Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Minggu, 29 November 2009

baru kemarin; kak Nana

aku masih melangkah sore itu...
masih tertatih-tatih menyambut mimpi.

aku lupa
baru kemarin kakiku tumbuh.

"Tenanglah dikh, aku di belakangmu", suara itu menggema.
tapi mulutku tertutup. cuma ada Hp, bawang dan komik.

suatu sore yang cerah, senja tertata menyilang membalut kaki kecilku.

"Dikh, ka2kmu yang cwakep ni kn brnjak plg
kkampung hr kamis.. Maap klo nda2k, tp mo gmn
lg...Doain y... N jgn lp komik gw bu...
" suara itu
menggema.
tapi mulutku tertutup. cuma ada Hp, Bawang, dan komik.

aku masih melangkah sore itu.

Tuhan, suara ini pertama kali kudengar beberapa tahun lalu....
sore itu kembali ku dengar suara ini

besok aku tetap akan melangkah, entah...
suara itu mungkin juga ada besok.

"beberapa tahun lalu, aku ke sini pertama kali, sore hari dengan
sepeda ramah lingkungan." suara itu menggema.
tapi mulutku tertutup. cuma ada Hp, Bawang, dan komik.

baru kemarin aku melangkah.
sore ini baru kemarin.
...................................Surabaya, menjelang kepergian kak Nana.

Monumen daging sekilo


daging sekilo untuk saudaraku. saudaraku beribu jumlahnya.
Mana cukup untuk keluargamu?

Anjuran dari kami:

Kamu harus berangkat pagi.
seusai subuh berkemaslah. bawa si kecil serta.
Merapatlah ke pintu gerbang. tapi bekalmu tidak hanya seporsi nasi.
nyawa si kecil di pelukmu itu sudah cukup.

ingat ya, budayakan antri. kalau kepepet,
terjang saja.

good Luck saudaraku. ^_^
.................................................sby, 29 Nov 2009

salam kompak : untuk Fadjroel Rahman



selamat pagi saudara. Tekan terus
bel-bel rumah berkaca. jangan ambil pusing perihal penghuninya.
Saudara tekan terus hingga berdentang.

jangan sungkan bernyanyi, bila itu perlu.
berkicaulah terus seperti kami, sekawanan burung tanpa bulu.

jangn pernah surut, hadirkan ombak yang tak terduga sebelumnya
kami adalah pasir yang siap menggaramimu
menggarapmu menjadi parlemen bening.

kawan, tarik urat lehermu sebisamu.
sampai pintu bobol. meski tak bisa bobol.

tekan terus bel-bel rumah berkaca itu. kami yang buka pintu
..............................................Surabaya, 29 Nov 2009

Jumat, 27 November 2009

Mengawal Waktu Di Ujung Dermaga


Bulan November telah sampai di penghujung.

Sebentar lagi tahap pamungkas, Desember menganga laksana ozon.

Waktu akan melebur. Mencengkram pundak ini lalu membuangnya ke jurang. Langkahku tertatih, menyeruak musim yang baru berganti. Hijau kemuning terbang merendah bersama sapuan angin darat yang selalu berjaga. Kehidupan kan kembali.

(Anda sudah siap mati?)

Penghujung menjadi tepi bila kita memahami pertanda ini.

Penghujung juga menjadi api andai kita menyalahi arti.

(Lalu kapan penghujung menjadi ujung)

tibalah kita pada satu titik. Titik kecil yang menusuk bola matamu

pada dermaga yang enggan bersuara. Pada kerumunan massa yang berdendang nada-nada muram.

bola matamu yang ketar-ketir

mari jaga ucapan sebisa kita. jaga nada sesuka papa. jangan bicara seperti mereka. berhenti bergunjing segera.

Bulan November telah sampai di penghujung.

kita semakin muda. kita segera pudar.

tahunpun menyendiri lagi. berganti lagi. terus demikian sampai kita lupa.


Surabaya, 28 Nov 2009

Senin, 16 November 2009

Dongengan Sang Hero


Sebuah waktu yang enggan di deteksi para ilmuwan.
Tersebutlah sebuah negeri besar lagi kaya. besar jumlah penghuninya. kaya koruptornya. besar hutang luar negerinya, mokong cukong-cukongnya.

Penghuninya saling tikam. saling tuding. caci-mencaci,. demo-demoan. dan sementara itu pahlawan kesuma bangsa, yang pertaruhkan nyawanya harus terbujur kaku di pekuburan ini.

dengarkan, aku hendak bercerita pada kalian. tentang sebuah dongeng bernama Pahlawan.
Ya, pahlawan.. Pahlawan bertopeng dan yang tak punya topeng.
Pahlawan yang miara cicak. Pahlawan yang miara buaya.
Pahlawan yang menilap uang rakyat untuk kebahagiaan anak dan isterinya.
dan pahlawan yang enggak punya jam beker. sehingga bangunnya selalu kesiangan. alias pahlawan kepagian. serta pahlawan yang tak bertanda.

dengarkan. kita semua adalah pahlawan. hanya pikiran piciklah yang mengkontruksi makna pahlawan. pejuang yang mati membela bangsa. padahal, pahlawan ada di mana-mana.
dan kita semua adalah pahlawan. pahlawan atas kepentingan kita. nafsu kita. kebejatan kita. keluhuran kita. dan mimpi-mipi ortu kita.

dengarkan. periksalah catatan kita tentang dongeng-dongeng yang telah menguap. tentang pahlawan yang terbujur kaku. membiru dan membeku. juga membusuk.
Coba liat seksama. nisan-nisan ini.
Anda mendengar suara tawa?
Anda menangkap senyumannya?
Apakah anda justru tidak apa-apa?

Coba jangan menyerah. pahami suara ini.

"KAMI BICARA PADAMU DALAM HENING DI MALAM SEPI
JIKA DADA RASA HAMPA DAN JAM DINDING YANG BERDETAK.
KAMI MATI MUDA. YANG TINGGAL TULANG DILIPUTI DEBU.
KENANG-KENANGLAH KAMI.

KAMI CUMA TULANG-TULANG BERSERAKAN
TAPI ADALAH KEPUNYAANMU
KAULAH LAGI YANG TENTUKAN NILAI TULANG-TULANG YANG BERSERAKAN

ATAU JIWA KAMI MELAYANG UNTUK KEMERDEKAAN, KEMENANGAN DAN HARAPAN
ATAU TIDAK UNTUK APA-APA
KAMI TIDAK TAHU, KAMI TIDAK LAGI BISA BERKATA

KAULAH SEKARANG YANG BERKATA" (CH-aw)

Anda sudah mendengar bukan? jadi buat apa kita berdongeng? buat apa ngeributin cicak? ngomongin koruptor? nggosipin buaya? menghujat sana-sini. malu. malu seharusnya kita
pada yang telah menjadi tulang.

dengarkan, marilah malam ini kita berbuat keadilan. membeli racun tikus. lalu menggaknya sampe mampus. karena itu lebih terhormat ketimbang hidup dalam kegagalan.

suatu saat, ibu akan berkata pada anaknya......
"jangan nangis nak, negeri ini pasti akan aman. gemah ripah loh jinawi. tapi nanti. setelah ibumu nyusul bapakmu mati. setelah kamu mati"

Penghuni negeri itu pun berduyun-duyun ke sorga. koruptor menyambut dengan gegap gempita. ada yang ngebawa cicak. nnunggang bguaya. koruptor menyambut kita. meninggalkan pahlawan kesuma bangsa jauh di belakang. mari bersatu.
MERDEKA DAN MATI.
................................Surabaya, 9 November 2009.

KajianHermenutika puisi "Ode Bagi Burung" karya Abdul Wachid BS

Latar Belakang
.......Sastra merupakan seni yang bermedium bahasa. Bahasa sastra mempunyai ciri khas tersendiri dalam perwujudannya. Sehingga untuk menginterpretasikan wacana sastra, tidak hanya terlibat dengan sistem bahasa semata, tetapi juga harus mengetahui sistem sastra. Sastra merupakan sistem tanda sekunder yang membentuk model, tergantung dalam hubungnnya serta seringkali dalam pertentangannya dalam bahasa (Lotman dalam Teeuw, 1988:99).
......Pemahaman karya sastra, selalu melibatkan konteks. Konteks yang dimaksud merujuk pada genre tertentu, metode yang digunakan dan realitas dimana sastra itu berada. Pada makalah ini, kami mengkaji sub genre sastra yakni puisi yang berjudul “Ode bagi burung” karya Abdul Wachid B.S Metode yang dipakai yakni hermeneutika. Metode ini berupaya memahami fenomena sastra secara mendalam. Melalui pemahaman gramatikal (sistem bahasa) dan penafsiran berdasarkan konteks wacana

Rumusan masalah
1. Bagaimanakah makna puisi yang berjudul “Ode bagi burung” karya Abdul Wachid B.S secara gramatikal?
2. Bagaimanakah makna puisi yang berjudul “Ode bagi burung” karya Abdul Wachid B.S berdasarkan konteks wacana?

Tujuan penelitian
1. Mengetahui puisi yang berjudul “Ode bagi burung” karya Abdul Wachid B.S secara gramatikal
2. Mengetahui makna puisi yang berjudul “Ode bagi burung” karya Abdul Wachid B.S berdasarkan konteks wacana

Telaah Pustaka
Pengertian puisi
........Pradopo (2005:7), memberikan definisi yang merupakan hasil penyimpulan terdapat pendapat beberapa kelompok ahli. Menurutnya ada tiga unsure pokok dalam puisi: pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide atau emosi; kedua, bentuknya; dan ketiga ialah pesannya, di mana semua tertangkap dengan media bahasa. Jadi menurut Pradopo, puisi iru mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang panca indera dalam susunan yang berirama.
.......Menurut Rifaterre puisi itu menyatakan sesuatu yang tidak langsung, menyatakan suatu hal yang mempunyai pengertian lain. Ketidak langsungan ini menurutnya disebabkan olehtiga hal, yaitu displacing (penggantian arti) terjadi pada metafora dan metonimi, distorsing (penyampingan arti) terjadi pada ambiguitas, kontradiksi dan nonsense dan creating (penciptaan arti) terjadi pada pengorganisasian ruang teks, persejajaran tempat, enjambement, dan tipografi (Pradopo, 2005: 12-13).

Puisi Ode Bagi Burung karya Abdul Wachid B.S
Berikut puisi Ode Bagi Burung karya Abdul Wachid B.S secara lengkap dalam (Rampan, 2000).
Ode Bagi Burung
Oleh: Abdul Wachid B.S
Burung yang kau lepas itu
Mendadak melepas bulu-bulunya di udara
Matahari kota besar ini meranggasnya
Hingga ia jatuh ke tanah dan debu

Apa lagi yang kau harapkan dari bekas kepaknya
Diantara orang ramai yang tak pernah kembali
Di trotoar, ke pasar, ke ceruk kegelapan
Tak memanggili ayat-ayat yang dikicaunya dulu

Burung yang kau lepas itu
Kini bersimbah darah, dan mandi debu
Orang sunyi mengenali yakni hatimu
Yang tak lagi memanggili dirinya sendiri

Di trotoar sepi jalanan waktu
1994

Pengertian hermeneutika
Ratna (2009: 45), secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneum, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tak mengerti (Djojosuroto, 2009:238).
2.4 Hermeneutika dan sastra
Dalam penelitian sastra hermeneutik memiliki paradigma tersendiri. Menurut Ricoeur (Sumaryono, 1999:106), hermeneutik berusaha memahami makna yang ada di balik struktur.pehaman makna makna, tidak hanya pada simbol, melainkan memndang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, peneliti harus menukik ke arah teks dan kontes sehingga makna teks utuh. Metode ini meminjam gagasan bahwa semua pemahaman itu dikondisikan oleh pengetahuan sebelumnya yang dimiliki interpreter dan bahwa pemahaman itu diputuskan melalui interpretasi, dengan demikian menciptakan kondisi baru bagi pemahaman (Titscher dkk, 2009:326)
Penafsiran teks sastra setidaknya, akan mengikuti salah satu atau lebih dari enam pokok rambu-rambu, yaitu:
1. Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas.
2. Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historic
3. Penafsiran hermeneutika baru terutama yang diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dan masi kini.
4. Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra
5. Penafsiran yang berpangkal pada suatu aspek tertentu, misalkan dari aspek psikologis, sosiologis, politik, moral dan sebagainya.
6. Tafsiran yang tidak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya. (Djojosuroto, 2009:247-248).
2.5 Langkah analisis hermeneutika
Langkah analisis hermeneutika oleh K.M.Newton dalam (Djojosuroto), mengemukakan dua hukum.
1. Penafsiran gramatikal
Penafsiran ini didasarkan pada penggunaan bahasa scera umum yang dipakai oleh penulis.
2. Penafsiran berdasarkan konteks dan wacana
Penafsiran ini didasarkan pada pemerian simbol-simbol yang terdapat dalam teks. Hal ini pemahamannya meliputi sistim sastra dan budaya.

Pembahasan
Penafsiran puisi “Ode bagi burung” karya Abdul Wachid B.S secara gramatikal
Secara gramatikal kita bisa menafsirkan puisi“Ode bagi burung” menurut sistem bahasa secara umum sebagai berikut.
Bait pertama
Bait pertama aku lirik mengemukakan sesuatu terhadap tokoh “kau”. Di sini ada dua hal yang menarik, yaitu: apakah aku lirik menceritakan sesuatu yang diketahui oleh “kau” atau belum diketahui.
Burung yang kau lepas itu
Mendadak melepas bulu-bulunya di udara
Matahari kota besar ini meranggasnya
Hingga ia jatuh ke tanah dan debu
Aku lirik menyatakan kepada tokoh “kau” bahwa burung yang telah dilepaskannya ke udara bebas telah terjatuh ke tanah yang penuh debu. Mengapa? Karena matahari di kota besar ini telah meranggasnya.
Bait kedua
Awal bait kedua dimulai dengan pernyataan yang mempertanyakan implikasi dari realita di bait pertama. Yakni burung milik “kau” yang terjatuh setelah dilepaskan ke udara bebas.
Apalagi yang kau harap dari bekas kepaknya
Baris ini mengindikasikan jika aku lirik dan lawan bicaranya mempunyai ikatan emosional. Maksudnya aku lirik melihat bila burung yang telah jatuh itu tidak akan pernah bisa terbang lagi. Padahal burung tersebut merupakan sesuatu yang berharga bagi tokoh “kau”. Terlihat di sini aku lirik tidak hanya sekedar memberi tahu, tetapi lebih memberikan pandangan dari perspektifnya sendiri terhadap permasalahan ini. Hal ini dipertegas oleh baris selanjutnya.
Diantara orang ramai yang tak pernah kembali
Di trotoar, ke pasar, ke ceruk kegelapan
Tak memanggili ayat-ayat yang dikicaunya dulu
Itulah argumen dari perspektif yang hendak diajukan tadi. Bahwa tidak ada seorang pun yang memanggili kicau burung yang telah terjatuh ke tanah.
Bait ketiga dan keempat
Bait ketiga menjelaskan sekaligus mempertegas realitas yang terjadi pada burung malang itu pada tokoh “kau”. Bahwa burung tersebut kini berdarah dan berdebu akibat terjatuh dari udara.
Burung yang kau lepas itu
Kini bersimbah darah, dan mandi debu
Baris selanjutnya cukup menarik untuk kita simak. Karena di sini penyair membicarakan orang ketiga.
Orang sunyi mengenali yakni hatimu
Yang tak lagi memanggili dirinya sendiri
“Orang sunyi” dan kata ganti milik orang ketiga (-nya) dari “dirinya” memunculkan teka-teki. Siapakah yang dimaksud “orang sunyi”? Pada tataran ini tidak begitu penting siapa yang dimaksud. Lalu kata “mengenali” bila kita kaitkan dengan baris sebelumnya, berarti yang dikenali oleh “orang sunyi” sebagai hatinya “kau” merupakan burung itu sendiri. Perhatikan bait ketiga secara utuh.
Burung yang kau lepas itu
Kini bersimbah darah, dan mandi debu
Orang sunyi mengenali yakni hatimu
Yang tak lagi memanggili dirinya sendiri
Pada bait keempat, aku lirik mencoba memberikan sebuah kesimpulan terhadap permasalahan yang dihadapi “kau”, yakni kesepian itu telah datang di setiap waktu baik itu di jalan maupun trotoar tempat pejalan kaki lalu lalang.
Di trotoar sepi jalanan waktu

Penafsiran puisi yang berjudul “Ode bagi burung” karya Abdul Wachid B.S berdasarkan konteks wacana
Berdasarkan penafsiran gramatikal, kita bisa melangkah kepada penfsiran konteks wacana. Penafsiran ini merupakn inti dari pemaknaan terhadap sebuah karya sastra. Langkah analisis yang dikerjakan pada tataran ini yaitu mengidentifikasi simbol-simbol untuk dicari maksudny secara filosofis.
Bait pertama
Isu utama yang diangkat dalam puisi ini yakni perihal burung jatuh setelah dilepas ke udara bebas oleh pemiliknya. Seekor burung yang dilepas pada konteks ini merujuk pada sebuh kebebasan yang diharapkan oleh pemiliknya (baca: kau). Kebebasan itu bisa berwujud impian atau cita-cita.
Ternyata kebebasan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Matahari kota besar ini meranggasnya. Hingga ia jatuh ke tanah dan debu. Matahari di kota besar merupakan kesenjangan sosial di perkotaan. Inilah penyebabnya mimpi yang terbangun optimisme tinggi ini gagal.
Pada kehidupan sehari-hari, kota besar mengindikasikan kehidupan yang lebih modern dibanding pedesaan. Hal inilah yang mendasari urbanisme meningkat. Banyak penduduk desa pergi ke kota untuk mewujudkan mimpinya. Yakni penghidupan yang lebih baik. Meskipun faktanya, kesengsaraan justru dihadapi kebanyakan orang-orang urban.
Mimpi yang gagal seperti tersirat di bait pertama , merupakan mimpi-mimpi orang-orang urban. Matahari kota besar ini meranggasnya. Jadi tokoh “kau” sendiri adalah orang yang menambatkan harapannya pada kehidupan kota (baca: orang urban).
Dari bait pertama, kita bisa mengartikan jika aku lirik sedang membeberkan fakta terhadap orang urban. Mimpi dan cita-citanya untuk hidup layak di kota besar kini tinggal kenangan semata.
Bait kedua
Apa lagi yang kau harapkan dari bekas kepaknya. Sebuah pertanyaan ditujukan terhadap sebagian orang urban yang masih mengharapkan suatu saat kehidupan mereka lebih baik lagi. Pertanyaan yang tidak perlu jawaban lagi, karena aku lirik kemudian memberikan argumentasi jika sudah banyak orang yng bernasib serupa, sudah melupakan mimpinya. Tak memanggili ayat-ayat yang dikicaunya dulu. Kini yang ada, mereka menyusun lagi mimpinya untuk sekedar bertahan hidup.
Dari bait ini, aku lirik mencoba menjelaskan jika hidup di kota besar hanya mengandalkan mimpi saja tidak akan ada gunanya. Banyak cerminan kasus serupa, orang-orang mengubah mimpinya untuk sekedar bertahan hidup di tengah kemawahan yang ditawarkan kota. Jauh dari harapan semula.
Bait ketiga dan keempat
Kehadiran tokoh ketiga seperti orang sunyi dan dirinya cukup menarik. Orang sunyi ini bisa merasakan bagaimana nasib orang urban yang tragis ini. Orang sunyi mengenali yakni hatimu. Tokoh ketiga ini (baca: orang sunyi), tidak lain adalah aku lirik sendiri. Di sini aku lirik berbicara kepada orang lain. Yang tak lagi memanggili dirinya sendiri. Ia membuka pandangan lawan bicaranya terhadap masalah yang sedang dihadapi dari perspektifnya. Kelihatan sekali jika aku lirik benar-benar yakin dengan apa yang ia utarakan. Sebab dia sendiri merupakan orang urban yang pernah bercita-cita hidup layak di kota besar. Namun sekarang, ia melupakan mimpinya. Di trotoar sepi jalanan waktu.


DAFTAR PUSTAKA


Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pradopo, Rachmad Joko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritk, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rampan, Korrie Layun.2000. Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, metode, dan teknik penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Titscher, Stefan dkk. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Diindonesiakan oleh Gozali dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Wellek, Rene dan Austin Warren, 1990. Teori Kesusasteraan. Diindonesiakan oleh Melanie Budianta. Jakarta: Gramedia