Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Jumat, 14 Mei 2010

Dari Fontenay ke Magallianes


Novel ini menggambarkan pada kita bagaimanakah perspektif seorang perempuan dalam kehidupan berumah tangga, sebagai ibu sebagai istri dan tentunya sebagai seorang wanita.
Sebagai ibu, Dini mempunyai anak yakni Lintang dan Padang. Sebagai istri, ia bersuami seorang diplomat Perancis. Dan sebagai wanita, ia mempunyai cita-cita, keinginan dan harapan hidup lebih baik sebagai fitrah manusia disamping kaum laki-laki.
Sebagai keluarga – sosok itulah novel ini terjawab. Sebagai ibu tidak ada permasalahan yang berarti. Semuanya berjalan normal, selaras dengan takdirnya menjadi seorang wanita. Tapi sebagai istri, dia harus menghadapi suami yang egois. Kita tidak akan melihat demokratisasi di sana. Mungkin karena si suami pencari nafkah maka kehendaknya tidak terbantahkan. Inilah yang membuat dini gerah, dan saya kira permasalahan ini universal. Yakni sikap laki-laki yang super power terhadap wanita.
Sebagai wanita, barang tentu Dini mempunyai prinsip hidup, cita-cita dll. Ketika ia melihat posisi sebagai istri sudah mulai tidak nyaman (baca:tertindas) maka ia sudah punya ancang-ancang untuk keluar. Dini siap berpisah dengan lelaki pilihannya itu. Meskipun niat ini sampai akhir cerita masih berdetak, menunggu kapan akan meledak. Tapi setidaknya ia tunjukkan bukti nilanya, ketika hubungan gelapnya dengan kapten kapal bernama Bagus itu makin intim. Yup, di sela-sela kekosongannya ketika kapal kaptennya itu merapat ke dermaga, pasti akan dilewatkannya berdua. Tidak sering , namun dengan sekali bertemu dan terpisah untuk waktu yang lama mau tidak mau menyalurkan benih cintanya.
Di novel ini, Dini tinggal di Fontenay , Perancis. Pada sebuah apartemen sederhana. Waktu inilah, untuk pertama kalinya selama empat tahun ini ia berhubungan badan dengan suaminya sendiri. Tapi bukan atas dasar cinta kasih, Dini mengatakan bahwa itu perkosaan. Sehingga lahirlah anak keduanya yang bernama padang. Sebagai seorang istri, ia harus bertolak ke Manila, Filipina. Ayah anaknya tersebut mendapat tugas di sana.
Novel ini banyak nilai-nilai moral yang bisa kita ambil. Mulai filosofi sebagai ibu sekaligus istri yang harus “sumarah dan sembadra” dalam menjalani pernak-pernik kehidupan. Semua ini menggiring kita pada beberapa pertanyaan. Adakah ibu bagi anak, dan istri bagi suami itu? Dimana letak mereka pada ikatan pernikahan? Sucikah pernikahan itu sendiri bila ada perselingkuhan? Dan apakah perselingkuhan itu? Adakah wanita? Inilah wanita dalam kehidupan kita saat ini.