Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Sabtu, 26 Oktober 2013

Menjadi Guru 8

Wedus


Binatang ini menjadi primadona. Bau dan kemunculannya tak asing lagi. Di dekat mall, dekat masjid, dekat sekolahan, di sepanjang jalan, dan banyak tempat lainnya. Sehingga saya sempat mikir, ini kota buaya apa kota wedus.

Sebagai kota yang punya maskot ikan SURO dan binatang semi legendaris BUAYA, tampak perlahan WEDUS mulai mengancam keeksisan dua binatang purba ala kota Surabaya.

Nah, selalu ada tragedi. Begitulah faktanya. Hari ini dan dua hari ke depan, komuitas pecinta WEDUS sudah pasti sedih. Sedih karena acara penyembelihan untuk hari raya ID tak mungkin bisa dibatalkan. Hampir di tiap masjid maupun yang berkepentingan, sangat mudah sekali mencium dan medengar erangan wedus. Selanjutnya, semuanya bermuara di perut kita.Begitulah, dan seterusnya.

Yang perlu diperhatikan, semoga setelah masuk sekolah nanti, kita masih tetap menjadi manusia. Bukan wedus atau sejenisnya. Untuk itulah, mari kita berdoa bersama, agar arwah sang wedus bisa lancar menuju sorga-Nya. Semoga juga, nasib kita ndak seperti wedus.

Salam wedus, ups maaf. salam Pak Shodiq

Rabu, 23 Oktober 2013

Bila Maaf Mulai Langka

MAAF. Kata ini begitu sederhana. Namun memiliki dampak yang luar biasa. Tanpa kita sadari, tampaknya kata tersebut akrab usai perayaan Idul Fitri saja. Selanjutnya, menjadi sesuatu hal yang begitu langka. Betapa tidak, lingkungan kita sepertinya menjadi praktik yang nyata. Baku hantam, tawuran, perkelahian, dan sejenisnya menjadi suguhan sering dijumpai. Tentu atas nama kebenaran yang kerap dimiliki sendiri-sendiri.
Akhir-akhir ini serentetan peristiwa perkelahian yang dibungkus baju politik menjadi hal yang lumrah. Karena tak puas dengan hasil pilkada di daerahnya, sampai harus baku hantam. Massa berkumpul, lalu melakukan anarki.

Tak ketinggalan juga para lembaga binaan di Lembaga Permasyarakatan.  Tempat yang seharusnya menjadi ajang refleksi bagi kesalahan, malah menjadi ajang bentrok. Kadang antar narapidana, kadang juga narapidana dengan sipir.

Cuplikan peristiwa di atas tersebut merupakan hal kecil dari potongan realitas saat ini yang membentuk puzle kekerasan. Memang menarik sekaligus menggelitik.

Selain lingkungan yang kita hadapi secara nyata, peran media-media dalam membentuk alam bawah sadar tentang kekerasan nyata adanya. Tayangan TV tampaknya masih belum melalui penyaringan yang sistematis. Seringkali kita disuguhi tayangan-tayangan vulgar tentang baku hantam. Bahkan pada jam-jam produktif. Maksudnya, ketika anak-anak umumnya menjadi pemirsa setia. Belum lagi ranah internet yang tanpa batas.
Kekerasan kemudian menjadi konsumsi sehari-hari. Oleh sebab itu tidaklah aneh bila lingkungan kita pun mengajari kita tentang bagaimana keakraban menjadi sebuah gejala umum.
Gejala-gejala ini pasti akan segera dengan cepat menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, di berbagai institusi, dan juga jenjang usia. Termasuk juga akan merambah ke dunia pendidikan. Hal terakhir itulah yang akan sedikit saya diskusikan.
***
Sekolah merupakan salah satu akses untuk menuju dunia pendidikan. Melalui sekolah, nilai-nilai kultural dan moral ditanamkan. Di sinilah tugas sekolah menjadi begitu rumit. Rumitnya? Gejala kekerasan yang sudah menjadi fenomena ini harus ditanggulangi sampai bersih. Begitulah persepsi umum. Pokoknya, tugas sekolah ya memberi obat selain sisi intelektualitas, juga obat anti kekerasan.

Padahal arena sekolah juga menyimpan gejala kekerasan. Tentu saja gejala ini tidak lahir serta merta. Munculnya bibit ini secara kompleks. Jadi bekal yang di dapat baik itu siswa dan guru di lingkungannya akan dipertaruhkan di arena sekolah.

Maka lahir yang disebut konflik horisontal (siswa vs siswa) dan konflik vertikal (guru vs murid). Nah, di sinilah tugas semua pihak menjadi penting. Ketegasan sekolah harus ditopang baik dengan kedisiplinan kehidupan lingkungan. Sinergi ini yang akan melahirkan generasi yang tidak saja pandai, tapi memiliki empati yang besar. Mempunyai kadar “maaf” yang tinggi pula.

Sekolah yang tingkat kedisiplinan rendah (Tentu banyak faktor yang mempengaruhi, termasuk status sekolah tersebut. Sekolah pinggiran memiliki level disiplin lemah, agar tak ditinggalkan muridnya. Sedangnkan sekolah TOP, akan dengan mudah memosisikan level kedisiplinannya, tentu karena meraka banyak yang mencari) akan membantu suburnya gejala praktik kekerasan. Lalu bagaimana produk yang dihasilkan oleh semacam ini?

Masalah ini harus menjadi bahan diskusi semua pemangku kebijakan di pemerintahan dan masyarakat luas. Ini masalah kita bersama untuk menuju bangsa ini lebih baik ke depannya. Tentu banyak alternatif yang seharusnya menjadi dasar dari gejala kekerasan ini.

Penguatan-penguatan nilai religius melalui ajaran agama pada tataran keluarga merupakan hal mutlak yang harus dijalankan. Islam telah secara detail mengatur hidup yang jauh dari hingar bingar kekerasan. Nilai inilah yang seharusnya dievokasi oleh keluarga, masyarakat, dan pemangku kebijakan di pemerintahan. Jangan sampai pelajaran agama hanya berhenti di hafalan para nabi, hafal ini, hafal itu. Tapi kemudian tidak berlanjut dalam setiap perbuatan kita.
***
Begitulah, sebisa mungkin memang kekerasan harus mulai ditinggalkan. Sebagai manusia terdidik, kita harus mampu hijrah ke arah sana. Toh, apa gunanya pendidikan bila masih mendidik kita sifat-sifat anarkis.
Marilah kita bersama untuk lebih dekat lagi dengan kata “maaf”.  Lebih akrab. Sehingga tak lagi serta merta otot yang bicara. Setidaknya berilah kesempatan hati nurani untuk menjawab semua permasalahan yang ada. MAAF.

Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUs4HJk2_yhi-2XlqBj0KoGU4jrG8ecP40AF7MwPyddDudKO0NRNY18MZrfPbVtfYOm7HSqsTFPnFtdP7PwzYJfp3_mrPauEcSt-lqKUKlUl9mf7UFGHpVFMuXImxBCoX3bVd0nb0N49HO/s320/maaf1.jpg

Baby Proof: Idealis dan Cinta

Karya: Emily Giffin (@2006); penerjemah: Isti Rahayu; penerbit: Esensi (@2009)

Baby Proof (bebas tangisan bayi)

Jatuh cinta, menikah, kemudian punya bayi. Itukah yang diinginkan setiap wanita?  Tidak bagi Claudia Parr. Ia tak pernah ingin menjadi Ibu. Baginya, adanya anak-anak akan menimbulkan masalah sendiri. Itulah sebabnya harapannya untuk menikah dengan lelaki yang berpandangan sama, menjadi seperti impian belaka. Sampai kemudian, dia bertemu dengan lelaki menawan Ben Devenport.

Perjumpaan dengan Ben, membuat Claudia menemukan harapan untuk melanjutkan hubungan ke yang lebih serius, menikah. Tentu saja ini didasari oleh prinsip Ben yang sama dengannya, tidak mempermasalahkan adanya anak atau tidak. Setelah berpacaran dalam waktu relatif singkat, menikahlah dua pasangan muda yang ideal ini.

Perjalanan rumah tangga keduanya ternyata tak sesuai dengan yang direncanakan di awal pernikahan. Suatu hari, Ben mengutarakan keinginannya untuk mempunyai anak. Ia iri dengan teman dan saudaranya yang punya bayi-bayi lucu. Menggemaskan. Maka, ketika niat ini diutarakan, respon Claudia menentang. Permasalhan inilah yang kemudian semakin meruncing. Akhirnya, pernikahaan mereka tidak bisa terselamatkan. Mereka bercerai.

Pada saat sendiri, Claudia menghabiskan waktunya untuk merenung. mempelajari apakah yang ia perbuatnya ini merupakan suatu hal buruk atau sebaliknya. Sampai kemudian, ia menjalin hubungan dengan Richard, teman sekantornya. Tetapi hubungan mereka tak lebih dari sikap putus asa Claudia, saat melihat Ben berpegangan tangan dengan gadis muda, Tucker, saat lomba marathon. Kendati Ben telah menjelaskan tak ada hubungan apa-apa, tapi Claudia memiliki pemikiran berbeda.

Hingga kemudian, Claudia mengajak Richard untuk menghadiri acara pembaptisan anak sahabatnya. Tentu saja, Claudia tahu, Ben akan hadir. Di sinilah sebenarnya ia ingin agar Ben melihat kalau dirinya sudah benar-benar melupakannya. Meskipun itu tak cukup berhasil. ia gugup dan salah tingkah ketika melihat Ben. Tapi rencananya berhasil, Ben menjadi cemburu melihat kehadiran Richards.

Selepas kejadian itu, Claudia memikirkan lagi jalan hidupnya. Meskipun pada akhirnya ia kembali lagi dalam dekapan Ben, tetapi keecemburuan antara Ben dan Claudia menjadi hal kocak.

Cerita ini memang masih percaya, bahwa cinta itu mampu mengalahkan segalanya. Claudia dan Ben bersatu. Setelah perceraian dan konflik batin keduanya. Hingga berujung sebuah kesadaran untuk saling mengalah. Claudia, yang memiliki masa lalu cukup buruk dengan orang tuanya, tak lagi mempermasalhkan apakan dirinya akn punya bayi atau tidak. Demikian juga dengan pemikiran Ben. Istimewa. (PS)