Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Sabtu, 21 Mei 2011

Taksonomi Kesastraan

A. Prolog
Taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein berarti untuk mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Taksonomi berarti klasifikasi berhirarki dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian- sampai pada kemampuan berpikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi (http://id.wikipedia. org/ wiki/Taksonomi).


Pendekatan taksonomis beranggapan bahwa keluaran hasil belajar dapat dibedakan ke daam berbagai aspek, jenis dan tingkatan tertentu. Titik tolak inilah yang mendasari perumusan tujuan dan penyusunan niali bervariasi. Begitupun dalam menilai hasil belajar sastra, taksonomi Bloom masih relevan untuk diaplikasikan dalam penilain sastra. Sedangkan yang secara khusus berbicara mengenai sastra yakni taksonomi Moody.
Sebelum lebih jauh mendedah kedua taksonomi di atas, kita perlu mengenal dulu karakteristik sastra. Sastra merupakan bidang kajian humaniora. Pada dimensi ini kita dihadapkan pada dunia yang membutuhkan penalaran, bukan bersifat praktis saja. Keberagaman dalam mengkaji sastra merupakan sinyal positif, sebab lingkup ini tidak terpasng pada kotak “ya” atau “tidak” (baca: ilmu pasti). Hal yang demikian inilah terkadang menjadi bumerang dalam pengajaran sastra pada umumnya. Sistem pengajarannya lebih menuntut siswa jadi mesin penghafal sejarah dan teori sastra. Sementara esensi dari sastra sendiri luput dari genggaman. Hasil yang dicapai dari pengajaran semacam ini hanya berkisar pada ranah kognitif saja. Sementara itu ranah afektif dan psikomotorik tidak tergarap secar sistematis. Padahal untuk mengetahui keluaran hasil belajar yang maksimal, ketiga ranah tersebut harus tercakup secara komprehensif.
Nah, untuk mendapatkan hasil yang maksimal tersebut, sistem pengajaran dan penilainnya perlu kita rombak. Adanya apresiaisi merupakan angin segar dalam pengajaran sastra. Di sini kita akan memperlakukan sastra sebagai sebuah realitas yang bisa dilihat dengan multi perspektif. Pada perspektif ini, kita menilai keluaran hasil belajar dari pengajaran yang apresiatif.

B. Taksonomi Bloom
Konsep taksonomi Bloom Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan. Konsep ini mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. (http://gurupembaharu.com/perencanaan/pembelajaran/taksonomi-bloom-mengembangkan -strategi-berpikir-berbasis-tik/)
1. Penilaian ranah kognitif
Hasil belajar sastra yang bersifat kognitif lebih banyak berhubungan dengan kemampuan dan proses berpikir. Ini dibedakan ke dalam beberapa tingkatan yang hierarki. Berikut tingkatan tes kesastraan menurut model taksonomi Bloom (Nugiyantoro, 2001: 332-340).
 Tes kesastraan tingkat ingatan: tes ini sekedar mengungkap kembali fakta, konsep, definisi, deskripsi, nama pengarang, nama angkatan, dll. Misalkan: “apa yang dimaksud dengan alur, sebutkan pembagian angkatan kesusastraan versi HB Jasin, siapa pelopor angkatan ‘45”. Bentuk pilihan ganda, misalkan: di bawah ini adalah tokoh sentral novel Atheis, yakni: a.....b…..c…...
 Tes kesastraan tingkat pemahaman: tes ini menghendaki subjek didik mampu membedakan, memahami, menjelaskan, tahu hubungan konsep dan lain-lain yang sifatnya sekedar mengingatkan. Mislanya: buatlah ringkasan novel, jelaskan perbedaan soneta dan pantun. Jika berbentuk pilihan ganda, misalkan: Kalimat di bawah ini merupakan kutipan dari novel X, yang berbahasa alegori adalah: a…..b…..c…..dst
 Tes kesastraan tingkat penerapan: tes ini menuntut subjek didik menerapkan pengetahuan teoritik ke dalam kegiatan praktis yang konkret. Artinya subjek didik menuntut benar-benar untuk “memperlakukan” karya sastra secara nyata. Kemampuan aplikatif ini, antara lain berupa: mengubah, memodifikasi, mendemontrasikan, mengoperasikan, dan menerapkan sesuatu hal. Misalkan: ubah wacana dari novel Belenggu di atas dalam bentuk dialog, ubah tembang dari serat wicara keras di atas ke dalam bahasa sehari-hari, tunjukkan gaya bahasa dari kedua kutipan tersebut.”
 Tes kesastraan tingkat analisis: subjek didik membaca karya sastara dan menganalisisnya. Analisis dari aspek interinsik dan ekstrinsik karya sastra. Mislakan: jelaskan bagaimana alur dalam novel layar terkembang karya STA, bagaimana perwatakan yang dibangun pengarang cerpen Karna karya bakdi Sumanto, jelaskan efektivitas bunyi yang digunakan dalam sajak Karta Iya Bilang Mboten karya Darmanto Jatman. Jika berupa pilihan ganda: kutipan yang bergaya absurd di atas nampak pada novel: a…..b…..c…..d…..
 Tes kesastraan tingkat sintesis: tes ini menuntut subjek didik mengkategorikan, menghububungkan, mengkombinasikan dan meramalkan hal-hal yang berkenaan dengan unsur-unsur karya sastra. Misalkan: jelaskan bahwa antara tokoh Hasan dalam Atheis dan hanafi dalam salah asuhan mempunyai persamaan, mengapa Maria dimatikan dan justru Tuti yang dikawinkan dengan Yusuf dalam Layar Terkembang. Jika berbentuk pilihan ganda: secara struktural, judul karya sastra di bawah ini berhipigram dengan Serat Ramayana: a…..b…..c…..d…..
 tes kesastraan tingkat penilaian: tingkatan ini menuntut subjek didik cermat mengevaluasi karya sastra, memberikan komentar dan estetika. Misalkan: tentang masalah ketepatan diksi, ketepatan alur, dll. Kemampuan evaulatif juga terkait dengan perbandingan antar karya sastra. Misalkan: jelaskan unsur-unsur kebaruan yang terdapat dalam novel telegram, mengapa puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri tak dapat disamakan denagn puisi Rendra?
2. Penilaian ranahm afektif
Ranah afektif berhubungan dengan masalah sikap, pandangan dan nilai-nilai yang diyakini seseorang (Nurgiyantoro, 2001:238). Bagaimana sikap dan pandangan seseorang terhadap sesuatau antara lain tercermin dalam tingkah lakunya memeperlakukan sesuatu yang bersangkutan (baca: sastra). Misalkan, sikap dan kemauan membaca atau menolak karya tertentu. Bial subjek didik menolak bererti mereka tergolong avoidence tendency dan jika mereka tak menolak berarti tergolong aproach tendency
Sebagai tolak ukut seorang subjek didik tergolong aproach tendency, menurut Endraswara (2005:240) anatara lain sebagai berikut: a) menyatakan suka terhadap bacaan dan pengajaran sastra model apapun; b) merasa memiliki bacaan, pentas, dan aspek sastra lainnya dibanding materi lain; c) ikut aktif dan terlibat dalam diskusi; d) menjawab pertanyaan dengan leluasa, gembira, penuh antusias; e) terdorong untuk bertanya, menyeleseikan tugas, tertarik, dan sering mengunjungi even sastra
Dalam kaitan ini, Nurgiyantoro (2001:328-330) mengemukakan bagaimana mengukur sikap dengan menggunakan beberapa tes penilain, yang antara lain sebagai berikut:
 Skala Likert; pengukuran sikap dengan skala Likert dilakukan dengan menyediakan skala jawaban terhadap suatu pernyataan yang diberikan. Misalkan pernyataan: sangat setuju, setuju, agak setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju. Contoh:

- setiap siwa diwajibkan membuat rangkuman sebuah novel atau kumpulan cerpen sebulan sekali
(SS S AS TS STS)
- sebaiknya dilakukan kegiatan diskusi berbagai hal tentang kesastraan minimal dua minggu sekali
(SS S AS TS STS)


 Jawaban singkat “ya” dan “tidak”; pengukuran jawaban singkat “ya” dan “tidak” dilakukan dengan menyediakan pernyataan-pernyataan yang menuntut jawaban dengan “ya” dan “tidak” oleh siswa. Jawaban yang diberikan siswa paling tidak bisa menjadi gambaran terhadap sikap siwa. Berikut contohnya:

- saya membacabuku-buku sastrasekedar untuk mengisi waktu luang
(YA - TIDAK)
- saya menyediakanwaktu secara khusus untuk membaca buku-buku karya sastra
(YA - TIDAK)
 Prosedur nominasi; pengukuran dengan prosedur nominasi dapt dilakukan dengan menyruh siswa menyebutkan judul-judul buku, nama pengarang, tema cerita, pengalaman, dan lain-lain yang paling disukainya. Selain itu bisa juga dengan menyediakan sejumlah pernyataan yang merupakan tanggapan atas pernyataan yang dikemukakan sebelumnya. Berikut contohnya:
- lima orang sastrawan terpenting dewasa ini yakni ,………,………,……....,………. , ………..,
- Pada bulan April yang akan dating diadakan ceramah kesastraan di IKIP oleh salah seorang tokoh sastra yang dikenal. Rencana saya adalah:
 mengikuti kegiatan ceramah karena hal itu penting artinya untuk dapat mengikuti perkembangan kehidupan sastra Indonesia dewasa ini
 mengikuti kegiatan ceramah karena ada sangkut pautnya dengan salah satu mata kuliah yang sedang ditempuh.
 mengikuti kegiatan ceramah karena pasti akan diwajibkan oleh ketua jurusan
 mengikuti kegiatan ceramah sekedar untuk menampakkan diri agar kelihatan aktif di mata kawan atau dosen.
 Meninggalkan kegiatan di IKIP mumpung ada kesempatan dan dapat untuk melakukan kegiatan lain yang lebih penting
Sayangnya, prosedur penilaian di atas belum disertai alasan. Padahal subjek didik menyenangi karya sastra tertentu itu yang tak boleh dilupakan dalam proses pengajaran. Menurut Endraswara (2005:241), keterkaitan terhadap suatu karya dan kebosanan tentu ada sejumlah argumentasi yang sifatnya kejiwaan. Oleh sebab itu dia menyarankan agar ranah afektif ini harus diupayakan untuk menambahkan alas an tertentu yang jelas. Jika argumentasi mereka dapat diterima, tentu pengajar pun menggangguk setuju.
Sementara itu, untuk penyekoran pengukuran afektif biasanya dengan menjumlahkan seluruh skor untuk tiap pernyataan. Pernyataan untuk pengukuran ranah afektif biasanya disusun dari yang positif ke negative, misalnya dari sangat senang ke tida senang. Skor jawaban yang bersifat skala, misalnya dalam rentang 5-1 atau 1-5 tergantung arah pertanyaan. Jawaban sangat senang diberi skor 5, dan tidak senang 1. skor siswa diperoleh dengan menjumlah seluruh skor untuk tiap pertanyaan. Jika pertanyaan itu berjumlah 10 butir, kemungkinan skor tertinggi seseorang adalah 50 (5x10), dan terendah 10 (1x10). Jika ditafsirkan ke dalam lima kategori seperti pertanyaan yang diberikan, skor 10 berarti tidak senang, 11-20 kurang senang, 21-30 biasa-biasa saja, 31-40 senang, dan 41-50 sangat senang
3. Penilaian ranah psikomotorik
Kemamapuan psikomotorik dapat dipahami sebagai kemampuan melakukan aktifitas tertentu sesuai dengan kompetensi pelajaran (Endraswara, 2005:244). Meskipun demikian, aspek kognitif dan psikomotorik menjalin satu kesatuan, dan hanya secara teoritis saja dapat dipisahkan. Dalam penilaian hasil pembelajaran pemisahan itu dapat dilakukan dengan penekanan pada konteks yang dikerjakan.
Penilaian hasil belajar psikomotoris harus juga dilakukan dengan alat tes berupa tes perbuatan. Nurgiyantoro (2001:331), memberikan contoh yakni: tugas berdeklamasi, membaca puisi, cerpen, drama, dan dramatisasi. Aspek yang dinilai dari cinroh tersebut antara lain: pemahaman, penghayatan, intonasi, ekspresi, dan kewajaran.
Sementara itu, Endraswara (2005: 245-247) penilaian unjuk kerja kesastraan siswa sebagai hasil pembelajaran juga dilakukan lewat keempat kemampuan berbahasa , yakni:
 Menyimak; kemampuan menyimak adalah kemampuan memahami gagasan pihak lain yang disampaiakan lewat suara, baik langsung maupun tak langsung lewat media tertentu. Pelaksanaan pengukuran kemampuan meyimak dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembelajaran dan dilakukan secara khusus yang sengaja dirancang untuk maksud itu. Bahan yang diperdengarkan tentulah yang berakaitan dengan wacana kesastraan. Pengukuran kompetensi kesastraan menyimak yang dilakuakan secara khusus dapat dilakukan antara lain dengan cara: stelah mendengarkan wacana, siswa diberi soal ujian objektif.
 Berbicara; kemampuan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan gagasan kepada pihak lain secara lisan. Tugas ini dapat dilakukan misalnya dengan cara mengungkapkan atau menceritakan kembali secara lisan isi teks sastra yang diperdengarkan dan atau yang dibaca dan kemudian diikuti tugas berdiskusi
 Membaca; kemampuan membaca adalah kemampuan memahami gagasan pihak lain yang disampaiakan lewat tulisan. Kemampuan membaca yang ditugaskan untuk teks-teks kesastraan dapat berupa membaca puisi, deklamasi, membaca cerpen dan drama.
 Menulis; kemampuan menulis adalah kemampuan mengungkapkan gagasan kepada pihak lain secara tertulis. Untuk menulis sebagai tugas teks kesastraan, siswa juga harus benar-benar diharuskan menulis. Secara umum ada dua macam tugas menulis yang diberikan yakni: menulis sebagai hasil tanggapan terhadap teks-teks kesastraan (sinopsis novel, parafrase puisi, dan lain-lain) dan menulis kreatif (membuat cerpen, pusi, naskah drama dan lain-lain.)
C. Taksonomi kesastraan Moody
Taksonomi Mody merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengukur keluaran hasil belajar sebagaimana taksonomi Bloom, namun lebih dikhususkan pada pembelajaran kesastraan. Kedua pendekatan ini tidak terdapat perbedaan secara signifikan, malah sebaliknya saling mlengkapi. Tetapi kalau disuruh membedakan, akan nampak pada strukurnya saja. Berikut tingkatan tes kesastraan versi Moody dalam Rahmanto ( 1993: 128) :
 Tes kesastraan tingkat informasi; tes ini berupa tentang tes data dasar yang dapat dipergunakan untuk membantu memahami karya sastra itu sendiri. Misalnya: peristiuwa apa sajakah yang disajikan, di mana, kapan, tokoh-tokohnya siapa saja, bagaiman akhir cerita dan sebagainya. Contoh:
 Tes kesastraan tingkat konsep; tes ini berkaitan dnegan persepsi tentang bagaimana data atau unsur-unsur karaya sastra tersebut diorganisasikan. Apa saja macam unsur-unsur cerita itu? Apa maksud dan efek pemilihan unsure-unsur itu? Bagaiaman hubungan di antara unsure-unsur cerita tersebut? Konflik apa saja yang muncul? Bagaimana kaitan anatara berbagai konflik yang ada? Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya suatu konflik?
 Tes kesastraan tinkat perspektif; tes ini berkaitan dengan pandangan siswa sehubungan dengan karya sastra yang dibacanya. Apakah yang diceritakan dalam di dalam cerita tersebut signifikan dengan realitas kehidupan? Ataukah bersifat tipikal? Apakah ada kemungkinan cerita semacam itu terjadi di tempat lain? Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari cerita tersebut? Apa manfaat karya terebut bagi pembaca?
 Tes kesastraan tingkat apresiasi; tes ini berkaitan terutama pada hubungan sastra dengan kebahasaan. Pertanyaannya berkisar pada: mengapa pengarang justru memilih bentuk, kata, atau ungkapan seperti itu? Apakah pengaruh yang ditimbulkan dengan pemilihan atau penggunaan bentu kata, ungkapan, imaji-imaji, episode dan penokohan bagi karya sastra itu secara keseluruhan? Jenis ragam bahasa apa yang dipergunakan dalam karya sastra tersebut?
D. Epilog
E. Kepustakaan
Endraswara, Suwardi. 2005. Metode & Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa Dasn Sastra. Yogyakarta: PT BPFE-Yogyakarta
Rahmanto, B. 1993. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius
http://id.wikipedia. org/ wiki/Taksonomi). Diakses pada tanggal 14 Juni 2009
http://gurupembaharu.com/perencanaan/pembelajaran/taksonomi-bloom-mengembangkan-strategi-berpikir-berbasis-tik/. Diakses tanggal 14 Juni 2009.