Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Selasa, 30 Juni 2015

TANAH AIR: Lidah, Darah, dan Perlawanan

(Pembacaan Novel Pulang Karya Leila S. Chudori)

Kalau aku mampus, tangisku
Yang menyeruak dari hati
Akan terdengar abadi dalam sajakku
Yang tak pernah mati
(Subagyo Sastrowardoyo; Sajak yang Tak Pernah Mati)

PULANG, novel tulisan Leila S. Chudori, merupakan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013 (KTA). Terbit pertama kali di pengujung Desember 2012. Setelahnya mengalami beberapa percetakan ulang.

Saya membaca novel ini di cetakan keempat Desember 2013, namun tahun pembacaannya cukup mentereng, yakni Juni 2015. Berarti ada jarak 2 tahun lebih sejak buku ini beredar. Perlu diketahui, di terbitan yang saya baca, sudah terdapat logo KTA. Catatan lainnya, di lembar pertama, kita akan menemui testimoni dari beberapa tokoh sastra, sosiolog, psikolog, wartawan, dan juga pecinta buku. Kata lainnya, bahwa novel ini memang berkualitas. Anda harus segera membaca.
Jika ingin sari pati dari novel ini, silakan lihat halaman belakang. Sinopsis dua bagian (Paris, Mei 1968 – Jakarta, Mei 1998), dan baris terakhir sebagai kata kunci:
::Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Perancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.
----------
Tragedi kemanusian di tahun 1965, tepatnya 30 September, merupakan sebuah letupan dinamit penderitaan yang amat sangat berkepanjangan dan menimbulkan beragam intrik-polemik, terutama bagi keluarga korban. Pemerintah dengan merancang strategi politik, bersih diri-bersih lingkungan, dari semua yang berbau Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menimbulkan perang saudara berkepanjangan. Penangkapan, interogasi, penyiksaan, pembuangan, pembunuhan, secara sporadis menyerang keluarga, saudara, teman dan lainnya yang mereka anggap sebagai PKI. Tragedi kemanusiaan tersebut tidak sebentar. Sebuah tragedi tepatnya di Mei 1998, membuat semuanya menjadi lebih baik. Setidaknya, bayang-bayang tragedi 1965 berakhir dengan turunnya sang jenderal dari tampuk pimpinan. (Sejarah yang dibelokkan pada masa orde baru, di era reformasi, mulai kembali diluruskan beramai-ramai dalam banyak versi. Termasuk dalam Pulang)

Novel PULANG, mengawali ceritanya dari tahap itu. Dimas Soeryo, seorang wartawan di Kantor Berita Nusantara, harus terasing dari tanah airnya berpuluh-puluh tahun. Ia dan juga beberapa rekannya yang tengah mengikuti konferensi pers di Kuba, keberangkatan sebelum 30 September, tidak bisa kembali karena di Indonesia telah terjadi penumpasan PKI. Dimas dkk, termasuk orang yang diburu saat itu. Sehingga, jika mereka kembali, maka penjara dan kuburan akan menanti mereka. Pilihan yang tepat yakni mengembara. Tentu saja dengan konsekuensi, meninggalkan seluruh keluarga di tanah air, yang juga diburu-buru aparat. Pada mulanya, mereka menuju China dan selanjutnya tingga di bawah rezim komunis selama hampir tiga tahun. Selanjutnya, pintu kehidupan baru terbuka: Eropa dengan segala kebebasannya.

Paris, menjadi agenda terakhir pengembara politik tersebut tinggal. Mereka mencari cara bertahan di negeri Eiffel tersebut dengan penuh liku. Pusat penceritaan yakni Dimas Soeryo, seorang yang tidak memiliki afiliasi politik apapun namun dituduh komunis. Bersama rekannya menghidupi diri dengan semua kekuatan yang dimiliki. Hingga pada suatu waktu, mereka (Dimas, Mas Nug, Risjaf, Tjai) mendirikan sebuah restoran kecil yang beranama Tanah Air. Sebagai sebuah replika kerinduan pada Indonesia.

Sudut Pandang
Meskipun pusat penceritaan pada Dimas Soeryo, namun di novel ini sudut pandang dari beberapa tokoh yang semakin menguatkan sosok Dimas sendiri. Vivienne (istrinya), Lintang Utara (Anak semata wayangnya), Hananto (pimred Nusantara) Segara Alam (putra bungsu mendiang Hananto P., pemimpin redaksi Nusantara, yang juga anak kekasih Dimas pada mulanya, Surti Andini), Bimo (Putra Mas Nug, wakil pimpinan Nusantara yang kini bersamanya di Paris). Juga surat-surat dari orang terdekat Dimas yang mengabarkan secara intens apa yang terjadi di Jakarta pada masa kerusuhan (Surti, Kenanga, Aji, Aziz).

Alur

Pulang, tidak mengisahkan kepada kita (secara kemasan) dengan kronologis mulai awal sampai akhir. Kilas balik ditampilkan masa lalu, masa kini, dengan acak tetapi dengan sangat bagus. Sehingga, saya menyebut dengan puzle, kepingan-kepingannya sangat berhasil.

Drama Keluarga

Terlepas dari isu yang diangkat sensitif, tetapi tak menghilangkan sisi romantis dari semua tokohnya. Juga kekonyolan yang kerap terjadi. Kita akan melihat dari dekat kehidupan keluarga multikultur, ayah Indonesia-Ibu Prancis, dalam keseharian keluarga Dimas. Lengkap, mulai bertemu, menikah, hingga keduanya memutuskan bercerai. Tentang kisah asmara Lintang Utara, anak semata wayangnya, dengan Nara dan Alam.

Kita juga disuguhi romantisisme masa lalu Dimas saat menjadi mahasiswa. Cinta matinya dengan Surti Andari yang kemudian tidak pernah dimilikinya. Begitu juga rekan lainnya. Semuanya menjadi sebuah racikan cerita yang ciamik dari ketegangan-ketegangan sejarah yang tidak beradab.
1968-1998

Novel dimulai dengan sebuah prolog tahun 1968 tentang penangkapan Hananto Prawiro, pimred Nusantara. Sudut pandang pelaku yang saat itu bekerja sebagai tukang cuci cetak film. Yang kebebasannya terampas karena selalu diburu aparat.

Selanjutnya, panggung cerita menjadi milik Dimas Soeryo, dengan segala pemikiran, kehidupan, dan pengetahuannya yang cukup besar dalam bidang kesastraan, film, dan wayang.

Epilog Pulang diawali dengan surat wasiat Dimas pada putrinya yang tengah meyelesaikan penelitiannya tentang nasib keluarga korban politik 65 di Jakarta. Keberadaan Lintang Utara sendiri tepat di masa krisis bulan Mei 1998. Sehingga ia juga mengalami chaos secara langsung. Isi surat Dimas yakni merasakan bahwa tidak lama lagi ia akan pulang selama-lamanya. Termasuk keinginannya untuk dimakamkan di daerah perkebunan karet, dekat dengan makam Chairil Anwar.

(Ruang Pribadi, 30 Juni 2015)

Sempoyongan

Miskin baru saja ikut puasa. Pertama kali pula. Padahal usianya kini sudah 20 tahunan. Ditambah lagi, ia islam semenjak dalam kandungan. Kedua orang tuanya menikah dengan berikrar dengan diawali syahadat. Pun saat usia kandungan 6 bulan. Keluarganya mengundang seorang mubaligh untuk ceramah syukuran. Saat lahir, kedua telinganya didahului dengan adzan dan iqomah.
-----
Tentu saja, sebagai kawan yang baru kenal, saya cukup takjub mendengar pengakuan dari Miskin. Katanya, seminggu sebelum ramadhan tiba, ia bermimpi ke dua orang tuanya yang telah lama meninggal. Dalam mimpinya, ia disuruh puasa. Maka, Miskinpun puasa. Karena baru saja belajar puasa, maka sudah pasti ada banyak hal kejadian yang menimpanya. Waktu sahur pertama kali, ia ngotot untuk meneruskan tidur. Ia meyakinkanku kuat puasa meski tidak sahur. Sebelum kujelaskan perintah saur itu sunah rosul, dengkur Miskin sudah lebih dulu terdengar. Hasilnya? Sekitar pukul 11 wajahnya pucat. Ia bilang jika dirinya sangat lapar. Haus juga. Ia juga menyesal tidak menurut kata-kataku untuk sahur. Karena tak tega, kusuruh saja dia berbuka ketika adzan dhuhur berkumandang.
--------
"Aku mau puasa terus Gus. Kamu gimana sih?" katanya sembari memandangku minta penjelasan.
--------
Segera saya jelaskan padanya, jika ada sebagian yang baru belajar puasa dimulai dengan puasa dhuhur dulu. Ternyata penjelasanku ini membuatnya mengerti. Lebih tepatnya bersemangat. Segera saja dia minum, lalu makan. Setelah shalat dhuhur, kulihat wajahnya mulai berseri kembali.
-------
"Gus, ternyata Tuhan tak meyulitkan umatnya ya"
-------
Saya kaget mendengar celetukan Miskin. Nada bicaranya sangat datar, sangat biasa. Kembali saya menelan ludah.
"Justru yang mempersulit itu ya kita kita ini. Coba saja, perintah shalat. Kalau tak kuat berdiri, sambil duduk. Tak juga kuat, sambil tidur."
"Tapi gus, apakah saya dosa jika baru kali ini puasa. Sementara di tahun tahun lalu, tak pernah puasa."
--------
Saya berpikir sejenak. Ternyata saya tak bisa merumuskan jawaban baginya.
"Lain kali tanya sama ustaz Sanusi saja mas. Saya juga tak begitu paham detail masalah serumit macam itu. Saran saya, puasamu kali ini tolong dijaga. Kalaupun awalnya puasa karena mimpimu, mari meluruskan niat. Puasa lillahi ta'ala.." saya terkejut dengan ucapanku sendiri. Kesannya menggurui. Padahal terkadang puasaku juga tercampur hal hal di luar keilahian. Saat itu juga aku celingukan. Miskin telah lenyap dari hadapanku.
"Gus, antum masih di sini?"
Suara syahdu ustad Sanusi membuatku terkejut. Buru buru saya menyalaminya.
"Ustad. Afwan, ana baru saja ngobrol dengan Miskin soal..?"
" Lho, antum yang benar saja. Saat saya menuju masjid hendak shalat, saya dikejutkan oleh sebuah kejadian. Miskin ditemukan beberapa warga mengapung di sungai. Ia meninggal. Kini jenazahnya di puskesmas, masih diperiksa polisi. Tadi saya ikut evakuasi."
--------
Kata kata yang meluncur dari bibir ustas Sanusi, serupa meriam. Membombardir seluruh isi tubuhku. Tulang tulangku berdenyut. Saya merasa linglung. Semua serba gelap.

"innalilahi" ujarku lirih. Air mataku tiba tiba berjatuhan begitu saja.
--------
Belum sempat berkata lagi, ustad Sanusi sudah berjalan menuju masjid. Sekuat tenaga saya menguatkan tubuh, lalu berjalan sempoyongan menuju ke arah ustad Sanusi berjalan.
--------
(Prambon, 28 Jun 2015 23:25:01)

Yatim

Yatim selama Ramadhan, tepatnya hingga dua minggu ini, sudah mendapatkan undangan buka bersama sebanyak sepuluh kali. Sesuai dengan namanya, Yatim, memang benar-benar yatim dalam artian yang sesungguhnya. Ayahnya meninggal semenjak Ia masih dikandung Ibunya. Konon, Ibunya yang tak kuasa merawatnya menitipkan di panti asuhan. Hingga kini, Ibunya kerap berkunjung ke panti. Sebuah perjanjian dengan panti, membuatnya harus menunggu usia 30 tahun untuk mengambil buah hatinya. Sedangkan Yatim kini baru berusia empat tahun.

Panti asuhan yang menaunginya bernama panti asuhan Sederhana. Sesuai namanya yang sederhana, Yatim hidup bersama rekannya dengan amat sederhana. Bahkan cenderung mendekati kekurangan. Sebenarnya pantinya memiliki banyak donatur. Panti Sederhana bahkan sudah buka cabang di empat kota besar. Yatim tinggal dengan enam belas anak yatim piatu. Kisahnya macam-macam. Pada intinya mereka membutuhkan bantuan. Sedangkan pengurus pantinya berjumlah sepuluh orang. Jadi, bantuan yang ditujukan kepada anak panti, sepersekian diolah juga untuk menggaji sepuluh pengurus. karena mereka mengurus panti bukan karena mereka peduli, tetapi lebih tepatnya mereka bekerja. Dan hal yang demikian bukanlah sebuah kejahatan.

Sore itu, di undangan yang kesebelas, panti asuhan Sederhana akan menghadiri sebuah undangan buka bersama dengan seorang pejabat di kotanya. Karena kuota peserta buka seratus orang, maka pengelola panti mencari tambah sisa peserta. Mengingat panti Sederahana hanya memiliki 16 penghuni. Namun dalih pengurus, penghuni panti dibedakan menjadi dua. Yakni aktif dan pasif. Penghuni aktif berarti mereka memang hidup full di panti. Sementa pasif, tetap tinggal di rumah orang tuanya. Penghuni pasif biasanya mendapat bantuan rutin bulanan. Semisal biaya sekolah dan lainnya yang memang diperlukan. Jadi menurut data yang ada di meja tata usaha, di kota S penghuni panti mencapai 200 orang.

Dengan iring-iringan mobil yang menjemput mereka, peserta buka persama menuju rumah pejabat itu. Yatim dan kawan-kawannya memakai baju stelan putih-putih. Dibagian belakang baju, tertera nama panti asuhan lengkap beserta alamat dan rekening donasi. Di bagian depan, sebuah logo dan sebuah motto: saling berbagi-sangat berarti. Karena letak panti Sederhana agak menjorok ke pinggiran kota, maka perjalanan menuju pusat kota bisa dibilang cukup lama. Ditambah lagi cita rasa jalanan kota, macet.

Pejabat itu telah menyiapkan jamuan dengan istimewa. Tempat dan jamuan, serta ustad yang memandu acara telah dipilih yang terbaik. Beberapa media lokal telah berada di rumahnya sehari sebelumnya. Tuan rumah telah menyiapkan reservasi buat mereka. Sembari menunggu kedatangan anak panti, pejabat tersebut melakukan prosesi wawancara. Sesi dibuka oleh asisten pribadi si pejabat. Wartawan-wartawan yang telah menginap inipun antusias menanyai si pejabat.

"Bapak, saya salut dengan aktivitas sosial ini. Selain jamuan dan persiapan yang serba istimewa, nampaknya Bapak juga memiliki alasan tersendiri dengan menggelar acara ini?"

"Silakan satu lagi penanya. Baik, yang pake peci biru."

"Terima kasih moderator. Bapak, apakah acara seperti ini rutinitas tahunan atau pada waktu tertentu saja? Semisal ada pilkada atau sejenisnya?"

Ruangan yang sebelumnya riuh, menjadi hening seketika. Wartawan berpeci biru menjadi sasaran perhatian.

"Maaf, dari media mana mas"? ujar asisten si pejabat.

"Mohon maaf, saya dari Delik Deluk Press. Maaf sedikit terlambat dari undangan. Saya baru saja datang."

Si pejabat mukanya menjadi masam. Asisten langsung bersikap cepat.

"Baiklah, sesi pertanyaan ditambah menjadi lima penanya"

Pertanyaan basa-basi seperti yang telah direncanakan segera diutarakan. Muka si pejabat agak lebih ceria. Saat menjawabpun, pertanyaan nomer dua diletakkan di bagian akhir. Sampai akhirnya sesi wawancara tiba-tiba dipotong oleh beberapa security.

"Maaf, Tuan. Di luar ada polisi. Hendak menemui Tuan."

Si pejabat dengan nafas mendengus keras, segera bangkit dan menuju ke pintu utama. Kemarahan sekaligus kejengkelannya menyatu.

"Mohon maaf Pak. Apakah Bapak akan mengadakan buka bersama dengan 100 anak yatim piatu dari Panti Sederhana?"

Pejabat yang dipenuhi dengan kejengkelan itu hanya mengangguk.

"Kalau begitu, Bapak harus ikut kami sekarang juga."

"Hei, apa-apaan ini. Sudah menganggu ketenanganku, sekarang kamu menyuruh-nyuruh saya. Belum tahu kalau aku bisa merekomendasikan kalian agar kamu kamu dimutasi. Saya ini kenal dengan pimpinan kalian."

"Mohon maaf Bapak. Rombongan dari panti Sederhana, jam 15.00 sebagian terlibat kecelakaan. Dari empat mobil, hanya satu mobil yang lolos dari kecelakaan maut. Semua korban berhasil dievakuasi, namun sebagian nyawanya tak bisa tertolong"

Wartawan yang dari tadi rupanya mengikuti si pejabat, langsung menyerang polisi dengan berbagai pertanyaan. Dari dalam rumah, Pak Ustad berlari tergopoh-gopoh menuju ke tempat keributan. Suara musik religi segera berkumandang. lamat-lamat dan semakin keras.

(Prambon, 22 Juni 2015)

Selasa, 16 Juni 2015

Nyanyi dan Nyinya Menjelang Ramadhan

bendera sudah ditancapkan pada bilur-bilur dosa
----yang lain keukeuh menyebut taubatan nasuha
melambai-lambai dihujani semilir senja
yang bergerak menuju arah matahari tenggelam
----sementara malam sibuk merias alisnya yang kini dipertebal beberapa centi

senja ramadhan, ada di wajah-wajah yang ramai
dibicarakan di multi forum
----bahkan televisi telah menyiapkan  beragam agenda berbaju syariah

senja ramadhan adalah harga
:yang mana tausiyah pak ustaz menjadi berlipat rupiah
:yang mana sembako merangkak pelan-pelan memenuhi garis inflasi
:yang mana penebusan dosa dari 11 masa yang telah seenaknya berlalu
:yang mana sifat rakus hanya dihalalkan saat Maghrib tiba

ini adalah nyanyi
sekaligus nyinya
namun segeralah bergembira
bila dan jika usiamu kembali bertemu
juga tak ada garansi
nyanyi dan nyinya ini
di edisi mendatang

bernyanyilah!
bernyinyalah!

Ramadhan mubarak...

(Prambon, 16 Juni 2015)

Bulik Romlah

Sebelum aku meninggalkan kampung kelahiranku, barang sejenak kuhirup udara siang itu. Udara yang sejuk. Aku pasti mengingatnya. Kehidupan selalu menampilkan cara-cara yang susah ditebak. harusnya aku masih di sini. Bersama bapak dan ibu. Bersekolah. Membantu Ibu jualan. Membantu bapak di ladang. Namun, roda zaman berputar dengan cepatnya. Putarannya kini melindas keluargaku. Setelah Bapak, kini Ibuku yang berjumpa dengan Allah. Dari piatu menjadi yatim piatu. Sebatang kara. Usiaku beberapa hari lagi menginjak 14 tahun. Kini, setelah kesedihan dan kenangan mampu kuredam, saatnya aku akan mencari pengalaman baru. Ke Surabaya. Bekerja bareng bulik Romlah. Entah bekerja apa, yang penting hidupku yang masih segini ini tak boleh sia-sia.

Kami berangkat. Naik ojek dari desa. Bukan tukang ojek asli, tapi tetangga yang diminta antar ke terminal. Tentu saja tidak gratis. Lagian siapa mau kalau gratis. Zaman seperti ini, sekekeluargaan model manapun, rupiah tetaplah diperhitungkan. Aku bersama Lek Satino. Bulik Romlah dengan Cak Sadi. kami berjalan beriringan. melintasi jurang cukup curam. Melewati balai desa. Melewati sekolah SDku. Sampai kemudian kami telah melewati perbatasan desa. Tak kurasa, air mataku rontok. Bepergian jauh, memang tak pernah teradi padaku. Sampai 14 tahun usiaku, paling jauh ya ke pasar Lumajang. Itupun bersama Ibu. maka peristiwa hari itu menjadi yang melodramatis. Ketika sampai di terminal, aku sibuk meneringkan air mata.

"kamu menangis Parti?" suara bulik memcacah telingaku, Keibuan. Aku hanya diam saja. Menenteng tas menuju ruang tunggu. Sebenarnya bukan ruang tunggu yang sempurna. kami tak masuk ke terminal. Terminal Minak Koncar merupakan terminal kecil. Penumpang kebanyakan menunggu di pintu ke luar. bahkan bus yang datang dari arah Jember, jarang juga yang masuk terminal. Ini berbeda dengan bus dari arah Surabaya yang selalu atau sebagian besar masuk terminal. Di bus aku lebih banyak diam. Tidur. maklum, pengalaman pertama. Mualnya minta ampun. Pusing. beberapa kali mulutku mengeluarkan cairan. Aku mabuk darat. Bulik menggosok perut dan leherku dengan minyak angin. Biar hangat katanya. Sepanjang perjalanan aku hanya tidur. Mual.
--------------------------------------
Saat mata ku buka, warna hitam legam berpendar. Sekujur tubuhnya terasa ngilu. Kepalaku, tanganku, kakiku, badan. Beberapa saat pandangan hitam menjadi ambyar. Perlahan warna itu memudar.
"Dok, dia sadar" suara perempuan. Tiba-tiba bayangan bulik Romlah menguat. Saat mataku sudah benar-benar berfungsi, kudapati diriku berada di sebuah ruang yang mirip rumah sakit. Tidak salah, ini memang rumah sakit. Ruangan ini dipenuhi oleh banyak orang. Kulihat ada yang sesenggukan. Menangis. Berteriak. Aku baru sadar, aku tak mengenakan baju lurik peninggalan Ibu lagi. Baju baru, mirip baju Lek Sudar saat akan operasi dulu. Pikiranku merancau. bayanga Bulik melintas. Sangat dekat.
"Adik, badannya masih sakit?" lelaki berbahu putih menanyaiku sembari tersenyum.
"Ini berapa?" sambil mengacungkan dua jari.
"tiga" kataku lemah.
"Adik istirahat dulu ya. nanti akan saya cek lagi." tanpa menunggu perimbanganku, lelaki senyum indah itu beranjak meninggalkanku. Menjumpai beberapa orang yang terbaring di sebelahku.
"Bus yang mbak tumpangi kecelakaan. Menabrak sebuah truk besar." seorang perempuan memberitahuku. Informasi ini telak menghujam ke tubuhku yang sudah keok.

Kejadian itu, masih terus membekas di ingatan. Bulik Romlah menjadi korban meninggal, bersama hampir separuh penumpang lainnya. Saat kesehatanku mulai pulih, tak kudapati Bulik. Menurut salah satu perawat, korban meninggal sudah dikirim ke alamat sesuai KTP. Saat itu, aku lebih memilih meninggalkan rumah sakit tempatku di rawat diam-diam. Tak terbersit keinginan untuk kembali. Kemana kaki melangkah, ke situlah tubuhku mengikuti. Anak perempuan desa, yang tak punya pengalaman sama sekali, berkeliaran di kota sendirian. Di sebuah jembatan, masih ingat dalam kepala, tubuhku dikeroyok oleh dua lelaki muda. Digerayangi seluruh tubuhku. Baju dan celanaku dilucuti. Aku hanya bisa menangis. Dua lelaki itu semakin beringas saja. Sampai kemudian, sebuah teriakan dan suara berdebum membuat dua lelaki yang menindihku terlempar. Pahlawan yang menolongku, membawaku. menjauhi tempat itu. Merawat luka-lukaku. Sehingga suatu saat, dia juga meniduriku. Berkali-kali.Berulang-ulang.

(21/2/2014/ruang kerja)

Tak Ada Suara

Aku memasuki pelataran rutan. Mengikuti aturan kunjungan. Menyerahkan KTP. Lalu menunggu antrean. Ketika giliran, kami masuk pintu terali itu. Diperiksa seluruh tubuh. Untuk wanita, pemeriksaan oleh sipir wanita. Disediakan kelambu. Lalu diraba-rabalah tubuhku.
"Dompetnya silakan dikeluarkan" Aku nurut saja. Setelah digeledah, aku melangkah menuju pintu berikutnya. Giliran tanganku kena stempel. Lalu melenggang menuju kerumunan penghuni lapas dan tamunya.
"Sarno.." suara itu berasal dari arah kiri. Kulihat tangannya melambai-lambai. Aku terhenyak. Wajahnya tidak berubah. Oh tidak, jenggot dan kumisnya tampak lebih lebat. Rambut gondrongnya berubah polos, botak.

Aku duduk di tengah kerumunan orang. Duduk di hamparan karpet. Para napi kompak memakai kaos biru. Sehingga akan nampak beda antara pembesuk dan mereka. Waktu yang diberikan untuk bercakap tidaklah lama, sekitar 30 menit. Karena di luar sudah berjejal pembesuk gelombang berikutnya.
"Aku ada kabar buatmu."
"Ah, tidak usah kamu berkabarlah. Aku sudah tahu semuanya." Bagiyo menghembuskan napas panjang. Di matanya, terpancar keputus asaan akut.
"Ini tentang istrimu. Mirnah. Dia.." lidahku kelu.
"Sudahlah Sarno. Biar aku di kerangkeng jeruji besi, tapi informasi secuil apapun dari Mirna ku ketahui"
"Mungkin. Tapi, ini bukan yang santer beredar lho ya. Mirna tidak hanya melacur, tetapi kini ia menjalin hubungan dengan mertuanya. Bapak.." Kulihat mata Bagiyo nyalang. Tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mengepal. Ia menatapku tajam.
"Biadab." desisnya. Nadanya ditekan sedemikian rupa.
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Perintahkan Sutali untuk memberi pelajaran pada dua manusia bejat itu." kali ini nadanya tak bisa di kontrol. Rupanya ini membuat seorang sipir mendekat. Persis, jam kunjung telah habis.
------------------------------
Meski Subagyo dibui hampir dua tahun, tetapi ketua komplotan kakap perampok ini masih bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Termasuk mengondisikan anak buahnya untuk terus bekerja. Dia ditangkap saat menjarah rumah kapolsek Mojokitir. Saat itu empat orang berhasil diringkus. Bagiyo mendapat dua tembakan di kedua kakinya. Lalu keluarlah vonis, delapan tahun kurungan. Saat ini memasuki tahun kedua. Sementara keluarganya kini cerai berai. Istrinya melacur. Bahkan, mertuanya sendiri diembat. Entahlah, siapa yang lebih dulu memulai. Berita itu tiba tiba menyebar begitu saja. Pergunjingan semakin deras saja.
"Sarno.." aku menoleh ke belakang. Sutali dan beberapa kawannya berjalan ke arahku. kebetulan yang sangat ditunggu.

Aku ceritakan semua kepada Sutali. Lelaki kerempeng itu manggut-manggut.
"Apa rencanamu?" tanyaku padanya. Dia menatapku dengan dingin.
"Rencanaku adalah rencanaku. Kamu tak berhak tahu" jawabnya ketus. Ada rasa khawatir menyelinap di dalam hati. Apakah ini berarti Mirna akan dibunuh, atau mertuanya. Mungkin keduanya. Ah, atau atau lainnya. Saat hendak membuka suara, tak terlihat lagi Sutali. Aku celingukan. begundal-begundal itu seperti ditelan bumi. Kuputuskan untuk ke rumah Mirna. Siapa tahu, Sutali menuju ke sana. Aku merutuki kebodohanku yang ceroboh.

Rumah Mirna, atau bisa juga disebut rumah Bagiyo sepi-sepi saja. Tak ada kegaduhan. Kucoba untuk mengitari rumah bambu itu. Di bagian belakang, aku mengendap di antara phon-pohon sengon yang cukup rimbun. Sebagai ketua geng bajingan, rasanya tak elok jika rumah bagiyo masih seperti ini. Dia bahkan bisa membangun istana di desa ini. Tapi itu tak dilakukannya. Uang hasil anunya, lebih banyak dihamburkan untuk hal-hal yang sama sekali tak memberi imbalan untuk masa depan. Hah, tapi mungkin inilah konskuensi uang haram. Selalu ada cara untuk cepat habis dan sama sekali tak berguna. Kadang-kadang, aku tak habis pikir dengan sikap keluargaku. Subagyo, kakakku, menjadi bajingan tengik. Meneruskan kuasa bapak yang pensiun. Sementara aku, terombang-ambing tidak jelas, Tak pernah punya kuasa sedikitpun. Bajingan tidak, malaikat juga bukan. Abu-abu. Segera kubuang pikiran-pikiran itu saat merapat ke bagian belakang rumah Mirna. Sama saja, tak ada suara. Senyap. Saat hendak pergi, kucuri pandang dari lubang didinding bambu belakang. Sutali telanjang, bersama rekannya. Juga ada bapak, Mirna. Semua telanjang. Tak ada suara.

(Prambon, 18 Februari 2015)

Neraka

Masih pagi. Rudianto sudah dua kali tangannya menghajar pipi istrinya. Rukmini, anak semata wayangnya, menjerit jerit. Ibunya hanya mampu bersimpuh dilantai. Memegangi kedua pipinya. Air matanya membanjir.
"Aku ini suamimu Ni. Kalau ndak boleh, ya nurut saja. Apa susahnya. Cukup aku yang bekerja. Kamu di rumah saja. Rawat Rukmini baik baik."

Seperti biasanya, hari itu Rudianto bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik. Gajinya yang segitu melulu, membuat Marni ngotot ingin bekerja. Apalagi anak mereka kini sudah mulai bersekolah SD. Maka gaji yang segitu tadi harus dibagi bagi sedemikian rupa. Akhirnya, hutang menjadi pilihan yang harus diambil. Lalu masalah timbul, ketika hutang sudah numpuk. Ketika penagih penagih itu melabrak mereka dengan kata kata pedas. Rudianto sama sekali tak tuli. Ia tahu pasti ekonomi keluarganya. Tetapi sampai sejauh ini, apa yang diusahakannya tak satupun membuahkan hasil.

Menampar istri, barangkali perbuatan biadab. Rudianto memahami itu. Selama ini, tak pernah ia menggampar istrinya. Maka, siang itu pikirannya dibalut kegelisahan. Ingin sekali pulang dan menjelaskan banyak hal pada Marni. Meski kemudian ia tahu, istrinya akan tetap kukuh dengan kebenaran yang dipegangnya sendiri. Diam diam, ia mulai menyalahkan diri sendiri. Harusnya, sebagai kepala keluarga ia dapat membuat istrinya bahagia.
----------------------
"Kamu serius?"
aku tergagap.
"Sudahlah, jangan bimbang. Imbalannya lebih besar dari pada gajimu saat ini. Kamu harus rapi, cermat, dan jenius" Sahabatku ini telah menawariku sejak beberapa bulan lalu. Namun dengan dalih macam macam aku halus menolaknya. Saat ini aku butuh duit untuk keluargaku. Tak ingin lihat Marni bekerja. Biar cukup saja aku yang bekerja.

Aku keluar dari rumah itu dengan perasaan berbeda. Resmi sudah aku jadi kriminal. Mulai hari ini dan entah sampai kapan. Sebagai pengedar obat obatan terlarang, petualanganku akan segera dimulai. Wajah Marni membayang di kepala. Sesaat kemudian Rukminiku tersenyum ringkih di pelupuk mata. Dalam hati banyak kugelar untuk kemakmuran keluargaku. Setidaknya aku bersiap masuk neraka.

(Krian, 12 Februari 2015)

Senin, 15 Juni 2015

Sempurna

“Aku sudah menyumpal mulutnya. Membuatnya bisu selamanya”
“Apa maksudmu Goni?”
Laki-laki yang dipanggil Goni tertawa keras. Tubuhnya berguncang-guncang hebat. Dari mulutnya, air liurnya mirip air terjun. Terjun bebas menuju bumi. Setelah tawanya reda ia kembali menggulirkan perbincangan.
“Ketauilah Bud. Aku telah membunuh Margan. Tepat ketika suaramu melantun di mushola tadi sore.” Budiman terlonjak dari tempat duduknya.
“Aku telah menyumpal mulutnya selamanya”
“Apa maksudmu Gon? Aku tak paham?” Budiman bergetar suaranya.
“Ku pikir orang seperti kamu sudah jauh mengerti dengan apa yang barusan kuucapkan. Kamu senang bukan?” Goni tertawa lagi. Suaranya memecah kehingan malam itu.
“Gila, bagaimana kamu bisa..”
“Itu terlalu gampil buatku. Reputasiku dalam hal beginian tak perlu kau ragukan.”
“Lalu..?”
“Budimanan budiman. Seharusnya kamu paham. Aku mengerjakan semuanya untuk memuluskan rencanamu.”
“Tapi aku tak menyuruh” suara yang keluar dari mulut Budiman masih bergetar.
“Pada orang lain kamu bisa berbohong kawan. Tapi jangan harap bisa melakukan itu padaku.” Suara Gogon kini lebih pelan. Ada penekanan disetiap kata yang diucapkannya.

Budiman diam. Ia memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika mayat Margan ditemukan, pastilah gempar kampungnya. Sebagai satu-satunya pesaing kuat di pilihan kepala desa tahun ini, pastilah kecurigaan padanya akan muncul dengan sendirinya.
“Kamu sembrono Gon. Bagaimana kalau mereka menuduhku terlibat dalam pembunuhan. Risikonya besar.” Kali ini terselip kemarahan yang ditekan sedemikian rupa.

Goni memandang lurus ke depan. Sama sekali tak berubah wajahnya. Ia tetap tenang seperti mulanya. Kedua lelaki itu sama-sama diam.
“Sudahlah, semua sudah terjadi. Kamu atur yang baik” suara lunak Budiman mengakhiri pertemuan malam itu.
***
Hari itu kampung Budiman geger. Calon kepala desa, Margan, ditemukan tak berdaya di pinggir hutan oleh seorang pemburu. Bukan sekadar tak berdaya, tapi juga sudah tak bernyawa. Polsek setempat langsung menangani evakuasi jenazah. Sementara isu penyebab kematian masih simpang siur. Pihak keluarga nampaknya menginginkan almarhum untuk segera dikebumikan. Urusan ini itu tampaknya dikesampingkan. Untuk sementara semua warga fokus pada prosesi penguburan jenazah. Termasuk juga Budiman nampak di kerumunan warga.

Ternyata yang menghadiri pemakaman luar biasa banyaknya. Mungkin karena almarhum dikenal sebagai pribadi yang baik, atau di sisi lain rasa keingintahuan warga yang membuat pelayat meledak jumlahnya. Setelah pemakaman, kelurga minta bantuan polisi untuk menyelidiki kematian Margan. Istrinya, terus-terusan menangis. Kakak Margan menjadi juru bicara kali itu.

“Kami pikir Pak, ini harus diusut sampai tuntas. Supaya tak ada prasangka yang macam-macam.” Sementara polisi melakukan invetigasi, isu penyebab meninggalnya calon lurah menggelinding di akar rumput. Setiap orang membicarakannya, tak peduli waktu. Dugaan-dugaan bermunculan. Tapi seperti yang ditakutkan Budiman, muncul juga. Ada sebagian kelompok warga yang mengatasnamakan pendukung garis keras menudingnya pelaku di balik kekejian itu. Mereka beralasan, kerap kali sejauh ini keduanya sering bertikai. Apalagi sebentar lagi keduanya akan bertarung di ajang pilkades.

Perang dingin opini sudah digulirkan. Loyalis Budiman tentu tak menerima apa yang lawannya tuduhkan pada jagoannya. Mula-mula lewat saling serang pendapat. Tak jarang berdebat. Hingga kemudian kontak fisik. Tepatnya tiga hari pasca meninggalnya Margan. Baku hantam tersebut terjadi malam hari di sebuah tanah lapang yang jauh dari rumah penduduk. Keduanya benar-benar menyiapkan segala sesuatunya. Batu, panah, pentungan, mercon. Suara lengkingan jerit semangat dan kesakitan membakar malam itu. Tak pelak, kegaduhan tersebut memancing penduduk untuk merapat ke lokasi. Pada puncaknya, anggota polsek memberikan tembakan peringatan.

Kondisi malam hari yang gulita menyulitkan pihak kepolisian untuk mengamankan pihak bertikai. Karena begitu suara tembakan berbunyi, kedua loyalis langsung mengambil langkah seribu. Begitulah terjadi beberapa kali di hari selanjutnya. Sehingga pemuka desa segera mengambil sikap atas kerusuhan yang terjadi. Sambil menunggu penyelidikan polisi selesai.

“Pertemuan kali ini amatlah penting untuk dilaksanakan. Keadaan sudah darurat.” Budiman mengawali pidatonya di balai kelurahan. Sore itu, para pemuka desa hadir.
“Sepenuhnya kami serahkan untuk eyang Subur untuk mulai.” Budiman mengambil duduk di depan bersama pinisepuh.
“Saudaraku” Suara eyang Subur sedemikian berat. Ada keprihatinan yang tampaknya menggerogoti tubuh rentanya.
“Ini baru pertama, terjadi pembunuhan di kampung yang kita cintai ini. Tidak tanggung, korban kali ini merupakan calon lurah. Sehingga sampai sejauh ini, di beberapa tempat kerap terjadi kerusuhan. Terjadi anarkis. Sebagai orang yang sudah bau tanah seperti saya, prihatin sekali lihat kejadian semacam ini.” Terdiam sejenak. Eyang Subur menghirup napas panjang,lalu mengeluarkan perlahan. Lelaki renta ini amat dihormati. Hanya ia yang masih hidup, dari beberapa orang yang turut babat alas kampung Dongus.

“Ini negara hukum. Sudah sewajar dan seharusnya kita taat hukum. Biarkan polisi yang menyelidiki. Bukan malah main pukul dan hajar. Kalau apa yang beberapa hari ini kita biarkan, bukan tidak mungkin akan pecah perang saudara.” Berhenti sejenak memandangi warga yang turut serta dalam rapat darurat tersebut.”

“Eyang jangan banyak berkhotbah. Apa solusinya?” suara keras muncul dari arah paling belakang. Semua mata melahap pemuda itu.
“Masalah tak akan kelar kalau Cuma khotbah saja. Mari kita bergerak” tangannya mengepal. Semua yang hadir langsung ribut. Eyang Subur yang bergetar menahan amarah, hanya bisa mengatupkan mulutnya. Sorot matanya yang dulu garang, kini tak lagi kelihatan magisnya.
“Saudaraku, tolong hormati Eyang.” Budiman berdiri. Suaranya keras. Menggelegar. Sontan, yang hadir diam.
“Saya tahu ini negara demokrasi. Semua bebas berpendapat. Bebas nggacor. Tapi ingat, jaga tata krama. Eyang ini panutan kita”
“Hai pembunuh. Diam kamu. Seharusnya kamu yang dibakar hidup-hidup.” Pemuda itu makin beringas. Mata nyalangnya melahap habis Budiman.
Beberapa warga yang dekat dengan Budiman, langsung siaga. Dengan cekatan berdiri dan memberi bertubi-tubi tinju ke wajah pemuda itu. Pemuda itu melawan. Yang lain sepertinya tak mau kalah. Pertemuan untuk mencari mufakat itu berubah menjadi arena adu jotos.

Budiman memapah Eyang Subur meninggalkan balai desa. Sementara baku hantam masih berlanjut. Hingar bingar itu membuat warga yang mendekam di rumah masing-masing menjadi penasaran. Tak berselang lama, balai desa itu sudah dipenuhi warga. Melihat sanak keluarganya bonyok, menyulut anggota keluarganya turun tangan. Demikianlah, perkelahian bukan semakin reda, tetapi selebihnya semakin menjadi.

Sementara itu, Budiman membawa Eyang Subur menjauh dari arena adu jotos. Baginya, tak ada yang lebih penting daripada nyawa tetua kampung tersebut. Karena dengan menyelamatkan Eyang Subur, dirinya akan menjadi pahlawan. Jalan kemenangan untuk menjadi kepala desa kian terbuka.
“Eyang harus bertahan” tubuh renta itu semakin dingin saja. Budiman memanggulnya dengan bersemangat sekali. Ia sama sekali tidak tahu, di depan sana Goni telah menyiapkan rencana yang amat sempurna.

(Markas Pribadi-Prambon, 3/5/15)

Menangis

Kepalaku baru saja meledak. Meja ruang tamu, kubanting. Kursi, televisi, setrika, juga turut serta. Sudah sejak lama ini, kusimpan masalah demi masalah dengan hati-hati. Sejujurnya, aku benci pertikaian. Namun, dinding kesabaranku sepertinya jebol. Aku kalap. Dan, saat seperti ini, terengah engah sendirian di ruang tamu, rasa menyesal menyelip ke permukaan. Kubayangkan selanjutnya, bagaimana perbincangan tetangga setelah kejadian ini. Mereka pasti menggunjingiku.

Tapi benarkah aku harus marah? Ranti, perempuan yang kunikahi hampir lima tahun ini menjadi pemicunya. Beberapa bulan terakhir santer terdengar jika dia tengah menjalin hubungan gelap dengan teman satu pekerjaan. Kanan kiri telah mampir ke telinga. Sebagai suami yang memberikan lampu hijau untuk istrinya bekerja, hal demikian haruslah disikapi secara bijak. Aku mencoba bijak. Ketika kutanya Ranti, dia malah meyakinkanku kalau cintanya hanya padaku.

“Aku tak pernah mendua Mas. Sumpah. Buat apa coba. Aku bahagia bersamamu.” Kata-kata itu diucapkannya dengan penuh tekanan. Airmatanya keluar. Mengalir di pipinya. Saat demikian, aku lebih percaya padanya daripada siapapun. Maka semenjak itu, aku tak pernah mengungkitnya. Bagiku, saling percaya merupakan kunci dalam menjalani ikatan pernikahan. Aku percaya dan akan selalu percaya kepadanya. Semasa pacaran, bahkan sampai setelah menikahpun.

Ranti bekerja juga untuk membantu ekonomi keluarga. Pekerjaanku sebagai penulis, tak selalu menjanjikan uang banyak. Bisa dibilang, semenjak Ranti bekerja di pabrik, ekonomi keluargaku kembali stabil. Dengan kondisi kebutuhan yang harganya kian melambung, dituntut bisa tidak bisa untuk menambah penghasilan. Salah satu alternatif, memberikan lampu hijau untuk Ibu dari anakku untuk bekerja. Ketika sudah memutuskan demikian, pada awalnya risiko terburuk akan ku terima.
Namun sepertinya, kita terlalu mudah untuk berencana. Memetakan keinginan kita dengan mudah. Seakan-akan hidup ini kita sendiri yang mengendalikan. Aku masih mengingat apa yang aku lihat sendiri tadi malam. Saat hendak mencari referensi kondisi malam di desa sebelah untuk bahan pendalaman cerpen yang hendak kukerjakan, dinding kesabaranku benar-benar diuji. Kulihat Ranti berboncengan dengan seorang pria. Darahku langsung mendidih. Namun masih kupakai akal sehat. Aku mengikutinya dengan diam-diam kemana mereka. Menurut jadwal kerja, malam itu Ranti kerja shift malam.

Ranti dan lelaki itu belok ke sebuah rumah. Aku tak tahu rumah siapa, barangkali rumah lelaki brengsek itu. Kuletakkan motorku di dekat pohon mangga yang menancap rimbun di halaman sebuah rumah. Lalu mengendap menuju rumah yang dituju Ranti. Tak cukup kesulitan, karena suasana yang gelap dan sepi membuatku leluasa mendekati rumah tersebut. Dari balik jendela, aku memastikan bahwa perempuan itu benar-benar Ranti. Ternyata benar. Cukup benar. Dia Ranti istriku. Ranti ibu dari Ali, anak semata wayangku. Situasi seperti itu hampir saja membuatku gelap mata. Namun kucoba sekuat tenaga untuk mengontrol semuanya. Dengan perasaan campur aduk, seluruh badanku yang gemetar, meninggalkan tempat itu.

***

Pagi itu, Ranti menjerit ketika melihat ruang tamu berantakan. Ternyata tak hanya ruang tamu, seluruh isi rumah seperti kapal pecah. Silang sengkarut, sebagian hancur. Ia mencari kemana anak dan suaminya. Tapi tak didapati keduanya. Padahal biasanya, keduanya sedang tidur ketika dirinya pulang saat shift malam. Perempuan itu menduga-duga. Barangkali kerampokan atau sejenisnya. Maka, dengan tangis yang masih melandanya, ia menuju ke rumah tetangga. Meminta keterangan.

“Saya tak tahu pasti mbak. Tapi saya sempat medengar suara ribut dalam rumahmu. Saya dan beberapa tetangga sempat menghentikan Mas Jadid yang membanting-mbanting semua yang ia pegang. Tapi itu tak mampu menghentikan semuanya. Tetangga hanya melihat sampai tuntas. Setelah itu, Mas Jadid dan Ali pergi dengan tas besar. Bahkan, kami semua yang dari tadi melihat aksinya, disalami satu persatu. Yang saya tahu, dia meminta maaf semua kesalahannya yang telah dibuat.”

Ranti bukan main terkejut. Ia berusaha menduga-duga. Perempuan itu dengan linglung kembali menuju rumahnya. Ia sepenuhnya tahu tabiat suaminya. Tak mungkin akan bertindak kalap seperti ini jika tak ada sesuatu yang serius menimpanya. Meskipun selama ini ia tidak sepenuhnya mencintai, membayangkan kejadian buruk yang akan menimpanya ia belum dan mungkin tidak siap. Lelaki pilihan keluarganya itu merupakan pribadi yang selalu percaya dan mengerti kemauannya. Bahkan ketika desus perselingkuhannya menguat, suaminya lebih percaya padanya.

Kini Ranti merasa sendiri. Ia rebahkan tubuhnya ditengah keriuhan perabotnya yang sengkarut. Ia meratapi kekalahannya menutupi perselingkuhannya. Ali, anak semata wayangnya mengendap endap di pelupuk matanya. Nampak cemberut sambil memeluk lelaki yang sampai sejauh ini tidak sepenuhnya dicintai. Ia tahu, tak ada gunanya menangis. Tetapi ia merasa perlu menangis. Ranti menangis.

(Markas Pribadi-Prambon, 29/4/15)

Jumat, 12 Juni 2015

Bukumu Juga Anumu

Lama sekali saya abai terhadap buku sendiri. Semenjak menikah, terhitung beberapa kali mengumpulkan buku terserak. Menatanya dengan asal. Bahkan, buku-buku tersebut kesannya terlantar. Kondisi yang berdebu, ternyata membuat hatiku tersentuh. Sakitnya di sini, kata anak alay.

Hari ini, (Jumat, 12/6/15), adegan bersih-bersih sepertinya tidak bisa ditunda. Kalau mereka yang hobi batu akik saja tiap hari menggosok barang kesayangannya itu, kenapa saya tidak bisa. Penggila burung bisa berlama-lama tiap pagi berkasih-kasih dengan burungnya. Ah, sesungguhnya faktor sibuk tak bisa dijadikan alasan. Toh, sesibuk apapun kalau diagendakan ya tentu saja bisa. Saya menyadari, hobi pencet-pencet smartphone menjadi kendala utama.

Entah itu siang, malam, pagi, pencet-pencet terasa lebih esoy. Tidak bosan. Lha kok bisa? Maka, kembali ke isu utama, bersih-bersih buku tidak bisa ditunda. Buku-buku saya merupakan harta yang berharga yang kukumpulkan selama masa kuliah. Kendati uang pas-pasan, toh saya bisa melebihi impian dengan punya koleksi 100 buku. Meski mimpi sebenarnya, melebihi koleksi dosen saya. Apa ya bisa? Hmm, setelah rumah tangga, rutinitasku mengunjungi rumah kedua (toko buku) berkurang drastis. Kalau sudah begitu, jangan tanya beli buku. Sudah pasti amat sangat jarang.

Buku-buku kukumpulkan dalam satu area. Sebeumnya terpisah-pisah. Sebenarnya ini inspirasi dari koleksi buku Mas Pana. Saya melihatnya saat "print out" thesis beliau di rumahnya. Koleksi banyak, bervariasi, dan rapi. Itulah salah satu dari alasan yang saya ungkapkan di atas. Nah, langkah awal, dari koleksi yang tercecer di beberapa tempat, saya kumpulkan di satu titik. Sebelumnya dibersihkan debu-debu yang membandel. Tentu tak pakai air. Haha

Sebagai pembaharu agar disebut kekinian, saya mencoba digitalisasi buku. Caranya dengan mendata semua buku. Mulai barcode, kategori, judul, penulis, penerbit, dan tahun terbit. Tujuannya supaya ada data tentang buku-buku apa yang kupunya. Serta kelayakan buku. Karena ada beberapa buku lama yang kondisinya membuat hati pedih. Juga beberapa buku baru yang telah diserang rayap. Lebih menyedihkan. nah, sampai tulisan ini dibuat, proses digitalisasi masih berlangsung. Saya lakukan bertahap. Supaya lebih ringan dan tidak membosankan.

Nah, kalau punya koleksi buku maka janganlah meniru kebiasaan buruk saya. Rawatlah bukumu seperti kamu merawat anumu.

Salam..

----------------------
Markas Pribadi, 12/6/2015

Jika Saja Aku Ingin

Aku sudah menulis puisi untukmu
Tepat ketika mataku terbuka pagi tadi

Seperti biasanya,
aku ingin membacakan untukmu
Jika saja rupiah menguat menjelang ramadhan
jika saja pssi-kemenpora berjabat muka
jika saja ngaji di kaset menjelang adzan tak dipersoalkan pemerintah
jika saja harga sembako tidak melambung begini


aku ingin membacakan puisiku
tapi bukan kali ini
bukan bulan ini
bukan tahun ini

aku ingin
kamu setia menunggu
sampai jika saja menjadi ada
sampai yang tak pasti menjadi pasti

mungkin

-----------------
Krian, 9/6/15

MungkinAku Bisa

Mana mungkin aku bisa
melupakanMu
tidak untuk sedetik
atau bilangan waktu hipermikro

aku adalah bagianMu
yang paling renta dan hina
--ahli menghujat
dan memaki apa yang ada
--tukang kibul
dan memangsa apa yang tersedia

adakah yang lain Tuhan?

-------------------
Krian, 11/6/15