Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Jumat, 29 Juli 2011

Lampuki; Wilayah baru di serambi mekkah



Nah, Lampuki itu hasil novel sayembara DKJ 2010. Kebetulan jadi jawara. Dan sebetulnya bukan sebuah kebetulan, karena isinya cukup satire dan sesekali (banyak kali) meninju sejarah bangsa ini.

Latar tempat novel ini di sebuah daerah Nangroe Aceh Darusalam, Lampuki. Dari sudut padang orang pertama, cerita dimulai dengan tarik ulur distansi emosi antara si aku dengan salah satu tokoh aktif GAM. Meskipun tidak secara vulgar mendukung GAM, tapi sayup-sayup bayangan simpati terhadap gerakan separatis itu nampak. Konfrontasi antar pemerintah pusat dalam memburu GAM tersebut dilukiskan dengan sederhana. Justru kesederhanaan itu yang membuat mencekam.

Bagaimana kesewenang-wenangan tentara pemerintah dalam setiap operasinya. Tak segan menghajar setiap orang yang dicurigai. Apalagi bila operasi di daerah terpencil yang jauh dari sasran media. Lampuki, tempat yang tidak begitu terpencil. Arafat menggambarkan, senyum serdadu (tentara pemerintah) berhamburan ketika bertemu dengan penduduk. Berbeda dengan di daerah terpencil, garang dan main hajar.

Selasa, 26 Juli 2011

Memungut kesederhanaan di angka 66 tahun

Seorang kawanku sering bertanya pada saya, apa sih yang spesial di bulan Agustus itu. Kata temanku, memang ada perayaan semisal lomba-lomba dll. Tetapi itu semua hanya angin lalu, dan tak membekas sebuah cap nasionalisme mempunyai sebuah bangsa yang konon katannya penuh dengan kesuburan.