Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Minggu, 26 April 2015

Pendidikan ala Ma Yan

(Resensi kali ini melebihi deadline. Sepanjang April, hanya #Mayan yang berhasil kubaca. Curhat sedikit ding, seperti biasanya. Terlalu sibuk dengan urusan yang sebenarnya bisa diakali bila manajemen waktunya yahud. Yah, rapor merah untuk bulan ke 4 di 2015 ini.)


Judul buku: Ma Yan
Penulis: Sanie B Kuncoro
Editor: Rahmat Widada
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, 2011
Tebal: 214 hlm.

Mayan: Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Pedalaman China untuk Meraih Pendidikan, merupakan novel yang terbit di Mei 2011 yang ditulis oleh Sanie B. Kuncoro. Novel ini diangkat dari kisah nyata dalam sebuah buku Diary Ma Yan oleh Piere Heski dkk, yang menceritakan dengan detail kisah seorang perempuan kecil di Tiongkok (berupa semacam laporan jurnalis). Mengambil latar pusat cerita di Zhangjiashu, sebuah tempat terpencil dekat sungai Kuning di Cina. Novel ini mengisahkan dengan cukup menarik, perjuangan seorang anak perempuan dalam tekadnya untuk bersekolah. Di tengah kemiskinan yang mendera lingkungannya dan tradisi perempuan yang diduakan (maksud di duakan yakni posisi anak laki-laki merupakan kebanggaan), Ma Yan mencoba mendekonstruksi apa yang selama ini dianggap ganjil, bahwa pendidikan terutama bagi anak perempuan dapat memutus mata rantai kemiskinan sebuah keluarga.

Mayan, juga mengisahkan bagaimana tekad sang Ibu yang dengan energi penghabisan mendukung putrinya untuk mencapai level pendidikan terbaik, meski lingkungan yang ditempatinya sangat tidak memungkinkan untuk itu. Keluarga petani miskin ini, dalam kesehariannya sangat kesusahan untuk sekadar makan. Jurus ampuh, menahan lapar, merupakan alternatif untuk menyiasati keadaan. Lalu bagaimana pada kondisi demikian terpikir untuk mendapatkan biaya sekolah yang (selalu) tinggi.

Diceritakan dengan tiga sudut pandang berbeda. Pertama lewat orang ketiga, yakni Piere, redaktur sebuah koran dari Prancis. Kedua, orang pertama/aku (Ibu), dan ketiga, orang pertama/aku (Ma Yan).

Cerita diawali dari sudut pandang ketiga, Piere yang sedang melakukan investigasi di pedalaman mendapati seorang perempuan miskin yang memberikan tiga buah buku catatan, milik anaknya. Melihat kegigihan perempuan tersebut, meskipun terkendala bahasa, Piere dan timnya akhirnya menerima buku tersebut. Meski tidak memahami tulisannya, Piere beranggapan jika dirinya dipercaya oleh pemberi untuk menyimpan, membaca, dan barangkali memberikan timbal balik.

Selanjutnya, secara bergantian tokoh aku Ibu dan tokoh aku Ma Yan, mengisahkan perasaan, sikap, cita-cita dalam menjalani dera kemiskinan. Terkadang, untuk permasalahan yang sama, digunakan dua cara pandang. Saat Ma Yan disuruh berhenti sekolah karena masalah biaya, kita dapati dua persepektif yang memandangnya. Begitupun saat sang ibu memberikan buku catatan Mayan, pada orang asing yang tak dikenalinya. Ketika dua carapandang membidik hal sama, saya mencatat ada titik jenuh di sana. Apa yang sudah diceritakan, kembali dikisahkan lagi. Tentu saja penambahannya pada efek ke akuan. Tapi saya rasa tidak berhasil dalam hal ini. Sehingga yang memungkinkan, tidak perlu dualisme cara pandang. Karena pembaca memiliki imajinasnya, yang kebetulan sama dengan pengisahannya.

Dikisahkan dengan bahasa yang renyah dan mudah, penulis kita ini mencoba membidik kondisi sosial di negara lain. Sebuah kisah, yang menurut narasi di sampul belakang, merupakan kisah nyata, tidak terlalu berhasil memotret kondisi sosiokultur tersebut. Ketika membacanya, saya tak merasakan itu berada di Cina, tetapi justru seperti di negara sendiri. Penulis belum berhasil memindahkan kekhasan lingkungan setempat menjadi benar-benar di Cina.

Cerita diakhiri dengan pembandingan oleh Piere. Ia merefleksikan bagaiamana Ma Yan dengan gigihnya memperjuangkan mimpinya untuk sekolah. Juga sang ibu yang juga petarung untuk anaknya. Novel ini diakhiri dengan terbuka. Bagaimanakah nasib Ma Yan dan keluarganya, pembaca tentu memiliki alternatif ending sendiri. tentu saja dengan melihat Ma Yan Ma Yan di lingkungan mereka sendiri. Sebuah buku yang direkomendasikan bagi mereka yang tidak punya nyali untuk sekadar bermimpi.

Rabu, 15 April 2015

Di Kepalamu ada Anu

tiba-tiba saja kepalamu dipenuhi
akses menuju lorong-lorong rahasia
yang menuju kota bernama KEMISKINAN

———–padahal terakhir bertemu
kamu bilang semua beredar di garis edarnya
tidak gemar lagi blusukan di media
tidak merasai lagi pe-es-ka online
:apalagi membunuhnya
dan banyak lagi
deretan tidak-tidak yang parkir di bawah
bibirmu yang basah.

lalu, kenapa hanya kepada
penyair tidak populer pula
kau umbar isi kepalamu
(mohon maaf, saya bukan
pengambil kebijakan semacam itu)

sudahlah kawan,
kita ini hanya petugas saja
biarlah akses menuju kota itu
diselesaikan baik-baik di kementerian terkait
mari islah saja

bukankah bersatu lebih baik?
(16 April 2015, 01:10)