Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Sabtu, 22 Mei 2010

Sepenggal cinta yang tak bertepi


kau larutkan aku dalam hatimu
kau buai aku dalam lamunanku
ku tergoyah dalam imajiku
yang tak pernah putus dengan jiwa ragamu

aq terlarut dalam arti cinta
cinta yang tak bertepi dalam dermaga hatimu
mungkinkah akan selamanya berjalan
menyusuri talaga hatiku dan hatimu.....
aku tak tau..........

meski kita tak mengenal cinta
tapi....itu tak memperdaya kita untuk saling mencinta dan dicinta
sepenggal cintaku yang ku persembahkan untukmu
hanya sepenggal cinta dari anugerah yang kuasa
ku berharap ketulusan ini
menjadi simbol cinta ini untukmu.....

Niza Chaf....
15 Mei 2010

Kamis, 20 Mei 2010

Kotaku Tak Lagi Bicara


hendak kau kemanakan itu?
kotaku berpapasan dengan desir-desir pepohonan.
Tak ada harap. semua pengap.

kubaca surat kabar di kotaku.
kusisir telaga dan dadamu yang menerbitkan harap dan pengap.
entah, bila kau tahu. cakrawala hendak memekik
lantaran aku selalu menaksir. Lalu dimana keadilan terbit?
tolong, kali ini kau jangan umbar nada ucapmu.

simpan sejenak
tak harap tak pengap.

dan kuhempaskan sajakku padamu.
tanpa meminta apa-apa,
cukup diam dalam harap dan pengap menunggu
-Mu.

Mei 2010

Selasa, 18 Mei 2010

Defamiliarisasi sastra.

Defamiliarisasi berarti seusuatu yang asing. Hal ini serupa dengan pengertian "de" pada dehumanisasi, dekontruksi. Defamiliarisasi merupakan lawan dari keakraban, berarti hal-hal yang asing. Bahasa pada sastra juga merupakan hasil kontruksi defamiliarisasi dari pengarangnya. Meskipun kemudian saya setuju dengan pendapat Teeuw, yang mengatakan jika keasingan itu harus tetap dalam sebuah frame tertentu. Suatu hal yang asing secara monumental merupakan sesuatu yang tak berarti karena kita tak akan mengenal referennya. Karena hanya dengan dapat dimengerti pembacanya, maka sastra akan berarti.

Senin, 17 Mei 2010

Di Pertigaan suatu sore

dan lagi-lagi aku tersungkur.

entah seberapa jalan yang kususuri, tapi aku kembali tersungkur.
ternyata aku belum bisa berjalan. mungkin aku harus bersabar, untuk menunggu masinis yang tak lagi punya rel dan stasiun.

Menatap wajahmu di pertigaan, aku redup. tak lagi ada nyanyi. bisu dan lindap.
sepenggal sinar matahari yang terjerumus dalam kaleng itu, menyalamiku dengan salam paling manis. Entah lah, aku terlanjur memulai perjalanan yang tak berbatas. mungkin ada ujung. atau, ah, apa pedulimu?

Dipertigaan, aku harus tata lagi selembar kata yang bertebaran diantara kita.

dipertigaan itu, aku mendengar nyanyi yang terbias.

"jangan memilih aku, bila kau tak percaya...."

aku tersudut di pertigaan itu sampai kapanpun...

Jumat, 14 Mei 2010

Feminisme dalam "Tarian Bumi" Oka Rusmini


BAB I PENDAHULUAN
Pada lingkup sosial manapun, terjadi hegemoni, penindasan atau subordinasi perempuan oleh lelaki. Bukan hanya pada maslah seks semata, namun sudah komplek dalam setiap sendi kehidupan. Permasalahan lebih rumit lagi terjadi di daerah pedesaan, yang mana persoalannya tidak sekedar perkelaminan tetapi mengakar memasuki wilayah tradisi, budaya dan agama. Tentu saja hal ini akan memantik reaksi. Gerakan emansipasi wanita muncul diberbagai b elahan dunia dalam tiap jenjang strata sosial.
Kita akan melihat wacana pergolakan ini dalam sebuah novel yang menarik karya Oka Rusmini dengan judul Tarian Bumi. Pengarang menyuguhkan kepada kita bagaimana sikap serta perjuangan seorang perempuan melawan kebudayaan yang membelenggunya. Kebudayaan yang memandang perempuan setingkat di bawah lelaki (budaya patriarki).
BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1. Ranah Kajian Sosiologi Sastra
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan engan norma-norma dan adapt isitiadat zaman itu (Luxemburg dkk, 1992:23). Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial. Ia merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan mencakup hubungan antar manusia, antar masyarakat, peristiwa yang terjadi dalam batin manusia. Titik tolak inilah yang kemudian mendasari kajian sosiologi sastra, bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya.
Secara garis besar, ranah sosiologi sastra menurut Wellek dan Werren (1993:11) membicarakan tiga hal yakni:
a.Sosiologi pengarang
Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang social, status pengarang dan ideology pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
b.Sosiologi karya sastra
Yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra: yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya.
c.Sosiologi sastra
Yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (Faruk, 1994: 4-5), dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni:
a.Konteks sosial pengarang
Hal ini berhubungan dengan posisi social sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
b.Sastra sebagai cermin masyarakat
Yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat
c.Fungsi sosial sastra
Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai penghibur saja, sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan sebagai perombak masyarakat dan penghibur
Untuk mengkaji novel Tarian Bumi kami menggunakan ranah karya sastra sebagai dokumen sosial budaya. Yakni bagaimana novel tersebut mampu menghadirkan kehidupan sosial beserta polemiknya dalam hubungannya dengan realitas. Serta sejauh mana karya sastra itu mampu mempengaruhi serta memotret realitas itu.
2.2. Teori Feminisme
Secara etimilogis feminis berasal dari kata “femine” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak). Dalam peneretian yang lebih luas, feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2009:184)
Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan social dan pengalaman manusia yang dikembangkan pada perspektif wanita. Teori ini berpusat pada wanita karena tiga hal, yakni:
a.sasaran utama, studinya, titik tolak seluruh penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman wanita dalam masyarakat
b.proses penelitiannya, wanita dijadikan “sasaran sentral”, artinya mencoba melihat dunia khusus dari sudut pandang wanita pada situsai sosial
c.teori feminis dikembangakan oleh pemikir kritis dan aktivia atau pejuang demi kepentingan wanita, yang mencoba menciptakan kehidupan lebih baik untuk wanita (Ritzer dan Goodman, 2005: 403-404)
2.3. Ketimpangan Jender sebagai salah satu dari variasi teori feminis.
Ada empat tema yang menandai teori ketimpangan jender. Pertama, lelaki dan wanita dalam masyarakat yang tak hanya berbeda, tetapi juga timpang. kedua, ketimpangan ini berasal dari organisasi masyarakat bukan dari perbedaan biologis, ketiga meski individual agak berbeda ciri dan tampangnya satu sama lain, namun tak ada pola perbedaan alamiah signifikan yang membedakan lelaki dan wanita, keempat, semua teori tentang ketimpangan menganggap baik itu lelaki maupun wanita akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang makin mengarah kepersamaan derajat dengan mudah dan secara almiah. (Ritzer dan Goodman, 2005: 420).
Ekspresi utama dari teori ketimpangan jender adalah feminisme liberal, yang berargumen bahwa perempuan bisa mengklaim kesamaan dengan lelaki atas dasar kapasitas esensial manusia sebagai agen moral yang bernalar, bahwa ketimpangn jender adalah akibat dari pola eksis dan patriarkis divisi kerja, dan bahwa kesetaraan jender dapat dicapai dengan mengubah divisi kerja melalui pemolaan ulang institusi-institusi kunci-hukum, pekerjaan, keluarga, pendidikan dan media (Ritzer dan Goodman, 2005: 420).Karena itu feminisme liberal berdasarkan pada keyakinan bahwa:
1. semua manusia mempunyai ciri esensial tertentu
2. pelaksanaan kapasitas dikamin melalui pengakuan legal atas hak-hak universal
3. ketimpangan antara laki-laki dan perempuan diciptakan secara sosial.
4. perubahan sosial untuk kesetaraan dapat dicapai dengan mengajak publik yang rasional dan dengan menggunakan negara (Ritzer dan Goodman, 2005: 421).


BAB III PEMBAHASAN
Perkastaan tidak hanya berdampak bagi pada perkara kehidupan di dunia, tetapi juga menyangkut akhirat-nirwana. Maka barang siapa tidak patuh pada perkastaan, ia akan sengsara di dunia, mendapat nirwana, serta gagal masuk nirwana (Mahayana, 2008). Nah, pendapat ini mengkondisikan bahwa masyarakat yang terlibat dalam perkastaan sudah terpatri dalam sanubari mereka yang paling dasar apapun itu konskwensinya.
Di sini untuk bukan untuk menyalahkan atau membenarkan, tetapi pada level bagaimana sistem perkastaan itu berdampak. Karena semua itu tergantung dari siapa yang menjalankan. Konsekwensi apakah yang terjadi pada sistem ini bila kita menilik tokoh perempuan yang ada dalam novel Tarian Bumi?
Tarian bumi merupakan sebuah novel berlatar kebudayaan Bali yang dikisahkan dari perspektif tokoh wanita. Dalam novel ini, pandangan serta sikap wanita banyak kita jumpai disini. sebab tokoh-tokohnya yang mendominasi yakni wanita itu sendiri. Sebut saja misalnya, Telaga, Jero kenanga, Luh Sadri, Luh Kramben, Luh Gumbreg juga Ida ayu Sagra Pidada. Para tokoh ini tersebar dalam berbagai titik-titik tertentu dalam sistem kebudayaan Bali. Sistem dalam konteks ini yakni pembagian kasta menurut agama Hindhu, yakni brahmana, ksatriya, waisya, dan sudra.
Telaga, tokoh utama dalam novel ini merupakan keturunan bangsawan. Status ini berasal dari kebangsawanan ayahnya yang merupakan golongan kasta brahmana. Sedangkan ibunya hanyalah seorang prempuan kebanyakan dari kasta terendah, kasta sudra. Akibatnya dalam keseharian I harus memanggil ayahnya dengan sebutan ratu. Mengingat kedua orang tua ayahnya adalah pasangan brahmana, sehingga dalam aturannya maka nilai karat kebangsawanannya tinggi.
“ Sebagai anak yang lahir dari perempuan sudra, Telaga harus menambahkan gelar kehormatan itu pada semua manusia yang ada di griya, termasuk lelaki yang dalam tubuhnya juga ada sekerat daging Telaga” (2007: 11)

Semenjak kecil, Telaga membenci Ayahnya. Hal itu karena perilaku sang ayah yang menjijikan. Baginya, lelaki itu hanya bias membanggakan kelelakiannya, lelaki yang mengagungkan kebangsawanannya dan memalukan keluarga.
“laki-laki yang memiliki ibu adalah laki-laki paling aneh. Dia bias berbulan-bulan tidak pulang. Kalau di rumah, kerjanya hanya metajen, adu ayam, atau duduk-duduk dekat perempatan bersama para berandalan minum tuak, minuman keras. Laki-laki itu juga sering membuat ulah yang sangat memalukan Nenek, Ibunya sendiri” (2007: 12)

Sikap seperti ini merupakan bentuk keprihatinan seorang gadis kecil terhadap perilaku laki-laki yang semena-mena. Terutama terhadap ibunya, juga nama keluraga. Padahal dengan status bangsawan yang disandangnya, apa yang dilakukannya sungguh tidak pantas.
Hidup pada tataran atas, membuat Telaga tidak leluasa bergerak. Ia sudah harus mengikuti aturan-aturan yang mengharuskan seorang perempuan brahmana ketika usianya memasuki remaja. Tata aturan itu secara eksplisit mengacu pada ketimpangan jender.
“sekaranag kau bukan anak kecil lagi. Kau tidak bias bermain bola lagi. Kau harus mulai belajar menjadi perempuan keturunan brahmana. Menghapal beragam saji, juga harus tahu bagaimana mengukir janur untuk kegiatan upacara…” (2007: 67)

“Sekarang Tugeg bukan anak-anak lagi. Tugeg tidak boleh memakai celana pendek. Kalau tugeg ingin keluar, pakailah kain dan harus rapi. Jangan ngawur. Jaga wibawa meme di depan orang-orang griya” (2007: 68)

Kutipan di atas dapat memeberikan gambaran sedikit pada kita bagaimana seorang prempuan bangsawan terbentuk. Perempuan nampaknya adalah sebuah asset, sementara pelakunya adalah kaum lelaki. Dan itu bukan tanpa disadari, sebab kaum perempuan pun menerimanya. Fakta semacam ini sudah menjadi mitos, lebih jauh telah melahirkan apa yang disebut dengan hegemoni.
Pada akhirnya status social ini juga mengakibatkan Telaga mengalami jalan terjal percintaannya. Ia mencintai pemuda dari kasta sudra, Wayan Sasmitha. Namun terbentur oleh dinding terjal yang menghantar di depannya. Perempuan brahmana tidak boleh memiliki suami dari kasta sudra. Tradisi ini mengacu pada efek kesialan yang ditimbulkan, sebab para dewa tidak merestui. Oleh sebab itulah Telaga tidak perlu meminta restu darim keluarga griya,. Namun ia namun niat itu ia utarakan pada calon mertuanya Luh Gumbreg. Meski kemudian yang didapat yakni penolakan keras dri ibunya Wayan. Orang tua itu percaya, bahawa para dewa akan murka. Sehingga di masa mendatang sejuta kesialan akan menghampiri keluarga besarnya.
“Perempuan tua itu tidak berani menerimanya sebagai menantu. Seorang lelaki sudara dilarang meminang perempuan brahmana. Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai isteri…..” (2007: 137)

“Luh Gumbreng merasa kesulitan hidupnya sudah mulai terbuka di depan mata. Dia akan menjadi pergunjingan orang. Setiap dia melakukan gerak, seluruh mata orang desa akan menikuti gerakannya…..” (2007: 138)

Sangatlah nampak, bagaimana tradisi itu telah mendarah daging. Bahkan seorang perempuan pun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Padahal lelaki brahmana boleh mempersunting perempuan sudra. Misalnya saja Ibu telaga yang diperistri ayahnya.
Perkawinan itupun akhirnya berlangsung. Konskwensi terbesar ada pada diri Telaga. Ia harus merelakan kebangsawanannya serta kemewahannya tercerabut. Hanya untuk mimpinya, mimpi wanita kebanyakan untuk kebahagiaan dirinya. Sebuah siakap melawan arus dengan mendekontruksi sesuatu yang sudah mapan.
“ Telaga mulai menyalakan api tungku. Asapnya memenuhi dapur yang menghitam itu. Kuku Telaga yang runcing mulai dibalut warna hitam. Dimana-mana hitam. Panic, atap dapur, dinding dapur. Telaga menggigil…..”

“Kalau Telaga menikah dengan laki-laki brahmana, keluarga besar akan membekali kepergiannya dengan barang-barang itu. Karena menukah dengan Wayan, tidak ada keluarga griya yang membawakan pakain dan perhiasannya”

Kehidupan perempuan secara umum selalu mengalami distorsi Anehnya ini merupakan hal yang dianggap konvensional. Kenapa lelaki brahmana boleh menikahi perempuan sudra? Bukankah itu aib bagi perempuan brahmana bila bersuami sudra? Pertanyaan yang disuarakan oleh minoritas perempuan. Pada novel ini Telaga, menjadi contoh konkret dari minoritas perempuan tersebut. Tentunya di sini kami harus mengulangi bahwa bukan kerangka menyalahkan sistem kultural yang sudah ada, tetapi merujuk pada geliat dari yang selama ini tertindas.
BAB IV KESIMPULAN
Novel Tarian Bumi merupakan cerminan dari situasi kultural di mana pengarang berada. Dari perspektifnya, ia melukiskan ketimpangan jender melalui tokoh utamanya, Telaga. Dan ia membuktikan bahwa wanita juga memiliki mimpi sama seperti lelaki dalam kapasitas manusia sebagai makhluk Tuhan.
Persoalannya yakni bukanlah karena perbedaan fisik yang menyebabkan hegemoni lelaki terhadap wanita, tetapi dalam tataran sistem sosial dan kulturalnya. Pada akhirnya kita harus membuka mata terhadap ketimpangan jender ini, dimanapun itu.



BAB V DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta
Luxemburg, Van. Dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra: terjemahan melalui
Dick Hartoko.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern: terjemahan melalui Alimandan. Jakarta: Prenada Media
Rusmini , Oka. 2007. Tarian Bumi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan: terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia

INI MONUMEN, BUKAN PATUNG

Prolog :

Tak ada yang hilang sebenarnya di negeri ini. Tetapi mengapa kita selalu ribut setiap hari?. Permasalahan demi permasalahan mengalir tanpa ujung pangkal.
Mungkin karena semua bisa berteriak, bisa berkoar – koar di zaman ini. Tak ada yang hilang sebenarnya di negeri ini. Sebab kita masih bisa tertawa, ha... ha... ha...

Suara sirine ambulan
( 3 orang berbaju hitamdengan ikat kepala putih menggenggam tongkat kecil )

Orang 1, 2, 3 bersama – sama dengan mengacungkan tongkat

Kita – kita bisa .......... ( 5x )

( Seseorang berbaju rapi ala kantoran dengan dasi pink keluar dari samping dengan berteriak ).

Diaaaammmm............... diaaaammmm........................... diam ( matanya melotot dengan telunjuk diacungkan. Serentak tiga orang tadi terdiam ). Belum waktunya kalian bicara. Tunggu waktu yang tepat dulu. Semua ada aturannya, jangan asal. Rencana kita ini rencana besar... kalian enak tinggal berteriak. Sedangkan saya................ ( telunjuk mengarah ke kepalanya ). Jadi kalian ikut mikir donk......

Orang 1 : ( Membanting tongkat )
Sampai kapan kami mematung di sini ? ( marah. Matanya menatap tajam ke arah orang yang berbaju rapi ). Minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau 1 abad lagi. Yang jelas dong kami butuh kepastian. Lebih cepat lebih baik...

Orang 2 & 3 : Betul............... ( 3x ) lanjutkan

( Orang berbaju rapi menghampiri orang 1 lalu menyeretnya ke depan )

Orang berbaju rapi : Hai provokator ( menunjuk ). Begitu balasanmu padaku. Setelah aku mengatrolmu dari pinggir jalan. Setelah kehidupanmu menanjak. ( mendorongnya ). Cepat tanggalkan baju dan celanamu. Lalu pergi dari sini. ( memandang yang lainnya ). Ini juga berlaku untuk kalian.

Orang 1 : Fuck you .......!! ( mengacungkan jari tengah. Lalu lari meninggalkan tempat itu )

Lampu redup

Suara sirine meraung – raung.



( Di bawah monumen patung bergerak, orang berbaju rapi bersama seorang wartawan sedang berbincang – bincang. )

Orang berbaju rapi : Monumen ini masa depan kami. Bangunan ini menjadi tonggak kesuksesan daerah kami. Untuk merealisasikannya, semua kami korbankan. Bahkan 2 nyawa melayang saat peresmian oleh Bupati. Ini benar – benar master piece abad ini. simbol dari kegemilangan sebuah generasi.

Wartawan : ( Mengangguk – angguk aja sambil memegangi janggutnya )

Orang berbaju rapi : Lho anda kok mengangguk – angguk saja sich, warrtawan kan biasanya bertanya terus. Dari media mana sich anda? Tapi kalau ini trend baru dunia jurnalistik saya gak tahu. Mending pake yang lumrah saja biar semua pada ngerti. Gak usah neko – neko. (Melihat katu pers ).
Ooh... media terkenal itu....

Wartawan : Monumen ini apakah sejenis politik mercusuar?

Orang berbaju rapi : saya bukan Sukarno bung saja juga ndak bangun monas saya cuma bangun seperti ini. Ini murni bung, ekspresi dinamis warga kami. Ini jangan ditafsirkan politik lho. sekali lagi saya tegaskan ini bukan politik lho... tapi kalau anda berpolitik well kami tidak merasa rugi. hanya saja di media anda jangan di tulis istilah politik mercusuar.

Wartawan : Lho... pak bukannya ini manusia asli kayak kita itu dadanya kembang kempis.

Orang berbaju rapi : Ha.... ( 3x ) ternyata wartawan juga bisa melucu gak melulu menggencet penguasa. ( Menarik nafas ) seperti yang saya bilang tadi ini master piece jadi harus benar – benar halus. Kemakmuran, kemegahan, kekuatan, dan dinamis melebur menjadi tunggal prestisius bukan.

Wartawan : ( manggut – manggut ) kok tidak ada yang menjaga pak?

Orang berbaju rapi : Ha... ( 3x ). The great questions.buat apa kami menjaganya justru monumen ini yang menjaga kami.

Wartawan : ( manggut – manggut ) apakah ada pihak – pihak yang kontra dalam berdirinya patung ini.

Orang berbaju rapi : ini monumen bukan patung anda paham?
Tak ada kelompok yang kontra bung, semua satu suara, pro

( Seorang warga membawa makanan dan minuman di atas nampan di letakkan di atas monumen sambil menyembah, kemudian pergi )

Orang berbaju rapi : Anda sudah melihat bukan

Wartawan : ( Bingung ) Lho..., kok malah monuen di kasih makanan bukannya itu dosa besar?

Orang berbaju rapi : Tergantung niatnya bung. Dosa itu adalah niat kita artinya tergantung niat kita. Lho kok ngomongin dosa saya mengundang saudara untuk mewliput monumen bukan untuk mengurusi dosa.

Wartawan : Hmm.... nama monumen ini apa pak?

Orang berbaju rapi : MONUMEN MERCUSUAR ( tersenyum puas )

Wartawan : ( Terkejut )

( Kedua orang itu mencicipi makanan sambil berdiskusi )

Lampu redup


(Orang 1 nyerocos di bawah monumen sambil mengganyang kue-kue yang berserakan di bawah monumen)

Orang 1 : Hey, gendeng!!!! (menunjuk-nunjuk) mending kamu makan kue ini (mengacung dan mengunyah kue) dari pada terus berdiri dan bergerak-gerak. Sudah basi. Kuno. Bagiku gerakanmu ndak ada untungnya. Aku tetap melarat. Tetap tergencet. (melirik monumen) hahahahahah, bagaimana ndak melarak, lha wong saban hari ngasih kamu kue. Sementara dirimu Cuma masturbasi di atas altar. Menjijikan. Gendeng. Hahahahaha (tersedak makanan, matanya melotot. Langsung menyambar minuman kemudian menenggaknya) bangsat...! air apa ini? Kok asin. (menatap monumen dengan curiga) ini kencingmu ya? Bangsat, jawab!!! (berkacak pinggang. Naik pitam) mentang-mntang sudah nongkrong di situ, bertingkah seenak pantatmu. Ingat, aku juga berjasa mengantarmu ke tempat itu. Aku ikut nyumbang tenaga dan pikiran. (merasa dilecehkan, mengambil kue lalu melemparnya) bangsat, ndak tahu diri.. Jawab....!!! jangan diam kayak patung. (menendang kardus-kardus. Menggebrak meja)

Monumen mercusuar : Berisik GOBLOG!!!! (lantang menghentak)

Orang 1 : (terhenyak. Ia menajamkan penglihatannya. Dengan ragu-ragu mendekati monumen. Badannya gemetar) Apa, kau ngomong???? Ya Tuhan, mana ada patung yang bisa ngomong?

(monumen mercusuar tetap bergerak seperti semula. Orang satu yang tadinya ketakutan, mulai bisa menguasai diri)

Warga 1 & 2 : (Menyunggi makanan di nampan. Lalu bersimpuh di bawah monumen dan meletakkan nampan)

Orang 1 : Puji Tuhan, benarkan apa yang aku bilang? Ini bukan patung. Ini orang biasa yang pura-pura jadi patung. Dia bisa ngomong seperti kita orang juga. Ini penipuan. Ini rekayasa. Ini sindikat. Ini gurita.

Warga 2 : Ini kue masih anget (memperlihatkan kue)

Warga 1 : sudahlah, nggak capek dari tadi pagi ngomel. Monumen kau ajak diskusi. Urusin tuh anakmu.

Orang 1 : kita sudah ditipu. Itu patung bisa ngomong.

Warga 2 : monumen, bukan patung....(melotot)

Orang 1 : harga diri kita sudah diinjak-injak sampai lumat. Kau tiap hari nyetor gituan untuk patung bangsat ini.

Warga 1 : Hey, jaga ucapanmu. Itu monumen bukan patung!!!!

Orang 1 : Gendeng, coba ngomong sekali lagi (berkacak pinggang. Mengambil kue di nampan. Melempari monumen)

Warga 1&2 : (melongo)

Orang 1 : buktikan pada mereka jika kamu bisa ngomong. Lalu ngaku (berkavak pinggang)

Warga 1 : (menyilangkan telunjuk di dahinya )

Warga 2 : (mengangguk ngeri.)

Orang 1 : Apa!!!!!!!!!!!!! Kalian bilang aku edan? Dia yang edan. (menunjuk patung) monumen ini adalah rekayasa. Sindikat jahat. Sudah sebaiknya kita gusur.

(Dua orang berbaju hitam masuk panggung. Meringkus orang 1 dengan paksa)

Orang 1 : (teringkus) Keparat, kalian seharusnya meringkus patung itu.
Warga 1 & 2 : Monumen, bukan patung. ASU............

Orang 1 : (meronta-ronta) lihat dia mengejek kita. Buka mata kalian. Kita ini ditindas olehnya. Jangan gelo. Ini permainan pilitik kelas wahid. Kita orang kecil kudu kritis. Ini bukan mbalelo, tapi bersikap. Ini prinsip.

(Orang berbaju rapi datang dengan panik)

Orang berbaju rapi : Gawat, kita semua getahnya. (memandang orang 1). Lepaskan dia segera. (menghela nafas) daerah kita ditindas. Dikucilkan. Dianaktirikan.

Warga 1 : Tak usah berbelit-belit bung. Saya mau cari duit nih. Capek denger ceramah mulu dari tadi.

Orang berbaju rapi : (melirik) Coba bayangkan....

Warga 2 : capek bung mbayangin terus. Ini dunia nyata. Jangan bermimpi terus. Kalau dasarnya susah ya susah

Orang berbaju rapi : (menatap tajam) setelah media lokal memuat berita tentang patung mercusuar.

Warga 1 & 2 : Monumen, bukan patung...

Orang berbaju rapi : Lha itu, media lokal mengatakan patung mercusuar, kemudian saya klarifikasi kalau yang betul monumen mercusuar. Tapi permasalahannya bukan itu.

Orang 1 : Jelas itu masalahnya. Monumen kok diganti patung. Itu pembetotan kenyataan.

Orang berbaju rapi : Diam, Goblog!!Saya mau ngomong tentang masa depan. (menatap tajam) setelah berita monumen kita diterima daerah-daerah sekitar, mereka pada demo ke DPRD. Intinya, menuntut pembangunan serupa.

Warga 2 : Wah, itu bagus. Daerah kita menjadi inspirasi. Jadi pioner. Kita patut berbangga. Bukan panik..

Orang berbaju Rapi : Dengarkan dulu saya ngomong.. Jangan dipotong dulu. Ini jaman kebebasan. Beri saya waktu ngomong. (marah) Proyek mercusuar yang digarap pemerintah, dananya 2 Triliun. Dan itu disubsidi 100%. Sedangkan monumen kita, hasil mengeruk kantong sendiri. Ini namanya apa? Ketidak adilan bukan? Jangan diam. Uang 2 T itu gede. Bisa buat naik haji orang sekampung. (menelan ludah. Warga satu memberikan sebotol minuman). Gilanya, monumen mercusuar pemerintah lebih menakjubkan. Bukan Cuma bisa bergerak. Tapi bisa bicara. Bisa kentut. Bisa makan. Bisa berak. Bisa menipu. Bisa semuanya. Lengkap.

Orang 1 : Tapi dia juga bisa bicara (Menunjuk). Tadi dia membentak saya.

Orang berbaju Rapi : hahahahaha, Gila.......... mana ada monumen bisa ngomong. Dasar edan.

Warga 2 : jadi agar bisa naik haji sekampung, apa yang harus kita lakukan?

Orang berbaju rapi : Pertanyaan bodoh. Kita robohkan saja monumen saja. Bilang saja kesambar petir atau kena angin puting beliung.

Orang 1 : Saya nggak setuju. (berkacak pinggang). Ini namanya penipuan. Kita harus jujur pada pemerintah.

Warga 1 : Kamu ndak mau naik haji?

Orang 1 : (Bingung) em, kalu itu ya.. em, aku rindu Mekkah.

Warga 2 : Makanya, kita sabotase monumen ini. Tadi kamu ngeyel mau merobohkan. Jangan plin-plan.

(Semua orang menyerbu monumen untuk merobohkan)

Sirine meraung-raung


Sekret Geo, 16 Pebruari 2010
Angkatan 2009 kita bisa-bisa

Dari Fontenay ke Magallianes


Novel ini menggambarkan pada kita bagaimanakah perspektif seorang perempuan dalam kehidupan berumah tangga, sebagai ibu sebagai istri dan tentunya sebagai seorang wanita.
Sebagai ibu, Dini mempunyai anak yakni Lintang dan Padang. Sebagai istri, ia bersuami seorang diplomat Perancis. Dan sebagai wanita, ia mempunyai cita-cita, keinginan dan harapan hidup lebih baik sebagai fitrah manusia disamping kaum laki-laki.
Sebagai keluarga – sosok itulah novel ini terjawab. Sebagai ibu tidak ada permasalahan yang berarti. Semuanya berjalan normal, selaras dengan takdirnya menjadi seorang wanita. Tapi sebagai istri, dia harus menghadapi suami yang egois. Kita tidak akan melihat demokratisasi di sana. Mungkin karena si suami pencari nafkah maka kehendaknya tidak terbantahkan. Inilah yang membuat dini gerah, dan saya kira permasalahan ini universal. Yakni sikap laki-laki yang super power terhadap wanita.
Sebagai wanita, barang tentu Dini mempunyai prinsip hidup, cita-cita dll. Ketika ia melihat posisi sebagai istri sudah mulai tidak nyaman (baca:tertindas) maka ia sudah punya ancang-ancang untuk keluar. Dini siap berpisah dengan lelaki pilihannya itu. Meskipun niat ini sampai akhir cerita masih berdetak, menunggu kapan akan meledak. Tapi setidaknya ia tunjukkan bukti nilanya, ketika hubungan gelapnya dengan kapten kapal bernama Bagus itu makin intim. Yup, di sela-sela kekosongannya ketika kapal kaptennya itu merapat ke dermaga, pasti akan dilewatkannya berdua. Tidak sering , namun dengan sekali bertemu dan terpisah untuk waktu yang lama mau tidak mau menyalurkan benih cintanya.
Di novel ini, Dini tinggal di Fontenay , Perancis. Pada sebuah apartemen sederhana. Waktu inilah, untuk pertama kalinya selama empat tahun ini ia berhubungan badan dengan suaminya sendiri. Tapi bukan atas dasar cinta kasih, Dini mengatakan bahwa itu perkosaan. Sehingga lahirlah anak keduanya yang bernama padang. Sebagai seorang istri, ia harus bertolak ke Manila, Filipina. Ayah anaknya tersebut mendapat tugas di sana.
Novel ini banyak nilai-nilai moral yang bisa kita ambil. Mulai filosofi sebagai ibu sekaligus istri yang harus “sumarah dan sembadra” dalam menjalani pernak-pernik kehidupan. Semua ini menggiring kita pada beberapa pertanyaan. Adakah ibu bagi anak, dan istri bagi suami itu? Dimana letak mereka pada ikatan pernikahan? Sucikah pernikahan itu sendiri bila ada perselingkuhan? Dan apakah perselingkuhan itu? Adakah wanita? Inilah wanita dalam kehidupan kita saat ini.

KETERPECAHAN DAN KEMATIAN: ANALISIS STRUKTURAL ANTALOGI CERPEN KUDA TERBANG MARIA PINTO


A.Pendahuluan
Anggapan atau asumsi dasar bahwa karya sastra dan umumnya suatu uraian, merupakan keseluruhan yang bagian-bagian atau anasir-anasirnya masing-masing berjalinan menimbulkan masalah teori yang beragam (Teeuw, 1988:123).
Strukturalisme merupakan pendekatan sastra yang memusatkan pada kontruksi bangunan karya sastra (kesatuan unsur pembentuknya). Pendekatan ini berkiblat pada strukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand De Saussure (Luxemburg dkk, 1992:36). Adapun dua pengertian kembar dari ilmu strukturalis ialah: signifiant-signifie dan paradigmatik-sitagmatik. Signifiant berarti yang memeberi arti, jadi aspek bentuk atau lambang; signifie berarti yang diartikan. Dua hal ini merupakan komposisi dari sebuah tanda. Hubungan paradigmatik ialah hubungan yang saling berkaitan karena kemiripan sistematik. Sedangkan hubungan paradigmatik yakni hubungan antar tanda yang hadir secara berurutan dalam satu linearitas tindakan berbahasa.
Analisis strukturalis modern terhadap narasi (Eaglaton, 2007:149-150) berawal dari karya perintis tentang mitos dari ahli antropologi Prancis, Claudie Levi Straus, yang memandang beberapa mitos yang kelihatannya berlainan sebagai variasi dari sejumlah tema dasar. Di balik keragaman terdapat struktur yang universal tertentu yang konstans, dan mitos manapun dapat direduksi menjadi reduksi-reduksi tertentu. Mitos merupakan sebuah jenis bahasa:dapat dipecah-pecah menjadi unit keindividual, seperti unit bunyi bahasa (fonem), memperoleh makna bila hanya dikombinasikan dengan cara tertentu. Maka dalam mempelajari mitos kita lebih melihat mental universal yang mendirikan strukturnya dibandingkan isi narasinya. Oposisi mental ini, seperti pembuatan oposisi biner, dari satu segi merupakan anti mitos itu sendiri: oposisi ini merupakan alat untuk dipakai berpikir, cara untuk mengklasifikasikan mengorganisir realitas
Dalam Antologi Cerpen Kuda Terbang Mario Pinto, kita akan mencoba menelaah dengan mendedah oposisi biner yang terdapat dalam narasi dengan penulusuran sistematik dan paradigmatik. Selanjutnya akan diabstraksikan untuk pandangan dunia (mitos) di balik relasi oposisi binernya.

B.Sintagmatik dan Paradigmatik
1.Sintagmatik
Menurut Bharthes (2007:64,). Sintagmaik adalah sebarang kelompok yang tersusun oleh signe-signe heterofungsional; sintagma itu (sekurang-kurangnya) selalu biner dan kedua termanya memiliki kondisionemen resiprok. Sementara itu Widada (2009:52) mendeskripsikan sitagmatik merupakan hubungan antar tanda yang hadir secara beruntun dalam suatu linearitas tindakan berbahasa. Hubungan ini muncul sebagai akibat dari tindakan berbahsa yang berlangsung dalam waktu, yakni kemunculan tanda bahasa satu-persatu secara urut dalam rentangan waktu atau rentangan citra visualnya bila ia berwujud tulisan:
Coble dan Jans (Kaelan, 2009:192) memberi contoh sederhana. Jika kita mengambil sekumpulan tanda seekor kucing berbaring di atas karpet. Maka satu elemen tertentu kata kucing misalnya menjadi bermakna sebab ia memeng bisa dibedakan dengan seekor, berbaring atau karpet sekarang kita lihat bagaimana kemudian kata kucing dikombinasikan dengan elemen-elemen lainnya. Maka akan membentuk sebuah sintagma (baca; sintagmatik / kumpulan tanda yang berurutan secara logis). Mekanisme tata hubungan sitagmatis (Ratna, 2009:79) memberikan pemahaman dalam kaitannya dengan jumlah unsur dalam karya.


2.Paradigmatik
Hubungan paradigmatik merupakan sebuah tanda, kata, atau istilah yang digunakan dalam suatu tindakan berbahasa. Seola-olah muncul sebagai pudsat konstelasi, yakni sebuah titik tempat tanda-tanda lain berkonfergensi dan berkoordinasi melalui penelaran tertentu (Saussure,1992:233). Wilayah paradigmatik itu menurut Barthes(2007:55), di luar diskursus trukturan (wilayah sintagmatik), unit-unit yang memiliki di antara mereka akan diasosiasikan dijadikan satu dalam ingatan dan dengan begitu unit-unit itu akan membentuk kelompok yang ditentukan oleh berupa hubungan.
Hubungan paradigmatik tersebut Coble dan Jans (Kaelan, 2009:193) harus sesuai dengan sintagmatiknya bagaimana garis X dan garis Y dalam sebuah sisitem koordinet. Mekanisme hubungan paradigmatic memberikan pemahaman dalam kaitan karya dengan masyarakat yang menghasilkannya (Ratna, 2009:79).
B.Pandangan Dunia Dalam Antalogi Cerpen Kuda Terbang Maria Pinto

Dari pembacaan atas antologi cerpen Kuda Terbang Maria Pinto (AKTM), baik secara sintagmatik maupun paradigmatic, kita dapat mengidentifikasikan segenap kompleks penyusun semseta naratifnya. Seperti tokoh, tindakan, peristiwa suasana, emosi, menurut berbagai pasangan gagasan yang saling bertentangan dalam formasi sebagai berikut: 1) keterpecahan dan keutuhan, dan 2) kesedihan dan kebahagiaan.
Kedua pasangan gagasan oposisional tersebut merupakan hasil abstraksi dari berbagai oposisi biner antar tanda yang kita temukan dalam pembacaan AKTM. Penjabarannya masing-masing sebagai berikut.
1.Keterpecahan dan keutuhan
Cerpen-cerpen dalam AKTM yang mengandung formasi gagasan keterpecahan dan keutuhan yakni: Rumput Liar, Lelaki Beraroma kebun, dan Qirzar. Keterpecahan tampak dalam Rumput Liar berupa deskripsi tokoh utama, Padmi.
Lonceng dinding di ruang tamu berdentang parau, sebelas kali. Barangkali pegasnya rusak. Tak seorang pun peduli. Cicak-cicak abu-abu muda berkeliaran di langit-langit. Entah berrapa banyak kotoran yang jatuh berserak dan melengketi bulu primadani (2004:108)

Deskripsi di atas sekilas memeberikan asosiasi pada kita akan adanya suasana tidak teratur. Lebih jauh efek ketidakteraturan (baca: keterpecahan) turut menggambarkan situasi keluarga Padmi. Perbedaan pola pikir sang Ibu dengan Padmi dan kakak kandungnya membuat keluarga ini berantakan.
Mas Karna minggat dari rumah. Akhirnya bom itu meledak. Kepergian mas Karna memeberi Ibu kesempatan berpikir. (2004:122)

Lelaki Beraroma Kebun dimensi keterpecahan nampak dari paparan narator tentang kepulangan Halifa dari tanah rantau. Halifa yang sejak kecil selalu mengamati penjaga kebunnya, membuat dirinya selalu ingin menemuinya ketika dirinya pulang.
Halifa masih ingat wajah lelaki itu. Sepasang mata yang sipit, hidung pesek, dan bibir hitam terbenam di kepala yang kecil. Saat tertawa terlihat gigi-gigi yang tidak rata, ompong dan kerak nikotin menempel di celah-celah gusinya. (2004:77)

Terbayang dengan jelas di benak kita bagaimana penjaga kebun yang masih diingat Halifa sampai sekarang. Seorang tua renta dengan wajah tidak elok (baca: buruk). Selanjutnya narrator memaparkan keterpecahan lain dari kehidupan keluarga Halifa.
Perusahaan pertambangan tempat Ayahnya bekerja sedang terguncang. Harga timah dunia merosot dan korupsi besar di kalangan eselon atas mempercepat kebangkrutan pengusaha tersebut. (2004:82)

Mundurnya ekonomi keluarga Halifa itu, mengakibatkan keluarga pindah ke daerah pedalaman, menempati kebun kecil warisan kakeknya.
Sementara itu Qirzar yang berlatar sebuah negeri antah berantah, menceritakan bagaimana pertumpahan darah menjadi sebuah keharusan untuk dilaksanakan oleh setiap penduduk negeri.
Ini siklus yang terus berulang dalam sejarah mereka. Menang dan kalah bukan ujung perang besar ini, karena perang-perang lain terus mengintai, hendak memusnahkan kerturunan mereka untuk memebrikan tempat bagi generasi yang akan lahir. (2004:110)

Qirzar juga menggambarkan, bahwa setelah musim perang selesai, para serdadu baik yang menang maupun kalah menuju kota Aqtar. Di kota itu mereka akan menghirup sari bunga amaterosa yang bisa membuat mereka lupa segalanya. Sehingga kehidupan baru tanpa dendam berlangsung untuk sementara waktu. Namun perjalanan ke Aqtar sendiri merupakan tujuan yang belum jelas.
Sesungguhnya, para serdadu itu menempuh perjalanan asing yang tak pernah selesai. Sebagian mati lelah, sebagian bunuh diri, sebelum menginjakkan kaki di aqtar. Mencari kota itu sama hakikatnya dengan hidup, yakni memberikan kematian, (2004:111)
Tokoh Aku, protagonis, dan ibunya mengalami depresi berat ketika ayahnya yang juga panglima perang gugur di medan tempur.
Hati kanak-kanaknya menjerit. Ia bahkan mengurung diri di kamar ketika tubuh Ayahnya dihanyutkan di lautMizarpur dan ombak yang bergulung-gulung menjilati jasad itu. (2004: 113)

Sejak itu Ibunya berseketu dengan sunyi. Rambut Ibu tiba-tiba memutih, kulitnya mngeriput. Sepasang matanya mengeruh. (2004:113)

Hadirnya gagasan tentang keterpecahan tersebut dapat kita hubungkan dengan gagasan tenteng keutuhan, yakni melalui poros paradigmatic sebagai jenis relasi penegasian. Dengan demikian di sini juga ditemukan pasangan gagasan oposisional keterpecahan dan keutuhan.
Lebih lanjut pasangan gagasan ini dapat kita jumpai, misalnya pada Qirzar. Tokoh utama yang mengalami depresi ekibat kematian ayahnya mencoba bagkit dati keterpurukannya.
Ia mulai mencoba bercakap-cakap dengan penghuni kota dan berani membalas tatapan mereka. Ia menjawab senyuman, pertanyaan, dan tegur sapa, sedang di dasar hatinya kesunyian terus berkarat. (2004:115)

Dalam fragmen di atas, tokoh “Ia” mulai mencoba untuk tidak larut dalam ketidakmenentuan. Kita bisa menyebut ini dengan kutub keutuhan. Menariknya, secara eksplisit dapat dilihat adanya koherensi antara kutub keutuhan dan keterpecahan. Sisi keterpecahannya namapak pada kalimat berikut….. “di dasar hatinya kesunyian terus berkarat”.
Meskipun tidak selalu eksplisit, pasangan oposisional antara keterpecahan dan keutuhan, berulang kali mendapat penegasian yang kuat dalam keseluruhan cerita. Berikut merupakan model oposisi biner dari Rumput Liar, Lelaki Beraroma kebun, dan Qirzar.














2.Penderitaan dan kebahagiaan
Formasi gagasan selanjutnya dalam dunia naratif AKTM ialah pasangan oposisional antara penderitaan dan kebahagiaan. Oposisi biner ini terkonstruk dari paparan dan perilaku tokoh maupun narator. Makan Malam, Lubang Hitam, Kuda Terbang Mario Pinto, Makam Keempat dan Joao merupakan cerpen-cerpen yang mengandung formasi gagasan tersebut.
Makan malam mengisahkan kehidupan tokoh Aku dan Ibunya yang menyedihkan. sebab ditinggal Ayahnya semenjak kecil tanpa kabar berita sedikitpun. Sehingga praktis Ibunya menjadi tulang punggung kehidupan keluarga.
Rumah kami pernah kedatangan lelaki, dua kali. Tapi itu bukan Ayah. Dua kali untuk dua pria. Itu kunjungan yang kuketahui. Teman-temanku malah berkata, Ibu sering pergi ke hotel dengan sepuluh pria berganti-ganti. (2004:25).
Kemunculan sang Ayah terjadi ketika tokoh Aku sudah bekerja pada perusahaan selepas lulus kuliah. Namun kedatangannya hanya untuk minta maaf, sebab dia telah mempunyai istri dan dua anak lagi di luar negeri. Keadaan ini membuat sang Ibu terpukul.
Kesehatan Ibu makin memburuk. Ia sudah jarang berbicara padaku. Aku selalu berbicara padanya tentang berbagai hal. (2004:30)
Permasalahan lebih rumit lagi pada Lubang hitam. Penderitaan akibat keluarganya yang berantakan menyebabkan Tina menjadi seorang lesbian sebelum mengakhiri hidupnya dari kamar hotel. Ibunya meninggal kecelakaan di jalan tol bersama kekasih gelapnya. Lalu Ayahnya meniduri Rena, kakak kandungnya yang mengalami depresi mental. Dan Rena akhirnya membunuh sang Ayah.
Kamu pasti membenciku (menangis)
Buat apa? Kita bersaudara.
Aku sudah membunuh Ayah.
Jangan pedulikan suara-suara itu.
Ini bukan suara-suara. Aku memang membunuhnya, mencampur pil tidur ke dalam whisky.
Perjalanan seorang prajurit dalam Kuda Terbang Maria Pinto, mengisahkan cerita sedih seputar kehidupan keluarganya. Yosef, demikian nama prajurit itu, sedang memburu pasukan kabut dengan panglimanya Maria Pinto sipengendara kuda terbang. Ia menjadi prajurit merupakan pilihan untuk mengangkat martabat kehidupan keluarganya.
Kami dari keluarga petani miskin. Kamu enak bisa kuliah, punya uang untuk jalan-jalan. Kami makan saja susah menjadi prajurit membuat kami merasa terhormat. Orang kampong menjadi segan. (2004:14)
Sementara itu dari deskripsi narator, diketahui bila Yosef baru saja berkabung, sebab adik kandungnya baru saja meninggal akibat disiksa pemberontak.
Enam bulan lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali tanpa jantung, usus, dan kemaluan. Terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. (2004:14)
Masih seputar pemberontakan, kali ini penyiksaan dan pembunuhan sebagai area kutub penderitaan, terkandung dalam cerpen Joao. Joao, seorang anak kecil yang mempunyai Ayah pemberontak harus mengalami nasib yang meyedihkan. Itu bermula dari kematian Ayahnya yang mengenaskan.
Ibuku pingsan setelah mengenali potongan tangan Ayah yang tergantung di mulut goa dari cabikan kemejanya. Mereka mengumpulkan tubuh yang terpisah, membungkusnya dengan kain belacu…….(2004:104)

Selanjutnya Joao harus berpisah dengan Ibu dan adik perempuannya sebab kondisi semakin genting. Bocah malang itu sempat pula di siksa oleh prajurit di pantai. Sebelum akhirnya di selamatkan oleh seorang kolonel yang juga sahabat Ayahnya.
Aku mulai menggigil. Mereka makin jauh mendorongku ke laut. Hingga air tersa sepaha. Salah seorang memukul daguku dengan popor senapan. Aku tersungkur ke dalam air. Butir-butir pasir tertelan olehku. (2004:105)

Pengalaman buruk itu dikisahkan Joa pada penjaga pos, protagonis, ketika dirinya disembunyikan dari kejaran prajurit-prajurit pembasmi pemberontak.
Selanjutnya, penderitaan ;ahir dan batin harus dialami sepasang suami istri dalam cerpen Makam keempat. Paula, anak semata wayang mereka yang kuliah di Pulau Jawa, tidak menepati janjinya untuk pulang pada hari natal. Bahkan untuk natal kedua, ketiga dan keempat tahun berikutnya. Keluargapun mencari ke Pulau Jawa. Ternyata Paula sudah lama sekali keluar dari asrama tempat perkuliahannya. Pencarian pun dilakukan dengan banyak opsi.
Kolom-kolom kriminal surat kabar kutelusuri. Berita-berita televisi kudengar. Kamar-kamar mayat tiap rumah sakit kudatangi. Putri kami tidak ada. (2004:131)

Banyak kabar memberitakan jika Paula menghimpun kekuatan untuk melawan penguasa. Sebuah majalah mengabarkan jika paula disekap di sebuah benteng. Akhirnya setelah pencarian dan penantian dilakukan, suami isatri tersebut membuat makam kosong atas nama Paula. Berjajar dengan makam nenek, kakek, dan anjing kesayangan Paula.
Sebuah makam baru berdiri di sebelah makam Ibu. Istirahatlah, Nak. Pendekar pun butuh istirahat. Tiba-tiba dahan berderak. Bunga-bunga berjatuhan. Kurasakan tangan isteriku yang dingin dalam genggaman. (2004:133-134)
Sama seperti oposisi biner keterpecahan dan keutuhan, pada oposisi penderitaan juga mempunyai penegasian yakni oposisi kebahagian. Dalam Makan Malam, Lubang Hitam, Kuda Terbang Mario Pinto, dan Joao dimensi kebahagian ditampilkan secara samar. Melalui kejadian masa lalu baik deskripsi narator maupun tuturan tokoh-tokohnya. Namun demikian, kebahagian di sini menjadi semcam oase untuk menegaskan tragedi memilikan yang dibangun pengarang.
Lebih tegasnya, kehadiran formasi penderitaanlah mayoritas kelima cerpen di atas tersusun. Berikut ini formasi kebahagiaan dalam cerpen Makan malam.
Dulu Ayahmu suka menembang, kata Ibu. Suaranya merdu. Di malam hari ketika Ibu mengandung aku, Ayah suka menembang. Suaranya jernih. Aku pernah dininabobokan dan itu membuatku tentram. (2004:27)

Rasa kebehagian jelas terpancar dari kutipan di atas. Namun itu juga sekaligus pukulan bagi seorang Ibu yang dulu mengalaminya dan keadaan sekarang amat kontras dengan situasi itu. Fragmen lain bisa kita lihat pada cerpen Lubang hitam.
Keluarganya punya tiga mobil lagi di garasi; mewah dan anti mogok. Sayang sekali, dia lebih suka yang butut itu. Banyak kenangannya. Ayah, Ibu, Rena dan dia sering bepergian dengan mobil itu. Ayah menyetir, Ibu duduk di sebelah Ayah, dia dan Rena menyanyi di jok belakang selam perjalanan. Sudah lama sekali. (2004:46)

Fragmen di atas memadukan formasi kebahagiaan dan kesedihan berkarat (baca:penderitaan). Kebersamaan, kehangatan dan keceriaan membangun masa silam tokoh Tina. Meskipun kemudian kenangan itu tidak mungkin bisa diulang.
Berbagai varian dan pasangn oposisi biner yang lebih konkret dari pasangan antara penderitaan dan kebahagiaan dapat kita lihat dari model berikut ini.






















C.Simpulan
Abstraksi oposisi keterpecahan-keutuhan dan penderitaan-kebahagiaan pada kumpulan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto secara umum dapat kita tarik kesimpulan umum menjadi kutub gagasan keterpecahan dan keutuhan. Oposisi keterpecahan terletak pada masa kekinian. Sedangkan oposisi sebaliknya terletak pada masa lalu dari perjalanan hidup tokoh-tokoh dalam antologi cerpen-cerpen itu.
Pada rentang kekinian kita selalu dihadirkan sebuah dilema yang membuat tokoh-tokohnya mengalami problematika serius. Tokoh Tina (Lubang Hitam), Yosef (Kuda Terbang Maria Pinto), Joao (Joao) merupakan contoh, bagaimana mereka harus menghadapi kepahitan hidup. Mereka mendapati dirinya selalu berada dalam kenyataan dunia yang membuatnya tersudut.

F.Daftar Pustaka

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. diindonesiakan oleh Stephanus Aswar Herwi Narko. Yogyakarta Pustaka Pelajar.

Cristianty, Linda. 2004. Kuda Terbang Mario Pinto. Jakarta: Kota-kata.

De Saussure, Ferdinand. 1993. Pengantar Linguistik umum. Yogyakarta: UGM press.

Eaglaton, Tery. 2007. Teori sastra sebuah pengantar komperhensif. Diindonesiakan oleh Harfiah dkk. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.

Kaelan. 2009. Filasafat Bahasa Semiotik Dan Hermeneutika. Yogyakarta: paradigma.

Luxemburg dkk. 1992. Pegantar ilmu sastra. Diindonesiakan oleh dickartoko Jakarta: Granedia Pustaka Utama .

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitia Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Teeuw, A. 1988. Sastra dan ilmu sastra. Jakarta Pustaka Pelajar

Widada, 2009. Saussure untuk sastra. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Wellek, Austin Warren. 1993. Teori kesustraan. Diindonesiakan oleh Melanie Budianta. Jakarta: Gramedia pustaka Utama .

HIBRIDITAS DAN AMBIVALENSI BUMI MANUSIA: SEBUAH TINJAUAN POSKOLONIAL


Bumi Manusia merupakan sebuah novel yang menceritakan pergulatan pribumi dalam menghadapi pemerintah colonial pada akhir abad ke 19. melalui tokoh Minke, Pramoedya menyuguhkan pada kita bagaimana kondisi sosial pada era itu. Kepincangan antara penjajah dan terjajah begitu kentara.
Seperti yang telah kita tahu, Indonesia mempunyai masa lalu yang kelam. Selama kurang lebih 3,5 abad, negara kita berada di bawah cengkraman Belanda. Ditambah lagi 3,5 tahun kebengisan jepang pada rentang 1942-1945. Sebagai negara bekas koloni, tentu saja telah terjadi banyak penyimpangan dan ketimpangan antara pihak penjajah dan terjajah. Ketimpangan inilah menjadi objek subur kajian postkolonialisme. Menurut Foucher dan day (2008), kajian postkolonial merupakan strategi membaca sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks-teks sastra, serta posisi suara pengamat berkaitan dengan isu-isu tersebut. Hal ini senada dengan Manneke Budiman dalam pengantar ”Sastra Indonesia Modern: kritik postkolonial” (2008) yang menyatakan jika Postkolonial merupakan suatu kajian tentng bagaimana sastra mengungkakan ”jejak-jejak” kolonialisme dalam konfrontasi ”ras-ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan” yang terjadi dalm lingkup kekusaan yang tak setara” sebagai dampak kolonialisasi Eropa atas ”dunia ketiga”.
Kajian-kajian Postkolonial, dan lebih khusus lagi kritik sastra postkolonial, seringkali terfokus pada cara-cara bagaimana serta meneliti dengan menggunakan pengertian ”hibriditas” sebagai interaksi bentuk budaya berbeda sehingga memunculkan wacana baru. Menurut Bhaba (Foulcher dan Day,2008:13-14) hibriditas memperoleh artikulasi teoritis yang paling subjektif dan juga paling padat, kita temukan diskusi yang rumit mengenai pengertian ’ruang pernyataan yang kontrakdiktif dan menjadi pelindung terhadap pemaksaan budaya kolonial’ dikacaukan oleh proses negoisasi dan terjemahan yang meramalkan budaya yang kuat. Jejak-jejak ’perubahan budaya yang kuat’ inilah yang diungkapkan dalam pernyataan tekstual mengenai hibriditas dalam keadaan dominasi kolonial.
Dalam Bumi Manusia, tokoh Minke sebagai pribumi yang mendapat didikan Belanda memiliki cakrawala pemikiran baru. Ia tidak saja melihat Eropa sebagai momok, tetapi mengaguminya.
”ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya................................ Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa berilmu pengetahuan Eropa yang mendorong aku suka mencatat (2010:12).
”Berita dari Eropa dan Amerika banyak menceritakan penemuan-penemuan terbaru. Kehebatannya menandingi kesaktian para ksatria dan dewa nenek moyangku dalam cerita wayang (2010:12)

Pendidikan kolinial telah membentuk wacana baru dalam benak Minke. Kekaguman Minke terhadap Eropa merupakan salah satu ciri hibriditas. Di sisi lain, pandangan Minke megandung ambivalensi. Secara tak sadar ia menerima kehebatan Eropa, dan dengan demikian semakin memitoskan jika Eropa (baca: Barat) lebih unggul dari bangsanya (timur).
Sesuai dengan judulnya, Bumi manusia, dimaksudkan sebagai representasi bumi dan manusia Indonesia, dengan pengertian bahwa yang dimaksudkan dengan Indonesia masih terbatas pada Pulau jawa, pula dengan jumlah penduduk 17.000.000 jiwa tahun 1900. Pada saat itu (Van niel dalam Kutha Ratna, 2008:333) di Jawa hanya terdapat 70.000 eropa, Cina sekitar 280.000 jiwa. Hanya seperempat dari jumlah Eropa secara keseluruhan merupakan Eropa totok, sisanya ialah Indo Eropa.
Meskipun pribumi mendominasi, tetapi secara kultural kedudukannya berada di bawah. Mitos dan stigma kehebatan Eropa, menjadi pembayangan akan masyarakat ideal.
”Annelis duduk di sampingku dan melayani aku dalam segala hal, seakaan aku seorang aku tuan Eropa atau seorang Indo yang sangat terhormat.
Nyai makan tenang-tenang seperti wanita Eropa tulen lulusan boarding school Inggris (41)

Pembayangan terhadap hal yang ideal menjadi wacana yang menarik. Bukan saja hendak meneguhkan mitos, tetapi sekaligus berimplikasi akan adanya sebuah kualitas Eropa setingkat di atas Pribumi. Pembayangan ini menjadi wajar dalam kerangka ini, mengingat minoritas Eropa di Jawa tehadap mayoritas pribumi. Tetapi malah mampu mengatur kehidupan pribumi dengan segala tata aturan menurut sistem yang berlaku. Ini tentu menjadi tanda tanya besar, kenapa bisa terjadi? Namun kita juga perlu tahu tentang bagaimana sejak zaman renaissance, bangsa barat menjadikan ilmu pengetahuan sebagai titik tolak untuk ”berkuasa”.
Masalah kualitas pribumi tak luput dari sorotan Pram, melalui tokoh Minke. Dia mengecam bagaimana perilaku kaum pribumi yang dianggapnya feodal. Mungkin hal ini tak bisa kita lepaskan dari cara pandang Pram terhadap pertentangan kelas yang ia pahami. Meskipun ini tak serta merta menjadi sebuah ancaman bagi pemerintah yang berkuasa (Orde baru) untuk melarang buku ini beredar hingga sepuluh tahun lebih.

Seorang pelayan wanita menghidangkan susu coklat dan kue. Dan pelayan itu tidak datang merangkak-rangkak seperti pada majikan pribumi. Malah dia melihat padaku seperti menyatakan keheranan. Tak mungkin yang demikian terjadi pada majikan pribumi: dia harus menunduk-nunduk terus. Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkah” diperistri orkak-rangkak dihadapan orang lain (35)

Permasalahan ketimpangan jender juga mewarnai novel Bumi Manusia, sosok Nyai Ontosoroh, sebagai pribumi yang mendapat ”berkah” diperistri seorang Eropa totok, tak lebih sebagai gundik. Perkawinannya dianggap tidak syah oleh pengadilan, bahkan kedua anaknya pun dianggap anak syah suaminya semata. Secara hukum, Ontosoroh dan kedua anaknya tak terdapat hubungan apa-apa.
Abangmu dan kau tetap dianggap anak tidak syah, hanya diakui sebagai anak Tuan Mellema dan punya hak menggunakan namanya. Dengan campur tangan pengadilan hukum justru tak mengakui abangmu dan kau sebagai anak-anakku lagi, walau mama ini yang melahirkan. (136)

Posisi perempuan pada cuplikan tersebut, dibentuk secara kultural oleh kekuasaan kolonial. Pengadilan menjadi alat untuk mendistorsi perempuan dengan berbagai atributnya. Perempuan pribumi hanya menjadi pemuas lelaki Belanda semata, yang kemudia dikenal sebagai nyai.
Hidup sebagai nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya bersiap-siap terhadap kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah bisa diusir dengan semua anak, anak sendiri, yang tidak dihargai oleh umum pribumi karebna dilakukan tanpa perkawinan syah. (128).

Menariknya, Nyai Ontosoroh menjadi contoh hibriditas paling berhasil yang digambarkan Pram. Ia menjelma menjadi sosok pribumi dengan kepribadian Eropa. Sehingga gambaran ideal dari identitas pribumi hadir sebagai ambivalensi dari pemikiran-pemikiran Nyai Ontosoroh yang segar dan lugas. Magda Peters melukiskan kepribadian Ontosoroh sebagai berikut;
”.....kalau ada barang seribu pribumi seperti dia di hindia ini, Hindia Belnda ini, Minke, hindia Belanda in, boleh jadi gulung tikar. Mungkin aku berlebih-lebihan, tapi itu hanya kesan pertama......(347—348).

Bumi manusia ditutup dengan perkataan Nyai Ontosoroh yang cukup provokatif. Setelah usahanya dengan Minke gagal untuk mencegah pengadilan mengambil Annelis ke negeri Belanda. Masa silam yang kelam, tak membuat Ontosoroh menjadi pesakitan. Malahan ia terlahir kembali menjadi perempuan pribumi dengan segudang pengetahuan Eropa. Ketabahan dan ketegaran menjadi sebuah muara yang tak sanggup surut meskipun permaslahan hidupnya mencapai titik nol.
”Kita telah melawan, Nak, nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (535)

Pustaka
Budiman, Manneke. 2008. ”Masalah Sudut Pandang Dan Dilema Kritik Poskolonial” (dalam Clearing a space: Kritik Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern, Keith Foulcher dan Tony Day, ed., Jakarta: YOI dan KITLV/cet 2 hlm. ix—xiii)
Foulcher, Keith dan Tony Day. 2008. ”Kritik Pasca kolonial tentang Sastra Indonesia modern” (dalam Clearing a space: Kritik Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern, Keith Foulcher dan Tony Day, ed., Jakarta: YOI dan KITLV/cet 2 hlm. 1-25)
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta pustaka Pelajar
Toer, Pramoedya Ananda. 2010. Bumi manusia.Jakarta: Lentera Dwipa/cet15

Senin, 10 Mei 2010

Main Puzzle


Untuk: Seiko, sang pembunuh yang manis


aku selalu memandangimu saat langit berbias merah.
Wajahmu senja, mencangkung di kaki bukit.
Aku selalu memandangimu. Bola matamu selalu berbinar-binar. Melumat habis hatiku.
(Semenjak itu setiap sore aku duduk di bangku ini. Tanpa siapapun. Aku mencintai kaki bukit itu. Senja itu. Wajah itu)
Menjelang malam kutukar bola mataku.
(Seperti orang-orang yang menukar omongannya dengan bahagianya).
Agar parasmu tak terjamah oleh siapapun.
(Aku bersungguh-sungguh kawan)
Aku ingin main puzzle. Mengutak-atik wajahmu.
Sambil menanti bergulirnya hati.
(kereta pun tiba di senja yang manis. Minggu kelabu)
Aku masih menatap wajahmu. Wajahmu senja, mencangkung di kaki bukit.
Matamu bening jingga bersama kereta.
(Aku menusuk bola mataku. Mendaki kereta yang menjemputku.)
Aku pergi ke langit untuk menemuimu.
(kereta senja terlahir dari kaki bukit itu)

Shodiqinisme
Ngagel Dadi, 27 Nov 2009

Pergolakan Asmara dalam Drama Perahu Retak Karya Emha Ainun Najib: Sebuah Tinjaun Dekontruksi

1.Pendahuluan
Pergolakan asmara merupakan sebuah wacana yang terus berlangsung mulai jaman dulu. Kita bisa melihat tragedi Yunani kuno, Oedipus Sang Raja, kemudian Romeo and Juliet, Lalila Majnun, Roro Mendut dan Pronocitro, bahkan dalam sejarah kerajaan Jawa, Ken Arok—Ken Dedes, merupakan sebuah wacana asmara yang begitu kental dan akan terus berkembang terus dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam sastra.
Permasalahan asmara merupakan maslah klasik yang paling dekat dengan kehidupan manusia. Oleh sebab itu tak aneh bila tema-tema asmara lahir terus dalam dunia sastra. Mengingat sastra merupakan representasi dari keadaan dari perspekrif pengarang (baca: Manusia).
Naskah drama Perahu Retak juga mengndung pergolakan asmara. Permasalahannya, bila memakai kaca mata teori modern, maka tema ini akan tenggelam oleh tema lain yang lebih besar. Tetapi dengan teori dekontruksi, tema-tema yang semul dianggap minor akan memiliki kekuatan untuk berdiri sendiri.

2.Sebuah Tinjauan Dekontruksi dan Relevensi Sastra
Dekontruksi merupakan pengurangan atau penurunan intensitatas kontruksi itu sendiri ( Kutha Ratna, 2007:245). Sehingga unsure biner dalam sebuah oposisi tidak selalu mendominasi. Sebaliknya, unsure-unsur yang semula selalu terlupakan, terdegrdasikan dan termarginalisasikan seperti: kelompok minoritas, kelompok yang lemah, kaum perempuan, tokoh-tokoh komplementer dn sebagainya, dapat diberikan perhatian yang memadai, bahkan secara seimbang dan proposional.
Pada dasarnya dekontruksi merupakan pengembangan dari pos strukturalisme. Bahkan Junus (Endraswara, 2008:174) dekontruksi sebagai pasca strukturalisme yang ekstrem. Sifat ekstrem yang dimaksud dalah pemaknaan karya sastra dapat dimulai dari aspek mana saja bahkan dari aspek kecil yang semula tidak menarik perhatian orang.
Menurut Derrida (Endraswara, 2008:174) menegaskan jika unsure yang semula tak logis atau mapan dalam konteks struktur secara tidak langsung kadang-kadang justru akan muncul berulang-ulang. Sehingga akan menguatkn pemknaan atau malah mengaburkan.
Benar dalam dekontruksi berlku pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dpat dimanfaatkan semaksiml mungkin. Ini yng disebut Spivak (Kutha Ratna, 2007:246) bahwa dekontruksi merupkan gagasan antara destruktif dan konstruktif.
Menurut Endraswara (2008:173), relevansi dekontruksi bagi penelitian sastra ada empat hal.
1.Terdapat keterkaitan dengan serangkaian kritik, termasuk kosep kesastran sendiri.
2.Sebagai sumber tema
3.Sebagai contoh stretegi pembacaan
4.Sebagai gudang cadangan saran-saran mengenai kodrat dan tujuan ktitik sastra itu sendiri.
3.Pergolakan Asmara dalam Drama Perahu Retak Karya Emha Ainun Najib
Wacana yang terangkat bila kita mencermati drama Perahu Retak (selanjutnya PR), yakni adnya konfrontasi antara Mataram dan Islam. Mataram sebagai wilayah kerajaan yang di dalamnya terdapat Islam. Sungguh merupakan lingkaran hermeneutis kompleks. Sebagai sebuah wilayah kerajan, tentunya terdapat kekuasaan dari pemimpin yang mempunyai kewenangan untuk mengkontruksi wilayahnya. Permasalahn kemudian timbul ketika pengaruh Islam yang juga telah dianut oleh sebagian besar masyarakat dan bahkan penguasa setempat bertentangan dengan kekuasaan pemerintah.
Mandoroko : Kami sendiri merasa bahwa Mataram dengan Islam telah menyatu seperti sungai dengan airnya, seperti matahari dan sungainya.
Jangkung : Mataram menjadi bagian dari Islam atukah Islam menjadi bagian dari Mataram? (hal. 55)

Pemikiran Ki Mandoroko, perwakilan penguasa (pusat) seperti yang tertuang dalam dialog di atas mengandung implikasi jika Islam harus selaras dengn Mataram. Padahal konsep agama, merupakan kebenaran hakiki yang seharusnya berdiri tegak di tengah kekuasaan. Kebenaran yang datang dari Tuhan, selayaknya dijadikan sebagai tatanan dalam kehidupan diberbagai segi dan sendi kehidupan. Pandangan inilah yang dipegang teguh oleh Syeh Jangkung dan kawan-kawan, yang menghendaki agar Mataram menjalankan Islam secara kaffah (menyeluruh).
Berbicara Mataram, sulit bagi kita untuk melepaskan konsep Jawa. Selain Karena wilayah kerajaan ini secara geografis terletak di Jawa, pada masa inilah mitos Nyi Roro Kidul, Ratu Lelembut Pantai Selatan, bermul. Seperti cerita dalam Babad Tanah Jawi, jika Panembahan Senopati (penguasa Mataram saat itu) bersekutu dengan Nyi Roro Kidul. Dalam pendahuluan PR, dilukiskan sebagai berikut.
Kerajaan Mataram tidak meneruskan “tradisi wali”, dan menggantinya dengan legitimasi mistik Jawa terutama melalui figure Nyai Roro Kidul, yakni tokoh yang dipercaya sebagai Ratu Laut Selatan yang berhubungan karib dengan Raja Mataram. (vii)

Mitos Ratu Pantai Selatan itu sampai kini masih hidup dengan subur di tengah kehidupan masyarakat Jawa. Dalam PR, mitos ini menjadi pergunjingan kubu Islam. Mereka mempertanyakan sekaligus menggugat Penguasa yang melestarikan mitos gaib (Nyi Roro Kidul) sebagai distorsi terhadap Islam. Sebab Islam memandang hal semacam itu merupakan perbuatan syirik (dosa besar).
Murtadlo : Mungkin kami memang penerus Nabi. Tapi kami yakin bukan petugas dari kerajaan Nyi Roro Kidul ysng kini mskin menguasai pikirn rakyat Mataram. (22)

Subendo : Adi!! Panembahan Senopati adalah santri Roro Kidul.
Jolego : Dan Ki Mandoroko Juru Martani adalah Kiai Gondhal Gandhul (34)

Sengketa Islam, Mataram dan sekaligus Jawa pada PR, merujuk pada pemertahanan identitas dari masing-masing terma yang bertikai. Tetapi karena latar dari drama ini yakni permulan berdirinya kerajaan Mataram, permulaan abad 16, maka identitas kemataramannya masih belum jelas. Pengaruh Islam dan mistik Jawa saling menyodorkan konsep-konsep sebagai alternatif pencarian identitas. Konsep mistik Jawa dipertahankan di pusat, sekaligus menerima Islam dengan mereduksinya sehingga kekuasaan tetap terjaga. Sementara itu Islam menjadi identitas pinggiran. Mengingat historisitas pinggiran sebagai asal-usul masuknya Islam.
Uraian di atas setidaknya merupakan wacana umum bila kita mencermti drama PR. Hal ini diperkuat dengan cover buku dalam yang bertuliskan sebuah lakon tradisi “Perahu Retak” Cermin Perselisihan Jawa-Islam di awal kerajaan Mataram serta pendahuluan yang memaparkan kondisi kultur-sosial latar PR. Dari sini kentara, bagaimana pembaca digiring pada sebuah alur cerita tradisi konvensional. Intrik-intrik pergolakan Jawa-Islam menjadi tema besar dalam seluruh adegan cerita, atau setidaknya inilah yang bisa kita lihat secara langsung.
Pergolakan Islam—Jawa dalam PR, tentunya melahirkan serangkaian cerita dengan beberapa tokoh di dalamnya. Tokoh penting yang menjadi akar permasalahan dalam PR yakni Sahil. Santri yang terbunuh akibat pertikaian Murtadho dkk. (Islam) kontra Marsiung dkk. (Mataram). Murtadho yang tengah meyebarkan Islam pada penduduk setempat disinyalir ancaman bagi Marsiung, seorang pamong daerah Trembesi. Sehingga terjadi ketegangan dan saling olok antara kedua belah pihak.
(Rupanya rombongan Ki Marsiung menhampiri, keasyikan para santri tiba-tiba terhenti dan perhatian penduduk menjadi terbelah. Beberapa lama suasana menjadi lengang dan tegang. Kedua kelompok itu saling berhadapan) (21)

Marsiung : Ini dusun kekuasaan kami. Kami mendapat mandat penuh dari Nyi Demang Sendangsih bahkan dari Tumenggung Karang Gumantung dan Tumenggung Cekal Birowo, untuk menindak tegas siapa saja yang mengancam keamanan.
Murtadho : Kalian yang mengancam keamanan cinta antara penduduk dan para santri. Dan lagi kami mendapat mandat penuh dari Allah, panglima alam semesta, untuk menyebarkan jaran-ajaran dan cintaNya. (22)

Pertikaian ini mencapai klimaks setelah salah satu anggota santri bernama Sahil ditemukan meninggal tak jauh dari tempat itu. Hal ini memicu konflik yang serius karena permasalahan ini mewakili dua kekuatan yang lagi berseteru.
(Semua tergeragap. Murtadho dan para santri lainnya memekik spontan menghampiri. Memekiklah mereka setelah melihat bahwa yang dibopong Kalong adalah jenazah santri Sahil) (29)

Murtadho : Jiman! Kijing! Cepat kalian pergi menyusul Kiai Tegal Sari dan Syech jangkung untuk memberitahukan kekejaman ini!!
Sukijing : Ki Marsiung harus membayar dengan nyawanya!
Jmbuwangi : Kalau soal Marsiung cukup dengan menggerakan jari-jari. Tapi ini adalah benih dari permasalahan besar yang menyangkut kerajaan dan seluruh rakyat.

Pembunuhan Sahil merupakan akar permasalahan dari bertemunya konflik Islam—Mataram secara nyata. Yakni ketika Syeh Jangkung dan Kiai Tegal Sari (kubu Islam) bertemu Ki Mandoroko Juru Martani (kubu Mataram) pada adegan lima belas. Meskipun dalam pembicaraannya kemudian mendalam mengenai pandangan Mataram terhadap Islam dan sebaliknya, tetapi kita harus ingat tujuan utama dari Syeh Jangkung dan Kiai Tegal Sari. Bukankah tujuan mereka untuk mencari pertanggung jawaban tentang kematian Sahil?
Tegal Sari : Para pamong di berbagai wilayah menghalangi kegiatan santri-santriku. Terkadang bahkan dibantu oleh sejumlah Ulama Istana yang memusuhi kami. Dan sekarang ini kami datang ke mari karena salah seorang santriku terbunuh.

Kematian Sahil bukan merupakan tumbal dari perselisihan Mataram—Islam, meskipun kemudian lebih menajamkan konflik kedua kubu yang bertikai. Sebagai akar permasalahan, kita harus mencari kenapa Sahil dibunuh? Motif apa yang terselubung di dalamnya? Apakah benar kematin Sahil ada sangkut pautnya dengan konflik Mataram—Islam?
Motif yang mendasari terbunuhnya Sahil ternyata adalah persoalan asmara.
Sendangsih : Pak Janu ingin mengambil Nak Mas Murtadho untuk dijadikan menantu. Padahal Ki Marsiung sudah lama mengincar anak gadis Pak Janu untuk dijadikan Istrinya yang kedua.
Pelacakan Demang Sendangsih terhadap kematian Sahil ternyata seperti yang termaktub di atas. Permusuhan Marsiung dan Murtadho ternyata tak semata-mata bertema Islam—Mataram, karena kemudian di sana ada pergolakan asmara yang melatar belakanginya. Meskipun pembunuh Sahil ternyata Carik Sukadal, (hal. 62) tetapi tetap saja ini lahir dari percekcokan Marsiung—Murtadho. Pergolakan asmara inilah menjadi motif terbunuhnya Sahil. Sehingga drama Perahu Retak, meskipun ada wacana konfrontasi Islam—Mataram, tetapi pergolakan asmara ini tidak bisa kita abaikan. Karena sesungguhnya inilah bibit dari permasalahan yang muncul dalam drama ini, sehingga kubu Islam menyatroni kubu Mataram.
Pergolakan asmara meski terbersit sekilas dari pembicaraan Demang Sendangsih, tetap merupakan sebuah jenjang wacana yang besar. Sehingga tema ini sepadan dengan konlik Islam—Mataram. Karena dalam dekontruksi tak mengenal pusat, maka keduanya bisa berdiri sebelah-menyebelah sebagai mata rantai dari sebuah cerita.



4.Daftar Pustaka

Nadjib, Emha Ainun. 1992. Perahu Retak. Jakarta: Garda Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Presindo/cet. 4
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar/cet. 2.

Problematika Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra mempunyai perspektif jika di dalam karya sastra terdapat kenyataan yang merujuk pada dunia di luar sastra (nyata). Sehingga penelitian sosiologi melibatkan dua disiplin ilmu yakni ilmu sosiologi (ilmu yang mempelajari hubungan manusia sesama manusia) dan ilmu sastra. Kuncinya terletak pada sejauh mana kenyataan yang terdapat pada kenyataan digambarkan oleh karya sastra. Hal ini senada dengan pendapat Teeuw yang menyatakan jika sastra tak lahir dari kekosongan budaya.

Sastra lahir dari imajinasi pengarang (baca: manusia) terhadap lungkungan sosial di sekitarnya. Sehingga mustahil tanpa adanya konteks sosial maka sebuah sastra akan lahir. Sehingga agak bijak bila kita kemudian tak mengabaikan konteks sosial ini.

Tapi sebelum itu kita harus menyadari jika sastra merupakan salah satu jenis seni yang bermedium bahasa. Sehingga kita terlebih dulu menghadapi bahasa ketika berhadapan dengan sastra. Bahasa sastra menurut Lotman adalah bahasa tingkat kedua. Yang berarti jika bahasa sastra mempunyai konvensi berbeda dengan bahasa sehari hari yang digunakan. Kita tak akan mengartikan ”aku ini binatang jalang” sebagaimana arti sesungguhnya bila menhadapi sajak charil Anwar. Keambiguan inilah merupakan ciri khas bahasa sastra.

Namun demikian, ada konsep awal yang perlu kita pahami untuk mengkontrusi cara berpikir kita bila berhadapan dengan sastra, yakni konvensi kesastraan itu sendiri. Bila kita memegang novel, kita pasti tahu bila apa yang akan kita baca merupakan kejadian yang tak pernah terjadi atau setidaknya tidak bisa dipertanggung jawabkan secara hukum apa yang terjadi di dalamnya (kevalidannya). Hal ini berbeda bila memegang buku sejarah, sains dan sebagainya. Inilah konvensi kesastraan, karena seperti di awal, jika sastra merupakan imajinasi, pergulatan batin pengarang dengan permasalahn yang dihadapinya. Oleh karena itu Luxemberg dkk, berbicara perihal fiksionalitis sebagai ciri sastra.

Nah, ketiga konvensi itulah yang menjadi problematik penelitian sosiologi sastra. Karena kenyataan yang ada dalam karya sastra merupakan kenyataan yang berdiri sendiri dengan konteks soialnya.

Plato vs Aristoteles (sastra)

Plato memandang seni sebagai mimesis (tiruan) dari kenyataan. Seni hanya menyajikan suatu ilusi tentang kenyataan dan tetap jauh dari kebenaran. Oleh karena tiruan, maka nilai seni menurut Plato rendah. Sastra sebagai salah satu cabang seni yang bermedium bahasa, dikatakan lebih rendah karena tak bisa di raba dengan panca indra.
Adapun jalan pikiran Plato (Luxemberg dkk, 1992:16) yakni kenyataan yang dapat kita amati setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda berwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide yang asli (gambar induk); terdapat aneka macam bentuk ranjang dan meja, tetapi itu semua berasal dari ide atau gambar induk mengenai sebuah ranjang dan meja. Bila seseorang tukang membuat almari, berarti ia menjiplak almari seperti dalam dunia ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai dengan yang asli (kenyataan yang dapat kita amati dengan panca indra selalu kalah dalam duni ide). Tetapi seorang tukang lebih dekat dengan kebenaran, karena jiplakannya bisa di raba.
Berbeda dengan pandangan gurunya, Aristoteles menolak pemikiran Plato mengenai kesenian. Menurutnya, seni bukanlah kegiatan meniru kenyataan, tetapi merupakan sebuah proses kreatif yang berpangkal dari kenyataan. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan: adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya, atau ”barang-barang seperti pernah ada, atau seperti yang kita bayangkan, atau seperti adanya ada” (yaitu fakta dfari masa kini atau masa kini atau masa silam, keyakinan, cita-cita).
Dalam Poetika, Aristoteles mengutarakan beberapa pandangan yang bagi perkembangan teori sastra selanjutnya teramat penting. Ia tidak lagi memandang sastra sebagai suatu copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan melalui ”universalia” (konsep-konsep umum). Dan ini jelas berbeda dengan pemikiran Plato, yakni dunia ide, melainkan sebagai pikiran, perasaan, dan perbuatan yang khas bagi seorang manusia. Itulah sebabnya mengapa Aristoteles menilai sastra lebih tinggi dari pada penulisan sejarah.
Konsep mimesis dan creatio ini berimplikasi besar pada perkembangan sastra di era setelahnya. Sehingga kemudian memunculkan pendekatan mimesis dan ekspresif. Pendekatan mimesis membawa pembaca lebih menitik beratkan pada kenyataan, sedangkan ekspresif berpusat pada pengarang selaku pencipta.