Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Jumat, 14 Mei 2010

HIBRIDITAS DAN AMBIVALENSI BUMI MANUSIA: SEBUAH TINJAUAN POSKOLONIAL


Bumi Manusia merupakan sebuah novel yang menceritakan pergulatan pribumi dalam menghadapi pemerintah colonial pada akhir abad ke 19. melalui tokoh Minke, Pramoedya menyuguhkan pada kita bagaimana kondisi sosial pada era itu. Kepincangan antara penjajah dan terjajah begitu kentara.
Seperti yang telah kita tahu, Indonesia mempunyai masa lalu yang kelam. Selama kurang lebih 3,5 abad, negara kita berada di bawah cengkraman Belanda. Ditambah lagi 3,5 tahun kebengisan jepang pada rentang 1942-1945. Sebagai negara bekas koloni, tentu saja telah terjadi banyak penyimpangan dan ketimpangan antara pihak penjajah dan terjajah. Ketimpangan inilah menjadi objek subur kajian postkolonialisme. Menurut Foucher dan day (2008), kajian postkolonial merupakan strategi membaca sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks-teks sastra, serta posisi suara pengamat berkaitan dengan isu-isu tersebut. Hal ini senada dengan Manneke Budiman dalam pengantar ”Sastra Indonesia Modern: kritik postkolonial” (2008) yang menyatakan jika Postkolonial merupakan suatu kajian tentng bagaimana sastra mengungkakan ”jejak-jejak” kolonialisme dalam konfrontasi ”ras-ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan” yang terjadi dalm lingkup kekusaan yang tak setara” sebagai dampak kolonialisasi Eropa atas ”dunia ketiga”.
Kajian-kajian Postkolonial, dan lebih khusus lagi kritik sastra postkolonial, seringkali terfokus pada cara-cara bagaimana serta meneliti dengan menggunakan pengertian ”hibriditas” sebagai interaksi bentuk budaya berbeda sehingga memunculkan wacana baru. Menurut Bhaba (Foulcher dan Day,2008:13-14) hibriditas memperoleh artikulasi teoritis yang paling subjektif dan juga paling padat, kita temukan diskusi yang rumit mengenai pengertian ’ruang pernyataan yang kontrakdiktif dan menjadi pelindung terhadap pemaksaan budaya kolonial’ dikacaukan oleh proses negoisasi dan terjemahan yang meramalkan budaya yang kuat. Jejak-jejak ’perubahan budaya yang kuat’ inilah yang diungkapkan dalam pernyataan tekstual mengenai hibriditas dalam keadaan dominasi kolonial.
Dalam Bumi Manusia, tokoh Minke sebagai pribumi yang mendapat didikan Belanda memiliki cakrawala pemikiran baru. Ia tidak saja melihat Eropa sebagai momok, tetapi mengaguminya.
”ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya................................ Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa berilmu pengetahuan Eropa yang mendorong aku suka mencatat (2010:12).
”Berita dari Eropa dan Amerika banyak menceritakan penemuan-penemuan terbaru. Kehebatannya menandingi kesaktian para ksatria dan dewa nenek moyangku dalam cerita wayang (2010:12)

Pendidikan kolinial telah membentuk wacana baru dalam benak Minke. Kekaguman Minke terhadap Eropa merupakan salah satu ciri hibriditas. Di sisi lain, pandangan Minke megandung ambivalensi. Secara tak sadar ia menerima kehebatan Eropa, dan dengan demikian semakin memitoskan jika Eropa (baca: Barat) lebih unggul dari bangsanya (timur).
Sesuai dengan judulnya, Bumi manusia, dimaksudkan sebagai representasi bumi dan manusia Indonesia, dengan pengertian bahwa yang dimaksudkan dengan Indonesia masih terbatas pada Pulau jawa, pula dengan jumlah penduduk 17.000.000 jiwa tahun 1900. Pada saat itu (Van niel dalam Kutha Ratna, 2008:333) di Jawa hanya terdapat 70.000 eropa, Cina sekitar 280.000 jiwa. Hanya seperempat dari jumlah Eropa secara keseluruhan merupakan Eropa totok, sisanya ialah Indo Eropa.
Meskipun pribumi mendominasi, tetapi secara kultural kedudukannya berada di bawah. Mitos dan stigma kehebatan Eropa, menjadi pembayangan akan masyarakat ideal.
”Annelis duduk di sampingku dan melayani aku dalam segala hal, seakaan aku seorang aku tuan Eropa atau seorang Indo yang sangat terhormat.
Nyai makan tenang-tenang seperti wanita Eropa tulen lulusan boarding school Inggris (41)

Pembayangan terhadap hal yang ideal menjadi wacana yang menarik. Bukan saja hendak meneguhkan mitos, tetapi sekaligus berimplikasi akan adanya sebuah kualitas Eropa setingkat di atas Pribumi. Pembayangan ini menjadi wajar dalam kerangka ini, mengingat minoritas Eropa di Jawa tehadap mayoritas pribumi. Tetapi malah mampu mengatur kehidupan pribumi dengan segala tata aturan menurut sistem yang berlaku. Ini tentu menjadi tanda tanya besar, kenapa bisa terjadi? Namun kita juga perlu tahu tentang bagaimana sejak zaman renaissance, bangsa barat menjadikan ilmu pengetahuan sebagai titik tolak untuk ”berkuasa”.
Masalah kualitas pribumi tak luput dari sorotan Pram, melalui tokoh Minke. Dia mengecam bagaimana perilaku kaum pribumi yang dianggapnya feodal. Mungkin hal ini tak bisa kita lepaskan dari cara pandang Pram terhadap pertentangan kelas yang ia pahami. Meskipun ini tak serta merta menjadi sebuah ancaman bagi pemerintah yang berkuasa (Orde baru) untuk melarang buku ini beredar hingga sepuluh tahun lebih.

Seorang pelayan wanita menghidangkan susu coklat dan kue. Dan pelayan itu tidak datang merangkak-rangkak seperti pada majikan pribumi. Malah dia melihat padaku seperti menyatakan keheranan. Tak mungkin yang demikian terjadi pada majikan pribumi: dia harus menunduk-nunduk terus. Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkah” diperistri orkak-rangkak dihadapan orang lain (35)

Permasalahan ketimpangan jender juga mewarnai novel Bumi Manusia, sosok Nyai Ontosoroh, sebagai pribumi yang mendapat ”berkah” diperistri seorang Eropa totok, tak lebih sebagai gundik. Perkawinannya dianggap tidak syah oleh pengadilan, bahkan kedua anaknya pun dianggap anak syah suaminya semata. Secara hukum, Ontosoroh dan kedua anaknya tak terdapat hubungan apa-apa.
Abangmu dan kau tetap dianggap anak tidak syah, hanya diakui sebagai anak Tuan Mellema dan punya hak menggunakan namanya. Dengan campur tangan pengadilan hukum justru tak mengakui abangmu dan kau sebagai anak-anakku lagi, walau mama ini yang melahirkan. (136)

Posisi perempuan pada cuplikan tersebut, dibentuk secara kultural oleh kekuasaan kolonial. Pengadilan menjadi alat untuk mendistorsi perempuan dengan berbagai atributnya. Perempuan pribumi hanya menjadi pemuas lelaki Belanda semata, yang kemudia dikenal sebagai nyai.
Hidup sebagai nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya bersiap-siap terhadap kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah bisa diusir dengan semua anak, anak sendiri, yang tidak dihargai oleh umum pribumi karebna dilakukan tanpa perkawinan syah. (128).

Menariknya, Nyai Ontosoroh menjadi contoh hibriditas paling berhasil yang digambarkan Pram. Ia menjelma menjadi sosok pribumi dengan kepribadian Eropa. Sehingga gambaran ideal dari identitas pribumi hadir sebagai ambivalensi dari pemikiran-pemikiran Nyai Ontosoroh yang segar dan lugas. Magda Peters melukiskan kepribadian Ontosoroh sebagai berikut;
”.....kalau ada barang seribu pribumi seperti dia di hindia ini, Hindia Belnda ini, Minke, hindia Belanda in, boleh jadi gulung tikar. Mungkin aku berlebih-lebihan, tapi itu hanya kesan pertama......(347—348).

Bumi manusia ditutup dengan perkataan Nyai Ontosoroh yang cukup provokatif. Setelah usahanya dengan Minke gagal untuk mencegah pengadilan mengambil Annelis ke negeri Belanda. Masa silam yang kelam, tak membuat Ontosoroh menjadi pesakitan. Malahan ia terlahir kembali menjadi perempuan pribumi dengan segudang pengetahuan Eropa. Ketabahan dan ketegaran menjadi sebuah muara yang tak sanggup surut meskipun permaslahan hidupnya mencapai titik nol.
”Kita telah melawan, Nak, nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (535)

Pustaka
Budiman, Manneke. 2008. ”Masalah Sudut Pandang Dan Dilema Kritik Poskolonial” (dalam Clearing a space: Kritik Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern, Keith Foulcher dan Tony Day, ed., Jakarta: YOI dan KITLV/cet 2 hlm. ix—xiii)
Foulcher, Keith dan Tony Day. 2008. ”Kritik Pasca kolonial tentang Sastra Indonesia modern” (dalam Clearing a space: Kritik Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern, Keith Foulcher dan Tony Day, ed., Jakarta: YOI dan KITLV/cet 2 hlm. 1-25)
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta pustaka Pelajar
Toer, Pramoedya Ananda. 2010. Bumi manusia.Jakarta: Lentera Dwipa/cet15