kesehatan merasa menjadi lebih
penting dari pada membuka akun fesbuk. Tapi tetap saja, kesibukan enggan
untuk ditinggalkan begitu saja. Beberapa hari yang lalu juga demikian,
dengan kepala berat saya tergesa-gesa menuju sekolahan. Agenda pagi itu
yakni mengantar anak-anak prakerin. Kebetulan germbolan kami mendapat
tempat praktik di kecamatan tambak sari. Tapi yang penting bukan itu,
saya lebih suka menikmati kecemasan beberapa sahabat muda yang masih debar-debar untuk memulai prakerinnya.
Justru disitulah saya beruntung, bisa belajar dari teman-teman kecilku.
Mereka telah siap sesiap-siapnya. Bahkan hapeku terus berbunyi. Pesan
masuk dari beberapa siswa yang mengingatkanku untuk segera ke sekolah.
Tentu saja agak malas rupanya, tapi saya buang rasa itu. Saya berangkat
dengan menahan sakit kepala. Saya tersenyum di jalanan membayangkan
wajah teman-teman yang pastinya dag dig dug duer......
Korupsi Bukan Tujuan Pendidikan Kita
Pendidikan itu penting. Maka
tak heran bila pemerintah mulai melirik investasi ini sebagai tabungan
jangka panjang. Idealnya, jika pendidikan di negara ini berkualitas maka
akan menghasilkan sebuah generasi yang akan membawa negara ini menuju
situasi yang gemah ripah loh jinawi. Realitas demikian akan memunculkan sebuah pertanyaan sederhana tapi susah untuk menjawabnya: Kualitas yang bagaimana?
Mau tak mau kita harus berkaca pada kondisi kekinian. Sebagai tempat
yang digadang-gadang sebagai pembentukan kepribadian yang unggul dan
seabrek citra positif, sekolah belum mampu menjawabnya. Lalu tradisi
masyarakat kita yang suka mencari kambing hitam akan mengalir sendirinya
dengan kreatif. Guru kemudian dijadikan sasaran tembak. Gurupun tak mau
tinggal diam. Mereka menuding kebijakan-kebijakan pemerintahlah yang
tidak jelas dan terlalu abstrak. Pawang-pawang pendidikan di
pemerintahan juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk berkelit. Lalu
munculah seabrek kebijakan baru yang menuntut guru untuk begini dan
begitu, ujungnya: peningkatan kualitas guru.
***
Pendidikan dan korupsi itu dua sisi mata uang yang tak bisa
dipisahkan. Kalau bicara pendidikan, mau tak mau di kepala kita akan
berdenyut-denyut: kok korupsi ya?. Sebaliknya juga akan menimbulkan hukum yang sama bila kita iseng-iseng bicara korupsi: katanya berpendidikan?. Lalu apa yang sebenarnya salah? Pendidikannyakah atau korupsinya?
MENEROPONG 1434 HIJRIAH
Sedia
payung sebelum hujan. Begitulah sebuah peribahasa yang kerap kali kita
dengar. Sebuah anjuran untuk menyiapkan segala hal secara cermat sebelum
hal tersebut menghampiri kita. Seringkali kita menjadi orang paling
sibuk sendiri ketika menghadapi suatu permasalahan. Menyalahkan waktu
yang terasa semakin sempit. Menyalahkan orang-orang di sekitar kita.
Bahkan menyalahkan Allah pun dapat saja terjadi.
Sedia payung sebelum
hujan. Mengisyaratkan kepada kita untuk belajar menyiapkan segala hal
dengan sebaik mungkin. Sehingga pada waktunya tiba kita akan benar-benar
siap. Seorang siswa yang memiliki rutinitas belajar setiap hari akan
berimbas pada prestasi di sekolahnya. Seorang karyawan yang bekerja
dengan penuh totalitas akan berdampak pada kelangsungannya di tempat
kerja. Seorang calon pemimpin yang menyiapkan dirinya dengan bekal
kejujuran, kedisiplinan, keuletan, dan sifat-sifat positif lainnya akan
membuat dirinya kelak menjadi pemimpin yang berintegritas. Begitu juga
umat manusia, ketika di dunia menyiapkan dengan cermat bekal hidup di
akhirat, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang indah.
Subscribe to:
Postingan (Atom)