Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Jumat, 14 Mei 2010

INI MONUMEN, BUKAN PATUNG

Prolog :

Tak ada yang hilang sebenarnya di negeri ini. Tetapi mengapa kita selalu ribut setiap hari?. Permasalahan demi permasalahan mengalir tanpa ujung pangkal.
Mungkin karena semua bisa berteriak, bisa berkoar – koar di zaman ini. Tak ada yang hilang sebenarnya di negeri ini. Sebab kita masih bisa tertawa, ha... ha... ha...

Suara sirine ambulan
( 3 orang berbaju hitamdengan ikat kepala putih menggenggam tongkat kecil )

Orang 1, 2, 3 bersama – sama dengan mengacungkan tongkat

Kita – kita bisa .......... ( 5x )

( Seseorang berbaju rapi ala kantoran dengan dasi pink keluar dari samping dengan berteriak ).

Diaaaammmm............... diaaaammmm........................... diam ( matanya melotot dengan telunjuk diacungkan. Serentak tiga orang tadi terdiam ). Belum waktunya kalian bicara. Tunggu waktu yang tepat dulu. Semua ada aturannya, jangan asal. Rencana kita ini rencana besar... kalian enak tinggal berteriak. Sedangkan saya................ ( telunjuk mengarah ke kepalanya ). Jadi kalian ikut mikir donk......

Orang 1 : ( Membanting tongkat )
Sampai kapan kami mematung di sini ? ( marah. Matanya menatap tajam ke arah orang yang berbaju rapi ). Minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau 1 abad lagi. Yang jelas dong kami butuh kepastian. Lebih cepat lebih baik...

Orang 2 & 3 : Betul............... ( 3x ) lanjutkan

( Orang berbaju rapi menghampiri orang 1 lalu menyeretnya ke depan )

Orang berbaju rapi : Hai provokator ( menunjuk ). Begitu balasanmu padaku. Setelah aku mengatrolmu dari pinggir jalan. Setelah kehidupanmu menanjak. ( mendorongnya ). Cepat tanggalkan baju dan celanamu. Lalu pergi dari sini. ( memandang yang lainnya ). Ini juga berlaku untuk kalian.

Orang 1 : Fuck you .......!! ( mengacungkan jari tengah. Lalu lari meninggalkan tempat itu )

Lampu redup

Suara sirine meraung – raung.



( Di bawah monumen patung bergerak, orang berbaju rapi bersama seorang wartawan sedang berbincang – bincang. )

Orang berbaju rapi : Monumen ini masa depan kami. Bangunan ini menjadi tonggak kesuksesan daerah kami. Untuk merealisasikannya, semua kami korbankan. Bahkan 2 nyawa melayang saat peresmian oleh Bupati. Ini benar – benar master piece abad ini. simbol dari kegemilangan sebuah generasi.

Wartawan : ( Mengangguk – angguk aja sambil memegangi janggutnya )

Orang berbaju rapi : Lho anda kok mengangguk – angguk saja sich, warrtawan kan biasanya bertanya terus. Dari media mana sich anda? Tapi kalau ini trend baru dunia jurnalistik saya gak tahu. Mending pake yang lumrah saja biar semua pada ngerti. Gak usah neko – neko. (Melihat katu pers ).
Ooh... media terkenal itu....

Wartawan : Monumen ini apakah sejenis politik mercusuar?

Orang berbaju rapi : saya bukan Sukarno bung saja juga ndak bangun monas saya cuma bangun seperti ini. Ini murni bung, ekspresi dinamis warga kami. Ini jangan ditafsirkan politik lho. sekali lagi saya tegaskan ini bukan politik lho... tapi kalau anda berpolitik well kami tidak merasa rugi. hanya saja di media anda jangan di tulis istilah politik mercusuar.

Wartawan : Lho... pak bukannya ini manusia asli kayak kita itu dadanya kembang kempis.

Orang berbaju rapi : Ha.... ( 3x ) ternyata wartawan juga bisa melucu gak melulu menggencet penguasa. ( Menarik nafas ) seperti yang saya bilang tadi ini master piece jadi harus benar – benar halus. Kemakmuran, kemegahan, kekuatan, dan dinamis melebur menjadi tunggal prestisius bukan.

Wartawan : ( manggut – manggut ) kok tidak ada yang menjaga pak?

Orang berbaju rapi : Ha... ( 3x ). The great questions.buat apa kami menjaganya justru monumen ini yang menjaga kami.

Wartawan : ( manggut – manggut ) apakah ada pihak – pihak yang kontra dalam berdirinya patung ini.

Orang berbaju rapi : ini monumen bukan patung anda paham?
Tak ada kelompok yang kontra bung, semua satu suara, pro

( Seorang warga membawa makanan dan minuman di atas nampan di letakkan di atas monumen sambil menyembah, kemudian pergi )

Orang berbaju rapi : Anda sudah melihat bukan

Wartawan : ( Bingung ) Lho..., kok malah monuen di kasih makanan bukannya itu dosa besar?

Orang berbaju rapi : Tergantung niatnya bung. Dosa itu adalah niat kita artinya tergantung niat kita. Lho kok ngomongin dosa saya mengundang saudara untuk mewliput monumen bukan untuk mengurusi dosa.

Wartawan : Hmm.... nama monumen ini apa pak?

Orang berbaju rapi : MONUMEN MERCUSUAR ( tersenyum puas )

Wartawan : ( Terkejut )

( Kedua orang itu mencicipi makanan sambil berdiskusi )

Lampu redup


(Orang 1 nyerocos di bawah monumen sambil mengganyang kue-kue yang berserakan di bawah monumen)

Orang 1 : Hey, gendeng!!!! (menunjuk-nunjuk) mending kamu makan kue ini (mengacung dan mengunyah kue) dari pada terus berdiri dan bergerak-gerak. Sudah basi. Kuno. Bagiku gerakanmu ndak ada untungnya. Aku tetap melarat. Tetap tergencet. (melirik monumen) hahahahahah, bagaimana ndak melarak, lha wong saban hari ngasih kamu kue. Sementara dirimu Cuma masturbasi di atas altar. Menjijikan. Gendeng. Hahahahaha (tersedak makanan, matanya melotot. Langsung menyambar minuman kemudian menenggaknya) bangsat...! air apa ini? Kok asin. (menatap monumen dengan curiga) ini kencingmu ya? Bangsat, jawab!!! (berkacak pinggang. Naik pitam) mentang-mntang sudah nongkrong di situ, bertingkah seenak pantatmu. Ingat, aku juga berjasa mengantarmu ke tempat itu. Aku ikut nyumbang tenaga dan pikiran. (merasa dilecehkan, mengambil kue lalu melemparnya) bangsat, ndak tahu diri.. Jawab....!!! jangan diam kayak patung. (menendang kardus-kardus. Menggebrak meja)

Monumen mercusuar : Berisik GOBLOG!!!! (lantang menghentak)

Orang 1 : (terhenyak. Ia menajamkan penglihatannya. Dengan ragu-ragu mendekati monumen. Badannya gemetar) Apa, kau ngomong???? Ya Tuhan, mana ada patung yang bisa ngomong?

(monumen mercusuar tetap bergerak seperti semula. Orang satu yang tadinya ketakutan, mulai bisa menguasai diri)

Warga 1 & 2 : (Menyunggi makanan di nampan. Lalu bersimpuh di bawah monumen dan meletakkan nampan)

Orang 1 : Puji Tuhan, benarkan apa yang aku bilang? Ini bukan patung. Ini orang biasa yang pura-pura jadi patung. Dia bisa ngomong seperti kita orang juga. Ini penipuan. Ini rekayasa. Ini sindikat. Ini gurita.

Warga 2 : Ini kue masih anget (memperlihatkan kue)

Warga 1 : sudahlah, nggak capek dari tadi pagi ngomel. Monumen kau ajak diskusi. Urusin tuh anakmu.

Orang 1 : kita sudah ditipu. Itu patung bisa ngomong.

Warga 2 : monumen, bukan patung....(melotot)

Orang 1 : harga diri kita sudah diinjak-injak sampai lumat. Kau tiap hari nyetor gituan untuk patung bangsat ini.

Warga 1 : Hey, jaga ucapanmu. Itu monumen bukan patung!!!!

Orang 1 : Gendeng, coba ngomong sekali lagi (berkacak pinggang. Mengambil kue di nampan. Melempari monumen)

Warga 1&2 : (melongo)

Orang 1 : buktikan pada mereka jika kamu bisa ngomong. Lalu ngaku (berkavak pinggang)

Warga 1 : (menyilangkan telunjuk di dahinya )

Warga 2 : (mengangguk ngeri.)

Orang 1 : Apa!!!!!!!!!!!!! Kalian bilang aku edan? Dia yang edan. (menunjuk patung) monumen ini adalah rekayasa. Sindikat jahat. Sudah sebaiknya kita gusur.

(Dua orang berbaju hitam masuk panggung. Meringkus orang 1 dengan paksa)

Orang 1 : (teringkus) Keparat, kalian seharusnya meringkus patung itu.
Warga 1 & 2 : Monumen, bukan patung. ASU............

Orang 1 : (meronta-ronta) lihat dia mengejek kita. Buka mata kalian. Kita ini ditindas olehnya. Jangan gelo. Ini permainan pilitik kelas wahid. Kita orang kecil kudu kritis. Ini bukan mbalelo, tapi bersikap. Ini prinsip.

(Orang berbaju rapi datang dengan panik)

Orang berbaju rapi : Gawat, kita semua getahnya. (memandang orang 1). Lepaskan dia segera. (menghela nafas) daerah kita ditindas. Dikucilkan. Dianaktirikan.

Warga 1 : Tak usah berbelit-belit bung. Saya mau cari duit nih. Capek denger ceramah mulu dari tadi.

Orang berbaju rapi : (melirik) Coba bayangkan....

Warga 2 : capek bung mbayangin terus. Ini dunia nyata. Jangan bermimpi terus. Kalau dasarnya susah ya susah

Orang berbaju rapi : (menatap tajam) setelah media lokal memuat berita tentang patung mercusuar.

Warga 1 & 2 : Monumen, bukan patung...

Orang berbaju rapi : Lha itu, media lokal mengatakan patung mercusuar, kemudian saya klarifikasi kalau yang betul monumen mercusuar. Tapi permasalahannya bukan itu.

Orang 1 : Jelas itu masalahnya. Monumen kok diganti patung. Itu pembetotan kenyataan.

Orang berbaju rapi : Diam, Goblog!!Saya mau ngomong tentang masa depan. (menatap tajam) setelah berita monumen kita diterima daerah-daerah sekitar, mereka pada demo ke DPRD. Intinya, menuntut pembangunan serupa.

Warga 2 : Wah, itu bagus. Daerah kita menjadi inspirasi. Jadi pioner. Kita patut berbangga. Bukan panik..

Orang berbaju Rapi : Dengarkan dulu saya ngomong.. Jangan dipotong dulu. Ini jaman kebebasan. Beri saya waktu ngomong. (marah) Proyek mercusuar yang digarap pemerintah, dananya 2 Triliun. Dan itu disubsidi 100%. Sedangkan monumen kita, hasil mengeruk kantong sendiri. Ini namanya apa? Ketidak adilan bukan? Jangan diam. Uang 2 T itu gede. Bisa buat naik haji orang sekampung. (menelan ludah. Warga satu memberikan sebotol minuman). Gilanya, monumen mercusuar pemerintah lebih menakjubkan. Bukan Cuma bisa bergerak. Tapi bisa bicara. Bisa kentut. Bisa makan. Bisa berak. Bisa menipu. Bisa semuanya. Lengkap.

Orang 1 : Tapi dia juga bisa bicara (Menunjuk). Tadi dia membentak saya.

Orang berbaju Rapi : hahahahaha, Gila.......... mana ada monumen bisa ngomong. Dasar edan.

Warga 2 : jadi agar bisa naik haji sekampung, apa yang harus kita lakukan?

Orang berbaju rapi : Pertanyaan bodoh. Kita robohkan saja monumen saja. Bilang saja kesambar petir atau kena angin puting beliung.

Orang 1 : Saya nggak setuju. (berkacak pinggang). Ini namanya penipuan. Kita harus jujur pada pemerintah.

Warga 1 : Kamu ndak mau naik haji?

Orang 1 : (Bingung) em, kalu itu ya.. em, aku rindu Mekkah.

Warga 2 : Makanya, kita sabotase monumen ini. Tadi kamu ngeyel mau merobohkan. Jangan plin-plan.

(Semua orang menyerbu monumen untuk merobohkan)

Sirine meraung-raung


Sekret Geo, 16 Pebruari 2010
Angkatan 2009 kita bisa-bisa