Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Sabtu, 28 Agustus 2010

Toleransi Bergaransi


kenapa kita sering ricuh antar sesama? kenapa kita cepat berurat syaraf bila berbeda? kenapa kita merasa benar sendiri?

Sebagai negara yang majemuk, Indonesia tak bisa mengedepakan keakuan. Karena hal ini tentu akan berbenturan dengan pihak lain yang juga berakuan. Nah, untuk itu saat ini kita membutuhkan sikap toleran yang cukup besar untuk mewujudkan kehidupan yang ideal. Bukan hanya toleran dalam beragama saja, tetapi lebih jau lagi. Dalam setiap segi, toleran harus kita usung untuk mewujudkan ke-Bhinekaan Tunggal Ika-an yang utuh.

Pluralisme, multikulturalisme atau apapun juga tak akan mampu terwujud tanpa dasar sikap toleran. Sikap toleran di negara kita masih memprihatinkan. Demokrasi yang menjadi sebuah simbol kebebasan berpendapat, malah melabrak privasi lainnya.Tentu saja ini memantik kericuhan yang tak berujung. Kita masih lebih suka bicara keakuan tanpa melihat kepentingan yang lebih besar, yakni persatuan bangsa ini.

Secara konkret, sikap toleransi ini harus menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa. Diantaranya diwujudkan dengan saling menghormati (bukan tunduk), tenggang rasa, dan saling dialog secra damai antara satu dengan lainnya. Meskipun dalam prakteknya masih jauh dari harapan, marilah kita mulai dari diri kita sendiri. Kita pupuk budaya toleransi tanpa adanya tendensi apapun.

Rabu, 25 Agustus 2010

Yayaya Pariyem


Pariyem bekerja sebagai babu di kediaman Ndoro Kanjeng Cokro Sentono. Ia berasal dan lahir dari Wonosari Gunung Kidul. Sebagai seorang Katholik, dan nama baptisnya adalah Maria Magdalena Pariyem, namun dalam kehidupannya, ia dipanggil “Iyem” karena ia seorang babu di pedalaman Ngayogjakarta. Di Wonosari, keluargaa Pariyem masih lengkap Bapak dan Ibunya, dua adiknya Pairin dan Painem. Bapaknya adalah mantan pemain ketoprak, Suwito namanya, dan Ibunya pernah menjadi ledhek, mereka sama-sama kasmaran pada waktu malam hari mereka main ketoprak, yang akhirnya menikah, pada saat itu orang tuanya sangat terkenal, tapi semenjak peristiwa “G-30S/PKI” yang menyebabkan paguyuban itu menjadi kacau, yang menyebabkan anggotanya terbunuh, maka Suwito dan Parjinah (nama ibu Pariyem) memilih hidup sebagai petani, Di kawasan Gunung kidul, mereka bercocok tanam padi gogo dan palawija di lading. Dua adiknya Pairin dan Painem, senantiasa membantu orang tuannya di ladang.

Sebagai seorang babu, Pariyem bisa menempatkan diri sangat baik, ia dapat memahami konsep jawa yang ada dikediaman Ndoro Kanjeng Cokro Sentono itu, sehingga ia di sayangi oleh majikannya, mula dari Ngoro Kanjeng, Ndoro Putri, bahkan kedua putra dan putrinya sang majikan bersikap baik terhadap Pariyem
Kekayaaan bangsawan Ndoro Kanjeng Cokro Sentono dengan orang-orang yang di dalamnya. Ndoro Ayu, sangat mengagumi R.A. Kartini. di sela-sela waktu ia sering memberikan wejangan kepada Pariyem tentang kehidupan perempuan yang selayaknya. Ndoro Putri Wiwit Setiawati, sahabat sekaligus majikannya, sering mengajak Pariyem berbelanja ke Malioboro, hal ini yang membuat Pariyem lelah karena Ndoro Putrinya sering bingung memilih sesuatu yang ingin di belinya, seta hal ini merupakan suau kesenangan bagi Pariyem, karena jarang seorang babu di ajak keluar dengan majikannya Lain lagi dengan Ndoro Bagus Ario Atmojo, di hati Iyem ia mempunyai tempat spesial, karena keperawaiannya sebagai laki-laki sangat sempurna. Ketika rumah lagi sepi, putra majikannya selalu mempergunakannya untuk bercinta dengan Iyem (babunya). Iyem tak merasa di perkosa, karena ia melakukannya dengan ikhlas (lela liga), dan kejadian itu sering dilakukan keduannya, sampai akhirnya Iyem hamil, sebenarnya, dan keperawanannya telah hilang beberapa silam oleh kekasihnya yaitu “Sokidi Kliwon”, itu pun juga dilakukan dengan ikhlas, Iyem tak pernah melawan dengan perbuatan itu.


Setelah kepergok muntah-muntah oleh Ndoro Putri Wiwit Setiawati, akhirnya Iyem bilang kehamilannya dan yang melakukkan, tetapi Iyem tak pernah menyalahkan Ndoro Ario Atmojo, karena mereka melakukan dengan rela dan ikhlas. Kemudian, saat yang menegangkan bagi Iyem pun tiba, ia diadili oleh Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, dan disaksikan oleh semua keluarganya, yaitu Ndoro Ayu, Ndoro Putri, dan Ndoro Bagus Ario Atmojo, Ndoro Bagus dan Iyem sangat tegang, tetapi pada akhirnya, Ndoro Cokro Sentono menyuruh putranya untuk bertanggung jawab, atas kehamilan Iyem. Tak ada cacian atau kemarahan dari keluarga Ndoro Kanjeng, meski Iyaem seorang babu, tetapi keluarganya menyetujui, dan bahkan senang dengan keputusan itu Ke esokan harinya, iyem dan keluarga Ndoro Kanjeng pergi ke Wonosari Gunung Kidul untuk mengatakan maksud kedatangannya mereka ke kediaman keluarganya Iyem, keluarganya menyambutnya dengan senang, mereka menyerahkan Iyem dan meminangnya, sementara sampai Iyem melahirkan, Iyem tinggal di rumahnya sendiri, dan sebulan sekali Ndoro Ario Atmojo datang kerumahnya. Begitu juga Ndoro Ayu dan doro Putri. Sampai pada. Akhirnya Iyem melahirkan putri yang bernama “Endang Sri Setiarningsih” nama dari Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, keluarganya meyambut dengan gembira atas kelahiran putri Iyem.

harmoni senja

secangkir kopi menemaniku sore ini

ada keraguan yang mengendap dalam senja itu
begitu juga wajahMu menjadi
kebiru-biruan seperti organ yang retak.
aku hanya memandang saja. berharap semuanya segera usai. dan
ketika genderang ditabuh

cairan kopi itu telah mengental
menyusun zigzag perasaan haru. sebuah
harmoni kurasa.

Senin, 16 Agustus 2010

Siklus 65 lesu

Bangunlah jiwanya
bangunlah badannya
untuk Indonesia raya.


Kita sudah merdeka sekarang. telah 65 tahun, merah putih bisa tersenyum dan tertawa lepas di jagad biru pertiwi. Meskipun kali ini perayaannya cukup lesu. Mungkin karena puasa yang menjadi biangnya. Toh, bila melihat ke belakang, proklamasi dulu juga pas bulan puasa. Jadi alasan karena puasa, sesungguhnya suatu yang mengada-ada.

Kemeredekaan merupakan sebuah siklus yang mengantar kita pada pencapaian derajat sebagai sebuah komunitas bangsa yang utuh. Untuk saat ini, kemerdekaan bisa berarti macam-macam. Hal ini memungkinkan karena kita tak punya komitmen untuk bangsa ini. Semua terkotak pada komunitas-komunitas tertentu, kelompok-kelompok tertentu. Tentu saja ini menciderai sisi kemanusiaan kita. Akhirnya kita menghgamba hanya pada kelompok tertentu dengan atribut yang saling berlainan dengan lainnya. Alih-alih saling melengkapai, umumnya saling beradu untuk mencapai titik yang tak mungkin ada lagi, kemenangan untuk salah satu pihak.

Kemerdekaan sekali lagi merupakan siklus. Sebuah momentum untuk masyarakat Indonesia keseluruhan membangun sesuatu yang telah lama hilang di negeri ini. Melalui 65 tahun ini, kita bangkit dan memodifikasi realitas guna melihat merah putih berseri dan tak pernah lusuh lagi.