Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Jumat, 17 Januari 2014

Siluet Tengah Malam

tarian persembahan sebentar lagi dimulai
berjajar rapi cahaya sorga yang terlihat begitu lusuh
perjalanan panjang membuatnya tergugup rapuh.
ini memang bukan seperti yang diajarkan para orang suci. ini inisiatif.

babi hutan mulai bersiaga. kepak kelelawar
senantiasa berjumpalitan di udara. bekas gerimis
membuat sebagian yang lain terlelap. candu tidur
tak lepas lelah.

gong berbunyi nyaring. gemuruh tepuk tangan dewa.
tak ada yang berteriak. semua larut dalam desau angin pagi.
pasukan embun, sengaja berhenti meratap.
menghibur dirinya yang lelah bertugas.

sebelum manusia membawa batu dengan pongahnya,
tarianpun perlahan meruap menanti dinginnya subuh.

berlalu.

*menjelang eksekusi patin 00.01/14-01-13

Bukan


begini, maaf saya harus mengawali dengan kata begini. tentu supaya tidak begitu. maksud awalnya kira-kira demikian.
**
sepulang kerja, cukup larut. dua saudara kembar, sebut saja Barok Julliardz dan Aam Kamil (yang awal bukan nama sebenarnya) sudah bertafakur di kos. nama pertama sibuk dengan rapor siwa-siswanya. nama kedua asyik menikmati siaran tv. sebelum itu, nama pertama menghubungiku akan mampir ke kos 10 jam yang lalu (sekitar pukul 12 siang). tapi karena hal dan adat istiadat, baru saat itulah cita-cita nama pertama kesampaian, bertafakur di kos.

Perjalanan 1

Sore januari. Disela-sela takdir penciptaan. Hujan berhenti. Oksigen-oksigen berderit berjejal menumpuk di cakrawala. Kemerahan. Terbenam.

Bila boleh meminjam takdir, akan kutukar bola mataku untuknya. Tapi jalan ini tidak mengenal bila, andai, kalau, dan sejenisnya.

Mari berhenti meratapi takdir. Nasihat kaum bijak. Maka berhentilah. Nasihat pengikut kaum itu.

Dan, apapun itu, udara malam samar bergegas. Perlahan menghitam menuju dermaga.

‪#‎menjelangmalam‬ sby-lumajang