Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Senin, 25 November 2013

Menjadi Guru 10

#Membajak Guru

 
hari ini begitu spesial bagi saya. terutama, ketika seluruh siswa di kelas XII APK2 serentak berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan guru 'hymne guru". saya terharu. mataku hangat. saya ingin menangis.
***

tanpa rencana yang tertera di RPP. pagi tadi saya punya sedikit ide untuk merayakan hari guru. setelah manggut-manggut sendiri saat istirahat, saya mulai rencana gila itu.

sebelum memaparkan ide tadi, saya ngelantur dengan menceritakan sebuah kisah film tentang penyanderaan oleh sejumlah penjahat kelas kakap.

"jadi, sebentar lagi kita akan meniru adegan dalam film tadi. yakni menyandra beberapa kelas. Setuju?"
tentu seluruh siswa terkejut. saya juga tak mengira akan berkata demikian.

Akhirnya, rencana mulai kubeberkan. saya membagi menjadi tiga kelompok. Setiap kelompok mempunyai tugas membajak kelas sendiri-sendiri.

"kelompok bertugas seperti pembagian tadi. Minta izin ke guru yang bertugas. Kondisikan kelas agar semua siswa berdiri. jangan lupa saling kode, dan mulailah beraksi" tampaknya semua pada riuh. tapi sepertinya paham.

"lalu, lanjutkan petualangan kalian menuju kantor guru. ucapkan selamat. lanjutkan ke kantor guru Sd dan SMP, beri hadiah termanis guru-guru di sana. meskipun hanya dengan ucapan selamat"...

Seluruh siswa langsung beraksi. Saya mendoakan semoga lancar jaya.
***
Lagu hymne gurupun berkumandang di sekolahku pagi menjelang siang itu. Tiga kelas dengan kompak melafalkan lirik yang tentu membuat banyak orang yang pernah merasakan sekolah menjadi merinding.

Ya, mungkin hanya seperti itu. Tapi saya pikir, para guru setidaknya akan memahami. bahwa mereka sebenarnya kaya. memiliki anak-anak yang luar biasa. Sehingga tak ada alasan untuk ogah-ogahan. menjadi guru yang bersih, peduli, dan selalu setia menghadapi ulah mereka. memang, kita tak perlu janji-janji seperti politisi busuk menjelang kampanye. berniat menjadi pribadi pendidik yang lebih baik lagi.

Selamat hari guru untuk sahabatku di SMK Tri Guna Bhakti, juga di semua sekolah. semoga kita selalu dikarunia kesabaran dan selalu ISTIMEWA dihadapan anak-anak kita.
— bersama Barok Julliardz dan 5 lainnya.

Senin, 04 November 2013

Menjadi Guru 9



Kesaksian: perjalanan di batas tahun; part. 1


sepagi itu saya sudah mendapati senyummu terkatung-katung di udara. Oksigen yang melimpah ruah pada daundaun itu menjadi hiburan tersendiri buatku. melihat itu, saya ingin terbang menjadi burung, persis seperti yang saat kita lihat hari itu. Sayapnya mengepak oleh suaramu yang parau. melenting di udara. hinggap di tambak yang telah mengering. Aku menikmati itu lebih dari yang kau lihat. begitupun yang kurasakan.

mari berhenti sejenak.

perjalanan hari itu bukan kali pertama. masih di tempat sama, mungkin modelnya yang agak berbeda. bahkan orang-orangnya tidak sama. tapi semangatku masih seperti dulu. tentu saya tertawa. saya suka itu. di alam lepas, saya selalu melenturkan rahangku dengan tawa. melepas beban hidup yang kian menggerogoti pikiran. maka obatnya ya tertawa. seperti hari itu.

sudah lama saya menunggu momen kebersamaan semacam ini. menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida secara acak, namun menimbulkan harmonisasi yang tidak bisa dibilang jelek.

saat kakikaki kita dengan lincahnya meloncati pematang tambak, udara tak begitu bersahabat. maksudnya, sinar matahari yang membuat sedikit kacau. panasnya menjalar dari ujung rambun hingga melesap ke tapak kaki. begitupun, tak memaksa surut niat kita untuk terus merangsek. saya katakan, "sekali lagi kita sampai'. ucapan itu berulang ulang. memang saya berbohong. namun itu demi memompa aliran semangat yang mengental di pembuluh darah kalian.

Toh, akhirnya kita berhasil kan? duduk di gazebo dengan mata nanar melesak ke lautan lepas. mencoba menerka berapa jarak yang telah menyeret kita kemari. mengalikannya dengan energienergi yang tercecer di jalanan. Tapi lihatlah, kalian tersenyum. kalian memantik energiku berlipatlipat.. kalian tampak seperti bukan kalian. maksud saya, kegembiraan dan keceriaan itu seperti kepunyaan malaikat. Ah, saya cukup haus. bahkan sangat.

mangrove, menjelang 1 Muharram 1435
*bersama 15 remaja putri yang sangat tangguh. didampingi sang maestro berkacamata. berkelana mencari satu tujuan yang sulit untuk dibayangkan. tapi akhirnya didapatkan dengan peluh yang membanjir. terima kasih atas kesempatan yang diberikan atas petualangan ini.

@21:09, hari itu juga
di perpustakaanku yang damai

Sabtu, 26 Oktober 2013

Menjadi Guru 8

Wedus


Binatang ini menjadi primadona. Bau dan kemunculannya tak asing lagi. Di dekat mall, dekat masjid, dekat sekolahan, di sepanjang jalan, dan banyak tempat lainnya. Sehingga saya sempat mikir, ini kota buaya apa kota wedus.

Sebagai kota yang punya maskot ikan SURO dan binatang semi legendaris BUAYA, tampak perlahan WEDUS mulai mengancam keeksisan dua binatang purba ala kota Surabaya.

Nah, selalu ada tragedi. Begitulah faktanya. Hari ini dan dua hari ke depan, komuitas pecinta WEDUS sudah pasti sedih. Sedih karena acara penyembelihan untuk hari raya ID tak mungkin bisa dibatalkan. Hampir di tiap masjid maupun yang berkepentingan, sangat mudah sekali mencium dan medengar erangan wedus. Selanjutnya, semuanya bermuara di perut kita.Begitulah, dan seterusnya.

Yang perlu diperhatikan, semoga setelah masuk sekolah nanti, kita masih tetap menjadi manusia. Bukan wedus atau sejenisnya. Untuk itulah, mari kita berdoa bersama, agar arwah sang wedus bisa lancar menuju sorga-Nya. Semoga juga, nasib kita ndak seperti wedus.

Salam wedus, ups maaf. salam Pak Shodiq

Rabu, 23 Oktober 2013

Bila Maaf Mulai Langka

MAAF. Kata ini begitu sederhana. Namun memiliki dampak yang luar biasa. Tanpa kita sadari, tampaknya kata tersebut akrab usai perayaan Idul Fitri saja. Selanjutnya, menjadi sesuatu hal yang begitu langka. Betapa tidak, lingkungan kita sepertinya menjadi praktik yang nyata. Baku hantam, tawuran, perkelahian, dan sejenisnya menjadi suguhan sering dijumpai. Tentu atas nama kebenaran yang kerap dimiliki sendiri-sendiri.
Akhir-akhir ini serentetan peristiwa perkelahian yang dibungkus baju politik menjadi hal yang lumrah. Karena tak puas dengan hasil pilkada di daerahnya, sampai harus baku hantam. Massa berkumpul, lalu melakukan anarki.

Tak ketinggalan juga para lembaga binaan di Lembaga Permasyarakatan.  Tempat yang seharusnya menjadi ajang refleksi bagi kesalahan, malah menjadi ajang bentrok. Kadang antar narapidana, kadang juga narapidana dengan sipir.

Cuplikan peristiwa di atas tersebut merupakan hal kecil dari potongan realitas saat ini yang membentuk puzle kekerasan. Memang menarik sekaligus menggelitik.

Selain lingkungan yang kita hadapi secara nyata, peran media-media dalam membentuk alam bawah sadar tentang kekerasan nyata adanya. Tayangan TV tampaknya masih belum melalui penyaringan yang sistematis. Seringkali kita disuguhi tayangan-tayangan vulgar tentang baku hantam. Bahkan pada jam-jam produktif. Maksudnya, ketika anak-anak umumnya menjadi pemirsa setia. Belum lagi ranah internet yang tanpa batas.
Kekerasan kemudian menjadi konsumsi sehari-hari. Oleh sebab itu tidaklah aneh bila lingkungan kita pun mengajari kita tentang bagaimana keakraban menjadi sebuah gejala umum.
Gejala-gejala ini pasti akan segera dengan cepat menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, di berbagai institusi, dan juga jenjang usia. Termasuk juga akan merambah ke dunia pendidikan. Hal terakhir itulah yang akan sedikit saya diskusikan.
***
Sekolah merupakan salah satu akses untuk menuju dunia pendidikan. Melalui sekolah, nilai-nilai kultural dan moral ditanamkan. Di sinilah tugas sekolah menjadi begitu rumit. Rumitnya? Gejala kekerasan yang sudah menjadi fenomena ini harus ditanggulangi sampai bersih. Begitulah persepsi umum. Pokoknya, tugas sekolah ya memberi obat selain sisi intelektualitas, juga obat anti kekerasan.

Padahal arena sekolah juga menyimpan gejala kekerasan. Tentu saja gejala ini tidak lahir serta merta. Munculnya bibit ini secara kompleks. Jadi bekal yang di dapat baik itu siswa dan guru di lingkungannya akan dipertaruhkan di arena sekolah.

Maka lahir yang disebut konflik horisontal (siswa vs siswa) dan konflik vertikal (guru vs murid). Nah, di sinilah tugas semua pihak menjadi penting. Ketegasan sekolah harus ditopang baik dengan kedisiplinan kehidupan lingkungan. Sinergi ini yang akan melahirkan generasi yang tidak saja pandai, tapi memiliki empati yang besar. Mempunyai kadar “maaf” yang tinggi pula.

Sekolah yang tingkat kedisiplinan rendah (Tentu banyak faktor yang mempengaruhi, termasuk status sekolah tersebut. Sekolah pinggiran memiliki level disiplin lemah, agar tak ditinggalkan muridnya. Sedangnkan sekolah TOP, akan dengan mudah memosisikan level kedisiplinannya, tentu karena meraka banyak yang mencari) akan membantu suburnya gejala praktik kekerasan. Lalu bagaimana produk yang dihasilkan oleh semacam ini?

Masalah ini harus menjadi bahan diskusi semua pemangku kebijakan di pemerintahan dan masyarakat luas. Ini masalah kita bersama untuk menuju bangsa ini lebih baik ke depannya. Tentu banyak alternatif yang seharusnya menjadi dasar dari gejala kekerasan ini.

Penguatan-penguatan nilai religius melalui ajaran agama pada tataran keluarga merupakan hal mutlak yang harus dijalankan. Islam telah secara detail mengatur hidup yang jauh dari hingar bingar kekerasan. Nilai inilah yang seharusnya dievokasi oleh keluarga, masyarakat, dan pemangku kebijakan di pemerintahan. Jangan sampai pelajaran agama hanya berhenti di hafalan para nabi, hafal ini, hafal itu. Tapi kemudian tidak berlanjut dalam setiap perbuatan kita.
***
Begitulah, sebisa mungkin memang kekerasan harus mulai ditinggalkan. Sebagai manusia terdidik, kita harus mampu hijrah ke arah sana. Toh, apa gunanya pendidikan bila masih mendidik kita sifat-sifat anarkis.
Marilah kita bersama untuk lebih dekat lagi dengan kata “maaf”.  Lebih akrab. Sehingga tak lagi serta merta otot yang bicara. Setidaknya berilah kesempatan hati nurani untuk menjawab semua permasalahan yang ada. MAAF.

Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUs4HJk2_yhi-2XlqBj0KoGU4jrG8ecP40AF7MwPyddDudKO0NRNY18MZrfPbVtfYOm7HSqsTFPnFtdP7PwzYJfp3_mrPauEcSt-lqKUKlUl9mf7UFGHpVFMuXImxBCoX3bVd0nb0N49HO/s320/maaf1.jpg

Baby Proof: Idealis dan Cinta

Karya: Emily Giffin (@2006); penerjemah: Isti Rahayu; penerbit: Esensi (@2009)

Baby Proof (bebas tangisan bayi)

Jatuh cinta, menikah, kemudian punya bayi. Itukah yang diinginkan setiap wanita?  Tidak bagi Claudia Parr. Ia tak pernah ingin menjadi Ibu. Baginya, adanya anak-anak akan menimbulkan masalah sendiri. Itulah sebabnya harapannya untuk menikah dengan lelaki yang berpandangan sama, menjadi seperti impian belaka. Sampai kemudian, dia bertemu dengan lelaki menawan Ben Devenport.

Perjumpaan dengan Ben, membuat Claudia menemukan harapan untuk melanjutkan hubungan ke yang lebih serius, menikah. Tentu saja ini didasari oleh prinsip Ben yang sama dengannya, tidak mempermasalahkan adanya anak atau tidak. Setelah berpacaran dalam waktu relatif singkat, menikahlah dua pasangan muda yang ideal ini.

Perjalanan rumah tangga keduanya ternyata tak sesuai dengan yang direncanakan di awal pernikahan. Suatu hari, Ben mengutarakan keinginannya untuk mempunyai anak. Ia iri dengan teman dan saudaranya yang punya bayi-bayi lucu. Menggemaskan. Maka, ketika niat ini diutarakan, respon Claudia menentang. Permasalhan inilah yang kemudian semakin meruncing. Akhirnya, pernikahaan mereka tidak bisa terselamatkan. Mereka bercerai.

Pada saat sendiri, Claudia menghabiskan waktunya untuk merenung. mempelajari apakah yang ia perbuatnya ini merupakan suatu hal buruk atau sebaliknya. Sampai kemudian, ia menjalin hubungan dengan Richard, teman sekantornya. Tetapi hubungan mereka tak lebih dari sikap putus asa Claudia, saat melihat Ben berpegangan tangan dengan gadis muda, Tucker, saat lomba marathon. Kendati Ben telah menjelaskan tak ada hubungan apa-apa, tapi Claudia memiliki pemikiran berbeda.

Hingga kemudian, Claudia mengajak Richard untuk menghadiri acara pembaptisan anak sahabatnya. Tentu saja, Claudia tahu, Ben akan hadir. Di sinilah sebenarnya ia ingin agar Ben melihat kalau dirinya sudah benar-benar melupakannya. Meskipun itu tak cukup berhasil. ia gugup dan salah tingkah ketika melihat Ben. Tapi rencananya berhasil, Ben menjadi cemburu melihat kehadiran Richards.

Selepas kejadian itu, Claudia memikirkan lagi jalan hidupnya. Meskipun pada akhirnya ia kembali lagi dalam dekapan Ben, tetapi keecemburuan antara Ben dan Claudia menjadi hal kocak.

Cerita ini memang masih percaya, bahwa cinta itu mampu mengalahkan segalanya. Claudia dan Ben bersatu. Setelah perceraian dan konflik batin keduanya. Hingga berujung sebuah kesadaran untuk saling mengalah. Claudia, yang memiliki masa lalu cukup buruk dengan orang tuanya, tak lagi mempermasalhkan apakan dirinya akn punya bayi atau tidak. Demikian juga dengan pemikiran Ben. Istimewa. (PS)

Senin, 01 Juli 2013

Menjadi Guru 7


 Tujuh

http://4.bp.blogspot.com/-c1i_u5qQes8/UIbd8uBhHdI/AAAAAAAAIM0/Nh4LyH_BTro/s400/sedih.png
Siang itu begitu panas. Sepanjang perjalanan, saya mencoba mengusir kegundahan hati dengan bernyanyi-nyanyi seperti orang yang lagi bahagia atau lebih tepatnya orang gila. Jalanan yang cukup macet, membuatku makin panik. Yap, hari itu saya harus ke sekolah baru untuk menjadi pengajar pengganti. Dua bulan, begitulah komitmen awal.

Aku berjalan ragu-ragu dari parkiran. Aku tak tahu di kelas mana harus mulai mengajar. Tapi hari itu saya sedang beruntung, di tengah kebingungan saya bertemu Pak Dody. Selanjutnya beliaulah yang mengantarku ke ruang guru. Memberikan sedikit penjelasan. Tentu saja cukup mengejutkan, saya harus mengajar siswa putri. Apalagi harus berada di ruang guru putri pula. Inilah yang membuatku sedikit kikuk. Mau bicara rasanya susah. Malu. Begitulah.
                                                                           ***

27 Maret 2013. Pukul 09.15

Hari itu masih pagi. Saya melangkah cepat menuju parkiran. Mataku panas. Kugunakan sapu tangan untuk menyeka air mata yang tak kuasa kubendung. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa diam. Sesekali menarik napas panjang. Kebersamaan dua bulan dengan sahabat kecilku hari itu harus berakhir. Jujur, saya begitu kehilangan. Keceriaan mereka. Kenakalan mereka. Keisengan mereka. Ah, perpisahan ini menyisakan kenangan manis yang tak mungkin bisa kubagi dengan siapapun.

DOS

 
http://www.prfmnews.com/classSharing/classImages/slide-berita/bbm-naik.jpg
Kemarin saya pulang kampung. Momen liburan. Di sekolah ada aktivitas penerimaan siswa ups peserta didik baru. Yah, mau siswa/murid/peserta didik, bagi sekolah swasta pinggiran sama pentingnya.

Nah, kembali ke masalah pulang kampung. Perjalanan Surabaya menuju Lumajang memakan waktu kurang lebih 4 jam. bagi yang awam dengan Lumajang, bayangkan saja Jember lah. Kalau masih belum juga ngeh, imajikan dengan tempat nun jauh di selatan.

Ndak tahu kenapa, hari Jumat kemarin, bus bus pada padat penghuni. Jadi harus duduk di kursi tambahan. Kursi plastik. Padahal busnya Patas. Itupun tarifnya sama saja dengan yang duduk di kursi empuk. Masih belum berhenti, tarifnya naik. Yap, ini masalah BBM tempo hari.

Menjadi Guru 6

http://www.marketing.co.id/wp-content/uploads/2011/11/Raport-235x300.jpg
REPOT

Benar saja. Repot. Begitulah satu kata ampuh untuk menggambarkan situasi menjelang pengambilan RAPOR. Apalagi bila angka-angka yang ada di dalam benda tersebut tidak cukup baik dari tahun sebelumnya. Tentu Orang Tua kita akan sedikit rajin melontarkan petuah-petuahnya. Rumusnya jelas, masuk telinga kiri, keluar telinga kiri. Lho? Ya, karena telinga kanannya disumpal headphone..

Apakah hal semacam ini terjadi di sekolah tercinta kita? Jawabannya tentu pasti. Yang saya tahu, prestasi siswa di sekolah ini cenderung turun. Ada juga sih yang naik. Tapi itupun menjadi bagian minoritas. Nah, umumnya nilai siswa di sekolah ini cenderung terjun bebas. Memanglah, tak bisa disalahkan kepada pelakunya. Maklumlah, setiap hari tentu kita banyak permasalahan yang datang. kadang-kadang masalah tersebut menghantui. mengejar-ngejar. memukul. menendang. Sampai akhirnya kita ambruk. Nyerah pada permasalahan yang membelit. Untung saja masih ada sisa nafas.

Jumat, 28 Juni 2013

Menjadi Guru 5

SELESAI

mungkin belum ya. tapi saya pikir inilah saatnya. Setahun lalu, saya harus merelakan air mata jatuh. Pensi dan Wisuda GAGAL. Ya, tak ada yang lebih menyakitkan dari saat itu. Melihat dan merasakan betapa besarnya sumbangan kawan-kawan OSIS dalam mempersiapkan acara waktu itu. Kesedihan dan kegeraman menjadi satu. Mudah sekali menemukannya di wajah kawan-kawan OSIS, bahkan rekan guru juga tak kalah syok, sedih, sekaligus geram. Malam itu menjadi malam terburuk selama berada di sekolah ini.

saya tak mengatakan ini dendam, tapi biarlah bila dikatakan dendam: saya meluapkan kegembiraan saya setelah acara Pensi dan Wisuda kemarin berjalan dengan lancar. Entahlah, ketika itu saya merasa paling bahagia. Tentu saja bukan bahagia untuk kinerja saya, karena saya sadar, yang berperan besar dalam acara ini yakni kawan-kawan OSIS. Merekalah yang dalam tiga bulan ini pontang-panting. Bahkan, tak jarang mereka harus menerima kata-kata pedas dari pembina OSISnya. Yap, saya lah yang tak habis-habisnya melabrak kawan-kawan OSIS bila kurang greget. Cukup, bahkan sangat kejam. Saya sadar itu.

Begitulah, keberhasilan PENSI dan WISUDA menjadi semacam obat penawar. Entahlah, penawar dendam mungkin. Meski saya sadar, dendam bukanlah sesuatu yang baik. Lihatlah, wajah-wajah lesu kawan-kawan panitia kemarin, saya melihat bara kepuasan dalam senyum dan tatapan mata mereka. Sore itu menjadi yang paling membahagiakan. Yah, bisalah mengisi dukaku yang baru saja kehilangan seseorang yang paling kucintai tuk selama-lamanya.

dan, terima kasih buat semua pihak yang berpartisipasi acara pensi. rekan OSIS, siswa-siswi SMK TGB, guru, alumni, pihak sponsor. Yang paling spesial, selamat jalan buat WISUDAWAN. Jadilah pribadi yang memberikan kenyamanan bukan lainnya...

Apakah ini berarti selesai? oh, saya pikir tidak. hari berikutnya masih panjang. penuh liku. setidaknya kita telah berjalan dengan benar. tidak paling benar memang.

Salam Pak Shodiq

Jumat, 11 Januari 2013

Menjadi Guru 4

RAPOT

itu saja. Tapi gara-gara itu pula, saya harus menahan malu karena beberapa mata pelajaran nilaiku mendapat angka 5. Pertama matematika, jelas saya maklum, ini musuh abadi saya semenjak SD. Kedua Agama, dapat nilai 6. Hah, jelas ini gila. saya tercatat sebagai santri aktif di mushola kampung. Terakhir, mata pelajaran produktif, menggambar elektronik, nilaiku terjun payung di poin 4,5. Saya benar-benar menyerah, saya benci menggambar. Bahkan mungkin semenjak dalam kandungan.

Pagi itu untuk pertama kalinya yang mengambil rapot, bukan orang tuaku. Menempuh pendidikan STM jauh dari kota kelahiran memberikan sensasi yang berbeda. Di SMP setiap semester saya selalu dibanggakan karena nilaiku selalu surplus. Okelah, saya setuju itu masa lalu. Pagi itu saya menunduk ketika Ibu Kosku memberikan rapot kepadaku sambil memberikan wejangan. Telingaku panas. Sepertinya ribuan tawon mengepung kepala. Entahlah saya menjadi manusia paling tidak beruntung.

Semenjak di STM, yang mengurusi segala masalahku di sekolah adalah Ibu Kos. Sudah mendapat mandat dari orang tuaku. Maka, mendapat nilai buruk, menjadi pukulan telak bagiku. Malu pada diri sendiri, pada Ibu kosku, dan ah.. aku telah mengecewakan orang tuaku.. Anehnya, tiap semester saya selalu ada yang buruk nilaiku.

Semenjak STM, memang ada satu kebisaan baru yakni keranjingan Playstation. saat itu masih PS1. Setiap hari selalu ada waktu yang kuluangkan ke rental untuk bermain PS. Maklum di kampungku saya tak menemukan hiburan seperti itu. Mungkin cuma main bola, main layangan, main gambar, dan beberapa permainan ala anak desa. hijrah saya untuk sekolah di salah satu kota besar, memiliki dampak tersendiri.

Aha, ternyata itu dulu. sekarang saya malah didatangi salah satu siswa, sambil menunjukkan rapotnya. Di situ ada nilai 5, dan saya tersenyum saja melihat mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi bahan diskusi anata saya dengan murid saya. Saya memahami perasaannya, sebab di luar ruangan, Ibunya tampak menunggu sang anak. Perasaan saya tiba-tiba campur aduk. Apakah saya terlalu kejam? apakah saya terlalu egois? apakah saya raja tega?

Untuk teman-teman semua, semoga rapot yang ada di tangan sahabat semua (meskipun terlambat) silakan dinikmati. yang mendapat nilai bagus, bersyukurlah dan tingkatkan. Untuk yang mendapat nilai kurus kering, bangkitlah untuk menjadi lebih baik. Rapot bukanlah nilai akhir dari segalanya. Bukan vonis. karena saya yakin, teman-teman lebih bagus dan tak terumuskan oleh angka-angka. Selamat kawan..

Salam Pak Shodiq

Senin, 07 Januari 2013

Menjadi Guru 3

H+

Demam sekolah menjadi titik temu kebisingan pagi ini. Liburan semester yang hampir tiga mingguan nampaknya sedikit memberikan energi positif bagi pecandu sekolah, baik itu muridnya ataupun gurunya. Tentu saja saya ambil bagian dalam kebisingan itu. Pagi-pagi sudah diberi wejangan Ibu agar membetulkan selokan yang mampet. Alhasil, aku harus bergumul dengan comberan yang sedikit kurang sedap. Bahkan setelah berkali-kali kucuci dan kuberi minyak wangi, samar-samar masih tercium aromanya.

Hanya sedkit waktuku setelah bergelut dengan selokan, selanjutnya melanjutkan kembali rutinitas sebagai guru yang sempat terhenti dalam liburan ini. Motor kuparkir dengan perasaan agak bahagia, pasalnya belum terlambat. Segera saja menuju ruang guru dengan menahan rasa sakit di pergelangan tangan akibat beradu dengan beron selokan. Baunya juga masih segar. Bau selokan. Menyapa beberapa guru yang berbincang di dekat mading. Sensasi yang cukup berbeda, mungkin karena jarang berjumpa jadi memberikan sebuah cetakan kejut yang membuat pikiran menjadi baru.

Setelah merapikan rambut dan memotong kumis di ruang guru, saya langsung menuju kelas XII APK. Beberapa buku telah kusiapkan. Saya melangkah dengan pelan. Bau selokan masih kurasakan berpendar dari tanganku. Di ruang kelas, saya merasa berada di sebuah selokan yang cukup besar dan di dalamnya banyak wajah-wajah yang melancarkan nada protes. Musim hujan tampaknya membuat ruang kelas ini menjadi cukup parah. Air menggenang di sana-sini. Wajah-wajah siswa nampak mendukung suasana. Muram.

Yang ada di benakku saat itu yakni, bagaimana agar kelas tersebut menjadi bersih kembali. Bukan itu saja, saya ingin teman-teman XII APK dengan senang hati dan gembira membersihkan kelasnya. Ternyata impian saya terwujud, beberapa anak rela mengepel, membelikan soklin lantai, melepas sepatu, mengambil air berkali-kali, menyapu. Tentu saja sambil bercanda. Supri yang konyol dengan sepatu abu-abunya. Agus yang memiliki pengalaman ceria dengan ruang kelas basah. Bagus yang sedikit senyum tapi cukup telaten. Ratno yang ulet menyapu dan sesekali mengelap lantai. Hasan dengan senyum simpulnya membantu agus. Ludia dengan bijaknya memberikan petuah. Begitu juga dengan eko yang kadang membantu, kadang memberikan masukan. Fatmah, anggun, rini yang bergantian mengelap meja dan mengambili kursi. Juga semua siswa yang begitu keadaan bersih langsung berduyun-duyun masuk kelas dengan sedikit komentar-komentar jenaka.

Saya begitu terkesan dengan kelas ini. Terimakasih banyak atas kerja kerasnya tadi pagi. Semoga ndak bosan seperti itu lagi bila sewaktu-waktu hujan lebat. Kelas kalian merupakan rumah kalian juga ketika berada di sekolah. Harus ada yang sadar untuk merawatnya. Tentu saja agar kita nyaman di dalamnya. Tenang saja, beberapa bulan lagi teman-teman akan segera lulus. Saya doakan semua lancar....

Begitulah. Saya belajar banyak dari kerja keras "sampean".

Salam Pak Shodiq

Menjadi Guru 2

I

Akhirnya sampai juga. Liburan telah menunggu. Setelah enam bulan berjibaku dengan alat tulis, uang saku, raut guru yang menjengkelkan, senyum teman yang tulus, dan banyak hal lainnya. Saatnya untuk mengenang kembali, apakah selama enam bulan yang telah kita jalankan di semester kemarin, banyak mengubah sikap kita. Mungkin menjadi lebih dewasa, menjadi lebih percaya diri, atau justru malah menjadi-jadi sifat buruknya. Sebut saja bertambah malas, sering menguap saat pelajaran, sering menghujat teman dan guru...

Sederhana saja. Rentang enam bulan seperti baru kemarin kita jalani. Untuk yang saat ini duduk di kelas X, bukankah putih biru serasa kemarin kita tanggalkan? yang kelas XI, bukankah masa-masa kelas X masih segar dalam ingatan? untuk yang kelas XII, waduh enam bulan lagi ternyata harus sudah angkat koper dari skul tercinta kita. Waktu bergerak sedemikian cepatnya. 24 jam yang kita miliki tiap harinya ternyata kadang-kadang membuat kita tetap seperti itu-itu saja.

Entahlah, tapi yang jelas menyesal untuk apa yang terjadi tak banyak membantu kita. Maka mari kita niatkan dengan sesadar-sadarnya untuk bangkit lagi di masa mendatang. Semester dua sudah mulai menyambut kita. Ramah atau tidak, itu tergantung dari bagaimana yang kita lakukan. Tentunya enam bulan lagi kita berharap yang terbaik bagi kita. Bisa melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi, dan lulus untuk yang sekarang kelas XII.

Salah satu sahabat kita, ada yang tidak lagi bisa melanjutkan sekolah karena masalah keluarga. Sehingga sekarang dia memutuskan untuk bekerja saja ketimbang sekolah. Meskipun dia menyadari, sangat berat sekali untuk meninggalkan sekolah yang telah ia jalani hampir tiga bulan lamanya. Tapi seklai lagi, hidup memberinya pilihan yang berbeda. Dan saya mendukungnya untuk bekerja. Bukankah pengalaman tidak hanya datang dari bangku sekolah saja? Jadi untuk teman-teman kecilku yang sekarang masih berkesempatan sekolah, mari kita gunakan sebaik-baiknya. Banyak sahabat kota di luar sana yang tidak bisa sekolah karena faktor keadaan.

Selamat berlibur sahabat. Semoga setelah liburan nanti, kita menjadi fresh kembali.

Salam Pak Shodiq

Menjadi Guru 1

NAH

rupanya musim penghujan sudah memasuki masa subur. Kepala ini hendak pecah rasanya, setelah tidak sengaja harus berjibaku dengan hujan. Padahal dulu, mandi hujan merupakan ritual wajib bersama teman-teman semasa kecil. Ternyata daya tahan tubuh sudah tidak segila dulu. Selain kepala pusing, hidung juga kena demam dan selalu kembang kempis ketika bernafas. Ada yang mengatakan itu gejala hendak dapat rezeki. wow, tentu saja saya tak mau koprol mendengar wejangan aneh tersebut.

Saya suka sekali menikmati saat-saat kesehatan merasa menjadi lebih penting dari pada membuka akun fesbuk. Tapi tetap saja, kesibukan enggan untuk ditinggalkan begitu saja. Beberapa hari yang lalu juga demikian, dengan kepala berat saya tergesa-gesa menuju sekolahan. Agenda pagi itu yakni mengantar anak-anak prakerin. Kebetulan germbolan kami mendapat tempat praktik di kecamatan tambak sari. Tapi yang penting bukan itu, saya lebih suka menikmati kecemasan beberapa sahab
at muda yang masih debar-debar untuk memulai prakerinnya.

Justru disitulah saya beruntung, bisa belajar dari teman-teman kecilku. Mereka telah siap sesiap-siapnya. Bahkan hapeku terus berbunyi. Pesan masuk dari beberapa siswa yang mengingatkanku untuk segera ke sekolah. Tentu saja agak malas rupanya, tapi saya buang rasa itu. Saya berangkat dengan menahan sakit kepala. Saya tersenyum di jalanan membayangkan wajah teman-teman yang pastinya dag dig dug duer......

Korupsi Bukan Tujuan Pendidikan Kita


Pendidikan itu penting. Maka tak heran bila pemerintah mulai melirik investasi ini sebagai tabungan jangka panjang. Idealnya, jika pendidikan di negara ini berkualitas maka akan menghasilkan sebuah generasi yang akan membawa negara ini menuju situasi yang gemah ripah loh jinawi.  Realitas demikian akan memunculkan sebuah pertanyaan sederhana tapi susah untuk menjawabnya: Kualitas yang bagaimana?
Mau tak mau kita harus berkaca pada kondisi kekinian. Sebagai tempat yang digadang-gadang sebagai pembentukan kepribadian yang unggul dan seabrek citra positif, sekolah belum mampu menjawabnya. Lalu tradisi masyarakat kita yang suka mencari kambing hitam akan mengalir sendirinya dengan kreatif. Guru kemudian dijadikan sasaran tembak. Gurupun tak mau tinggal diam. Mereka menuding kebijakan-kebijakan pemerintahlah yang tidak jelas dan terlalu abstrak. Pawang-pawang pendidikan di pemerintahan  juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk berkelit. Lalu munculah seabrek kebijakan baru yang menuntut guru untuk begini dan begitu, ujungnya: peningkatan kualitas guru.
***
Pendidikan dan korupsi itu dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Kalau bicara pendidikan, mau tak mau di kepala kita akan berdenyut-denyut: kok korupsi ya?. Sebaliknya juga akan menimbulkan hukum yang sama bila kita iseng-iseng bicara korupsi: katanya berpendidikan?. Lalu apa yang sebenarnya salah? Pendidikannyakah atau korupsinya?

MENEROPONG 1434 HIJRIAH



            Sedia payung sebelum hujan. Begitulah sebuah peribahasa yang kerap kali kita dengar. Sebuah anjuran untuk menyiapkan segala hal secara cermat sebelum hal tersebut menghampiri kita. Seringkali kita menjadi orang paling sibuk sendiri ketika menghadapi suatu permasalahan. Menyalahkan waktu yang terasa semakin sempit. Menyalahkan orang-orang di sekitar kita. Bahkan menyalahkan Allah pun dapat saja terjadi.

            Sedia payung sebelum hujan. Mengisyaratkan kepada kita untuk belajar menyiapkan segala hal dengan sebaik mungkin. Sehingga pada waktunya tiba kita akan benar-benar siap. Seorang siswa yang memiliki rutinitas belajar setiap hari akan berimbas pada prestasi di sekolahnya. Seorang karyawan yang bekerja dengan penuh totalitas akan berdampak pada kelangsungannya di tempat kerja. Seorang calon pemimpin yang menyiapkan dirinya dengan bekal kejujuran, kedisiplinan, keuletan, dan sifat-sifat positif lainnya akan membuat dirinya kelak menjadi pemimpin yang berintegritas. Begitu juga umat manusia, ketika di dunia menyiapkan dengan cermat bekal hidup di akhirat, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang indah.