Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Senin, 14 November 2011

PAHLAWAN DOMPET LALU BANGSAT

Ternyata hingar bingar hari pahlawan masih kalah prestise dengan hilangnya dompet saya. Kebetulan juga keduanya terjadi pada saat bersamaan. Saya jadi limbung, emoh lagi konsentrasi memeringati hari pahlawan di tempat kerja. Dalam otak hanya satu suara: Dompet. kemudian disusul suara lain yang berkelindan: domper, dompet, dompet, dompet.

Apakah lantas saya menjadi bangsat? Tentu saya ndak mau dilabeli bangsat. Arti dompet saya jauh lebih berharga ketimbang perayaan itu (baca: perayaan pahlawan). Bagi saya, pahlawan memang harus dan perlu dihormati. Tetapi kemudian kita akan dihadapkan pada sebuah situasi KAPAN kita harus menghormatinya? Formalitas tampaknya sudah tidak bisa dibantah telah menjadi satu bagian integral dalam sistem khidupan kita. 10 November menjadi sebuah tanda. menjadi sebuah pengingat kalau pahlawan pernah ada, dan begitu penting.

Lalu dompet saya? Nah, ini juga menjadi isu menarik. Memang, ini masalah pribadi saya. Tapi syah juga bila saya angkat ke permukaan. Saya pamerkan. Saya bandingkan. Karena mungkin, efek pada diri saya begitu terasa. Ketimbang harus memakai baju pahlawan dan membaca puisi tentang pahlawan. Maka urusan dompet menjadi sesuatu yang prestise. Karena memang kita manusia. Punya ego yang sulit diprediksi kapan meledak.

Saya paham, bahwa kepentingan umum jauh lebih penting dari pada kepentingan pribadi. Tapi ini masalah dompet. Kalaupun saya akhirnya mau dilabeli BANGSAT, saya setuju saja. Ingat, ini maslah dompet.

Rabu, 09 November 2011

DAHLAN ISKAN SAJA MENYIMPANG




Cukup lama saya menggemari tokoh satu ini. Berawal dari novelnya (lebih tepatnya biografi) tentang pencangkokan hati yang Beliau laksanakan di China. Semenjak itu, lamat-lamat saya mengenal sosok satu itu. Kemudian saya ajgirnya tahu, Dahlan Iskan ternyata pemilik Jawa Pos. Saya kemudian tak bisa membayangkan kekayaannya (meskipun kemudian saya juga tak bisa menghitung bagaimana jerih payahnya mengawali semuanya).

Dahlan Iskan. Saya beru ngeh ketika tiba-tiba beliau ditarik ke Jakarta guna menggawangi Dirut PLN. Seliweran kabar mengenai tingkah beliau yang menyimpang. Misalnya, tak mau mengambil gajinya selama menjabat. Berjalan kaki dari rumah ke kantor PLN (sekitar 30 menit). Lalu bagaimana dia menjawab tudingan ketika dirinya diseret-seret pada kasus Nazaruddin. Saya juga benar-benar ingat, bagaimana dia menjawab salah satu LSM yang mengatakan bahwa ada indikasi penyelewengan dana pada tender PLN (sebuah acara di tv one "JLC"). Semuanya membuat saya menyimpulkan, Dahlan Iskan orang menyimpang.

Minggu, 06 November 2011

Menjadi guru dan tetek bengek lainnya

Seabrek tetek bengek untuk syah menjadi guru dewasa ini (guru di sekolah formal). Harus ini dan itu. Dengan harapan, akan menjadi ideal. Pokoknya serba ribet. Apalagi kebijakan dari pemegang kebijakan, selalu berubah dan makin ruwet. Saya mencoba untuk berpikir positif saja, bahwa itu untuk kemajuan bangsa ini.

Tapi ketika turun ke lapangan, tetek bengek tadi (yang menjadi prasyarat) melempem. Pasalnya tetek bengek tadi terkadang rancu di situasi-situasi tertentu. Setelah saya menjadi pengajar, pembuatan RPP (Rencana Pelaksanaan Pengajaran) ternyata tidak semegah yang saya bayangkan waktu mendekam di bangku kuliah. Itu baru RPP, belum hal-hal lainnya yang sama sekali mengawang di awang-awang.

Ternyata saya hanya butuh sedikit lebih sabar dan lebih kreatif (sedikit) untuk mengajar di kelas. Membuat siswa tersenyum. Membuat siswa terbangun dari tidurnya. Membuat siswa melihat dirinya sendiri dalam konteks masyarakat. Itu saja menurut saya yang penting dalam pendidikan pada situasi yang saya alami (sekolah ekonomi kelas bawah).

Sabtu, 05 November 2011

Khotbah

Hidup saya berubah. Saya hanya perlu mengganti cara pandang untuk melihat hal-hal biasa di sekitarku. Walhasil, saya menjadi pribadi beruntung. Menurutku ini sebuah awal yang bagus untuk membangkitkan kelainan-kelainan yang tumbuh dalam hidupku. Saya hanya punya ambisi.

Lama sekali saya terkuras oleh kungkungan rasa jenuh. kalau sudah begini, implikasinya malas untuk sekedar berkreasi. Memanjakan diri menjadi sebuah ritual. Sebenarnya ini bukan masalah fatal. Tetapi akan berpengaruh dalam kelancaran program-program yang kita rencanakan. (Saya sok formal bicaranya).

Takbir idul adha berkumandang dikejauhan. Kran-kran inspirasi mengalir membanjiri setiap inchi tubuhku. Mari bersama mengubah cara pandang untuk melihat keajaiban disekitar kita. mari menjadi asu.