Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Senin, 10 Mei 2010

Pergolakan Asmara dalam Drama Perahu Retak Karya Emha Ainun Najib: Sebuah Tinjaun Dekontruksi

1.Pendahuluan
Pergolakan asmara merupakan sebuah wacana yang terus berlangsung mulai jaman dulu. Kita bisa melihat tragedi Yunani kuno, Oedipus Sang Raja, kemudian Romeo and Juliet, Lalila Majnun, Roro Mendut dan Pronocitro, bahkan dalam sejarah kerajaan Jawa, Ken Arok—Ken Dedes, merupakan sebuah wacana asmara yang begitu kental dan akan terus berkembang terus dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam sastra.
Permasalahan asmara merupakan maslah klasik yang paling dekat dengan kehidupan manusia. Oleh sebab itu tak aneh bila tema-tema asmara lahir terus dalam dunia sastra. Mengingat sastra merupakan representasi dari keadaan dari perspekrif pengarang (baca: Manusia).
Naskah drama Perahu Retak juga mengndung pergolakan asmara. Permasalahannya, bila memakai kaca mata teori modern, maka tema ini akan tenggelam oleh tema lain yang lebih besar. Tetapi dengan teori dekontruksi, tema-tema yang semul dianggap minor akan memiliki kekuatan untuk berdiri sendiri.

2.Sebuah Tinjauan Dekontruksi dan Relevensi Sastra
Dekontruksi merupakan pengurangan atau penurunan intensitatas kontruksi itu sendiri ( Kutha Ratna, 2007:245). Sehingga unsure biner dalam sebuah oposisi tidak selalu mendominasi. Sebaliknya, unsure-unsur yang semula selalu terlupakan, terdegrdasikan dan termarginalisasikan seperti: kelompok minoritas, kelompok yang lemah, kaum perempuan, tokoh-tokoh komplementer dn sebagainya, dapat diberikan perhatian yang memadai, bahkan secara seimbang dan proposional.
Pada dasarnya dekontruksi merupakan pengembangan dari pos strukturalisme. Bahkan Junus (Endraswara, 2008:174) dekontruksi sebagai pasca strukturalisme yang ekstrem. Sifat ekstrem yang dimaksud dalah pemaknaan karya sastra dapat dimulai dari aspek mana saja bahkan dari aspek kecil yang semula tidak menarik perhatian orang.
Menurut Derrida (Endraswara, 2008:174) menegaskan jika unsure yang semula tak logis atau mapan dalam konteks struktur secara tidak langsung kadang-kadang justru akan muncul berulang-ulang. Sehingga akan menguatkn pemknaan atau malah mengaburkan.
Benar dalam dekontruksi berlku pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dpat dimanfaatkan semaksiml mungkin. Ini yng disebut Spivak (Kutha Ratna, 2007:246) bahwa dekontruksi merupkan gagasan antara destruktif dan konstruktif.
Menurut Endraswara (2008:173), relevansi dekontruksi bagi penelitian sastra ada empat hal.
1.Terdapat keterkaitan dengan serangkaian kritik, termasuk kosep kesastran sendiri.
2.Sebagai sumber tema
3.Sebagai contoh stretegi pembacaan
4.Sebagai gudang cadangan saran-saran mengenai kodrat dan tujuan ktitik sastra itu sendiri.
3.Pergolakan Asmara dalam Drama Perahu Retak Karya Emha Ainun Najib
Wacana yang terangkat bila kita mencermati drama Perahu Retak (selanjutnya PR), yakni adnya konfrontasi antara Mataram dan Islam. Mataram sebagai wilayah kerajaan yang di dalamnya terdapat Islam. Sungguh merupakan lingkaran hermeneutis kompleks. Sebagai sebuah wilayah kerajan, tentunya terdapat kekuasaan dari pemimpin yang mempunyai kewenangan untuk mengkontruksi wilayahnya. Permasalahn kemudian timbul ketika pengaruh Islam yang juga telah dianut oleh sebagian besar masyarakat dan bahkan penguasa setempat bertentangan dengan kekuasaan pemerintah.
Mandoroko : Kami sendiri merasa bahwa Mataram dengan Islam telah menyatu seperti sungai dengan airnya, seperti matahari dan sungainya.
Jangkung : Mataram menjadi bagian dari Islam atukah Islam menjadi bagian dari Mataram? (hal. 55)

Pemikiran Ki Mandoroko, perwakilan penguasa (pusat) seperti yang tertuang dalam dialog di atas mengandung implikasi jika Islam harus selaras dengn Mataram. Padahal konsep agama, merupakan kebenaran hakiki yang seharusnya berdiri tegak di tengah kekuasaan. Kebenaran yang datang dari Tuhan, selayaknya dijadikan sebagai tatanan dalam kehidupan diberbagai segi dan sendi kehidupan. Pandangan inilah yang dipegang teguh oleh Syeh Jangkung dan kawan-kawan, yang menghendaki agar Mataram menjalankan Islam secara kaffah (menyeluruh).
Berbicara Mataram, sulit bagi kita untuk melepaskan konsep Jawa. Selain Karena wilayah kerajaan ini secara geografis terletak di Jawa, pada masa inilah mitos Nyi Roro Kidul, Ratu Lelembut Pantai Selatan, bermul. Seperti cerita dalam Babad Tanah Jawi, jika Panembahan Senopati (penguasa Mataram saat itu) bersekutu dengan Nyi Roro Kidul. Dalam pendahuluan PR, dilukiskan sebagai berikut.
Kerajaan Mataram tidak meneruskan “tradisi wali”, dan menggantinya dengan legitimasi mistik Jawa terutama melalui figure Nyai Roro Kidul, yakni tokoh yang dipercaya sebagai Ratu Laut Selatan yang berhubungan karib dengan Raja Mataram. (vii)

Mitos Ratu Pantai Selatan itu sampai kini masih hidup dengan subur di tengah kehidupan masyarakat Jawa. Dalam PR, mitos ini menjadi pergunjingan kubu Islam. Mereka mempertanyakan sekaligus menggugat Penguasa yang melestarikan mitos gaib (Nyi Roro Kidul) sebagai distorsi terhadap Islam. Sebab Islam memandang hal semacam itu merupakan perbuatan syirik (dosa besar).
Murtadlo : Mungkin kami memang penerus Nabi. Tapi kami yakin bukan petugas dari kerajaan Nyi Roro Kidul ysng kini mskin menguasai pikirn rakyat Mataram. (22)

Subendo : Adi!! Panembahan Senopati adalah santri Roro Kidul.
Jolego : Dan Ki Mandoroko Juru Martani adalah Kiai Gondhal Gandhul (34)

Sengketa Islam, Mataram dan sekaligus Jawa pada PR, merujuk pada pemertahanan identitas dari masing-masing terma yang bertikai. Tetapi karena latar dari drama ini yakni permulan berdirinya kerajaan Mataram, permulaan abad 16, maka identitas kemataramannya masih belum jelas. Pengaruh Islam dan mistik Jawa saling menyodorkan konsep-konsep sebagai alternatif pencarian identitas. Konsep mistik Jawa dipertahankan di pusat, sekaligus menerima Islam dengan mereduksinya sehingga kekuasaan tetap terjaga. Sementara itu Islam menjadi identitas pinggiran. Mengingat historisitas pinggiran sebagai asal-usul masuknya Islam.
Uraian di atas setidaknya merupakan wacana umum bila kita mencermti drama PR. Hal ini diperkuat dengan cover buku dalam yang bertuliskan sebuah lakon tradisi “Perahu Retak” Cermin Perselisihan Jawa-Islam di awal kerajaan Mataram serta pendahuluan yang memaparkan kondisi kultur-sosial latar PR. Dari sini kentara, bagaimana pembaca digiring pada sebuah alur cerita tradisi konvensional. Intrik-intrik pergolakan Jawa-Islam menjadi tema besar dalam seluruh adegan cerita, atau setidaknya inilah yang bisa kita lihat secara langsung.
Pergolakan Islam—Jawa dalam PR, tentunya melahirkan serangkaian cerita dengan beberapa tokoh di dalamnya. Tokoh penting yang menjadi akar permasalahan dalam PR yakni Sahil. Santri yang terbunuh akibat pertikaian Murtadho dkk. (Islam) kontra Marsiung dkk. (Mataram). Murtadho yang tengah meyebarkan Islam pada penduduk setempat disinyalir ancaman bagi Marsiung, seorang pamong daerah Trembesi. Sehingga terjadi ketegangan dan saling olok antara kedua belah pihak.
(Rupanya rombongan Ki Marsiung menhampiri, keasyikan para santri tiba-tiba terhenti dan perhatian penduduk menjadi terbelah. Beberapa lama suasana menjadi lengang dan tegang. Kedua kelompok itu saling berhadapan) (21)

Marsiung : Ini dusun kekuasaan kami. Kami mendapat mandat penuh dari Nyi Demang Sendangsih bahkan dari Tumenggung Karang Gumantung dan Tumenggung Cekal Birowo, untuk menindak tegas siapa saja yang mengancam keamanan.
Murtadho : Kalian yang mengancam keamanan cinta antara penduduk dan para santri. Dan lagi kami mendapat mandat penuh dari Allah, panglima alam semesta, untuk menyebarkan jaran-ajaran dan cintaNya. (22)

Pertikaian ini mencapai klimaks setelah salah satu anggota santri bernama Sahil ditemukan meninggal tak jauh dari tempat itu. Hal ini memicu konflik yang serius karena permasalahan ini mewakili dua kekuatan yang lagi berseteru.
(Semua tergeragap. Murtadho dan para santri lainnya memekik spontan menghampiri. Memekiklah mereka setelah melihat bahwa yang dibopong Kalong adalah jenazah santri Sahil) (29)

Murtadho : Jiman! Kijing! Cepat kalian pergi menyusul Kiai Tegal Sari dan Syech jangkung untuk memberitahukan kekejaman ini!!
Sukijing : Ki Marsiung harus membayar dengan nyawanya!
Jmbuwangi : Kalau soal Marsiung cukup dengan menggerakan jari-jari. Tapi ini adalah benih dari permasalahan besar yang menyangkut kerajaan dan seluruh rakyat.

Pembunuhan Sahil merupakan akar permasalahan dari bertemunya konflik Islam—Mataram secara nyata. Yakni ketika Syeh Jangkung dan Kiai Tegal Sari (kubu Islam) bertemu Ki Mandoroko Juru Martani (kubu Mataram) pada adegan lima belas. Meskipun dalam pembicaraannya kemudian mendalam mengenai pandangan Mataram terhadap Islam dan sebaliknya, tetapi kita harus ingat tujuan utama dari Syeh Jangkung dan Kiai Tegal Sari. Bukankah tujuan mereka untuk mencari pertanggung jawaban tentang kematian Sahil?
Tegal Sari : Para pamong di berbagai wilayah menghalangi kegiatan santri-santriku. Terkadang bahkan dibantu oleh sejumlah Ulama Istana yang memusuhi kami. Dan sekarang ini kami datang ke mari karena salah seorang santriku terbunuh.

Kematian Sahil bukan merupakan tumbal dari perselisihan Mataram—Islam, meskipun kemudian lebih menajamkan konflik kedua kubu yang bertikai. Sebagai akar permasalahan, kita harus mencari kenapa Sahil dibunuh? Motif apa yang terselubung di dalamnya? Apakah benar kematin Sahil ada sangkut pautnya dengan konflik Mataram—Islam?
Motif yang mendasari terbunuhnya Sahil ternyata adalah persoalan asmara.
Sendangsih : Pak Janu ingin mengambil Nak Mas Murtadho untuk dijadikan menantu. Padahal Ki Marsiung sudah lama mengincar anak gadis Pak Janu untuk dijadikan Istrinya yang kedua.
Pelacakan Demang Sendangsih terhadap kematian Sahil ternyata seperti yang termaktub di atas. Permusuhan Marsiung dan Murtadho ternyata tak semata-mata bertema Islam—Mataram, karena kemudian di sana ada pergolakan asmara yang melatar belakanginya. Meskipun pembunuh Sahil ternyata Carik Sukadal, (hal. 62) tetapi tetap saja ini lahir dari percekcokan Marsiung—Murtadho. Pergolakan asmara inilah menjadi motif terbunuhnya Sahil. Sehingga drama Perahu Retak, meskipun ada wacana konfrontasi Islam—Mataram, tetapi pergolakan asmara ini tidak bisa kita abaikan. Karena sesungguhnya inilah bibit dari permasalahan yang muncul dalam drama ini, sehingga kubu Islam menyatroni kubu Mataram.
Pergolakan asmara meski terbersit sekilas dari pembicaraan Demang Sendangsih, tetap merupakan sebuah jenjang wacana yang besar. Sehingga tema ini sepadan dengan konlik Islam—Mataram. Karena dalam dekontruksi tak mengenal pusat, maka keduanya bisa berdiri sebelah-menyebelah sebagai mata rantai dari sebuah cerita.



4.Daftar Pustaka

Nadjib, Emha Ainun. 1992. Perahu Retak. Jakarta: Garda Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Presindo/cet. 4
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar/cet. 2.