tag:blogger.com,1999:blog-90236765620382337552024-02-19T18:54:15.835-08:00Pak ShodiqMenulis untuk berbagiMENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comBlogger177125tag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-15578645776560274212015-07-01T01:19:00.000-07:002015-07-01T01:19:18.255-07:00Lelaki Penggenggam Banner itu Telah Pergi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDZbVosX5dprT7vvy8MZh3GGO-YCt9ty8CBsLqh-ftN5zHhQavcyc8unl-Hyl5kimW20YWK8uECM147Mn6kxbma7qHGVO1nRkn7o3jUm2S4_0NLjInMZD_b6y23ugItmqfA7ZoJ0K4jSQ/s1600/CIMG7889.JPG" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDZbVosX5dprT7vvy8MZh3GGO-YCt9ty8CBsLqh-ftN5zHhQavcyc8unl-Hyl5kimW20YWK8uECM147Mn6kxbma7qHGVO1nRkn7o3jUm2S4_0NLjInMZD_b6y23ugItmqfA7ZoJ0K4jSQ/s320/CIMG7889.JPG" width="320" /></a></div>
<br />
<i>Di hari pertama puasa kali ini, saya mendapati kabar yang begitu membuat diriku terhuyung. Salah satu sahabatku harus memenuhi panggilanNya. Entah bagaimana saya dapat membalas apa yang selama ini dia berikan di tiap kebersamaan kami.</i><br />-----------<br />Hakim, salah satu murid saya yang memiliki integritas. Saya mengenalnya lima tahun yang lalu. Saat mengajar di SMK Tri Guna Bhakti, kelas Hakim lah yang pertama kali kumasuki. Meski sekolah berada di pinggiran kota, namun anak-anak dalam kelas itu memiliki daya tarik. Tentu saja, salah satunya sang kapten, yakni Hakim. Di kelas, dia cukup menonjol. Murah senyum. Dan amat antusias dengan apa yang saya sampaikan. Sebenarnya, saya tak menyangka juga jika dua dari siswa kelas tersebut akan menjadi sahabatku ke depannya. Hakim dan Rama. Keduanya, kerap tertukar saat aku memanggil keduanya. Bukan karena mirip, tetapi jeleknya daya ingatku.<br /><br />Selepas lulus pun, susah sekali mengusir tentang sosok Hakim. Dan kalau sudah berpikir Hakim, saya juga akan mengingat Rama. Satu paket. Ini juga bukan tanpa alasan. karena tiap saya bertemu Hakim, hampir pasti selalu ada Rama. Kalaupun bertemu salah satu dari mereka, saya akan tanya lebih dulu: Hakim ke mana? atau Rama ke mana?<br /><br />Persahabatan kami lebih intens saat bulan puasa dua tahun lalu. Kebetulan saya tinggal sendirian. Sehingga kerap keduanya bermalam di kontrakan. Kobtrakan saya berada di daerah Asempayung, Gebang putih. Belakangnya kampus ITS. Padahal rumah keduanya cukup jauh dari tempatku. Namun karena barangkali ada chemistry diantara kita, kebersamaan itu tak bisa dielakkan. Entah itu mulai berbuka bersama, sahur bersama, atau ngobrol sana sini sambil bermain playstation. Saat bermain PS, Hakim tampil begitu digdaya. Aku tak pernah bisa mengalahkannya. Namun begitu, saya tak pernah mengakui kekalahan saya. karena selalu ada saja alasan yang saya utarakan. <br /><br />Di lain waktu, pernah juga membuat film dokumenter tentang perjalanan kami mencari takjil gratis. Kami menyebutnya dengan tiga kaum dhuafa. Tujuannya yakni masjid Al-falah, berada di sebalah selatan Taman Bungkul. masjid tersebut memang mengalokasikan takjil baik makanan dan minuman yang cukup banyak. Yang saya sayangkan, film itu tak bisa kutemukan lagi di mana lektaknya.<br /><br />Yang cukup terkaing-kaing yakni saat sahur bersama. Berharap di masjid Al-Akbar, Pagesangan, ada kegiatan sahur gratis. Ternyata tak sesuai dugaan. Kami parkir di masjid sekitar pukul 02.00. karena tak ada tanda-tanda ada makanan gratis, akhirnya kami mencari penjual makanan. Alhamdulillah, susah sekali menemukan mereka. Sampai kaki kami menginjak pasar Jambangan. Di situ terdapat satu-satunya penjual soto ayam, yang kebetulan akan tutup. Terpaksa dengan negosiasi, kami menikmati soto super hemat di depan ruko. Subuh yang masih lama, membuat kami tiduran di lantai ruko. Saling membincangkan kebodohan kami pagi itu. Hakim dengan kekonyolannya. Dilengkapi Rama. Biasanya kalau begitu, saya yang dikeroyok.<br /><br />Sempat vakum beberapa bulan, setelah sebelumnya sebulan penuh dalam kebersamaan. kami bertemu lagi di kos-kosan baruku. Di daerah Bulak Rukem Timur. Hakim dan Rama kembali bersamaku. Tiap malam kami selalu beradu kepandaian main catur. Untuk urusan catur, saya lebih canggih ketimbang memencet tombol stick PS. Hal ini sampai-sampai, saya kadang lupa kalau dulu Hakim pernah menjadi muridku. Karena ejekan saya kadang vulgar dan cenderung kekanak-kanakan.<br /><br />Hakim & Rama, merupakan satu paket. Tapi mereka bukan sisi mata uang. Mereka adalah manusia sebagaimana saya. Tak jarang saya mendapati mereka tidak akur. Kadang masalah kecil yang kemudian dibakar egois, menjadi emosi berlebih. Menurutku ini bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Ini manusiawi. Pershabatan tanpa ketak akuran, susah sekali dibayangkan. kalau sudah begitu, saya akan berdiri di tengah. membiarkan mereka belajar dari emosi-emosi yang meletup. Buktinya, mereka mampu melepaskan masalah dari ketak akuran menjadi seperti sedia kala. Baik-baik saja.<br /><br />Puncaknya, ini saya pikir, keduanya menjadi pendamping saya dalam menyiapkan ribetnya prosesi pernikahan. Mulai melipat undangan. Menjemput Bapak dan Pakdheku di terminal. Menemaniku di malam-malam menjemput hari bahagia. Tidur dalam sebuah ruangan sempit dengan peserta tidur yang membludak. Menjadi tukang foto di akad nikah. Mengunjungi anakku yang baru saja lahir. Hakim dan Rama telah benar-benar masuk ke wilayah-wilayah privat, yang bahkan saudaraku tak tahu. Saat demikian, saya menjadi lebih berarti. Saya sebatang kara, ibuku meninggal. Bapakku juga tak pernah bersamaku semenjak kecil. Sementara saudara-saudaraku berada di kampung.<br />-----------<br />Kabar dari Bu Ari pagi itu, membuat skema emosiku berubah drastis. Hakim, sahabatku, telah berpulang. Kecelakaan. Secara detail aku tidak bisa menceritakan di sini. Namun, sekali lagi siklus kehidupan akan senantiasa terjadi. Sahabatku, pagi itu, telah lebih dulu menghadap Allah. Selanjutnya tentu saja, giliran kita yang akan menghadapNya. <br /><br />Selamat jalan, mas Hakim (laki-laki penggenggam banner)<br /><br />:Di suatu waktu, saya dan Rama akan mengunjungimu<br /><br /><i>(Prambon, 18 Juni 2015)</i><br />MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-40933718886524911212015-07-01T00:59:00.002-07:002015-07-01T00:59:37.674-07:00Bila Ternyata: Asal Muasal Penciptaansisa puntung rokokmu tidak lama lagi<br />akan berulang tahun. ini yang kelima.<br />daftar catatan menu telah sibuk<br />menyesueikan dirinya berjam-jam<br />di depan lemari berisi rempah-rempah.<br />katamu: yang spesial, akan spesial. harusnya<br />yang bernas, akan bernas. harusnya<br /><br />ini masalah logika. bila penciptaan<br />memerlukan ketaatan, maka<br />pasrahlah dengan ketentuan,<br />: maaf, ini tidak berhubungan dengan ramadhan<br />ini hanyalah cerita puntung rokok<br />yang akan merayakan hari jadinya<br />di waktu tertentu.<br />tepatnya, kali kelima.<br /><br />kamu telah menciptakannya.<br />asal sebab kamu menghisap. mengambil sari pati<br />sehingga tercipta. bukankah di sana terselip harapan?<br /><br />::selamat ulang tahun puntung rokokmu<br />berolehlah ketentuan atas takdirmu<br />pada basis penciptaan dan koloni-koloni<br />yang menyemut di asbak-asbak<br />yang tidak sama sekali menarik<br />untuk dibicarakan dalam forum-forum dakwah<br />//kecuali label-label: merokok membunuhmu<br /><br />sekali lagi, ini bukanlah tentang ramadhan<br />ini bukan hal-hal mayor.<br />bilapun penciptaan<br />ketentuan yang melibatkannya hanya pada hal minor.<br />--sebuah puntung rokok yang telah habis sari patinya hendak berulang tahun.<br /><br />bukankah lebih menarik mendiskusikan hal apa yang akan kita santap saat berbuka tiba?<br /><br />itu saja.<br />----------<br /><br />(Surabaya-Prambon/senja ramdahan 1437H, 17-19 Juni 2015)<br />MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-18627292568404906742015-06-30T23:56:00.003-07:002015-06-30T23:56:44.637-07:00TANAH AIR: Lidah, Darah, dan Perlawanan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://thisismyescape.files.wordpress.com/2013/01/pulang.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://thisismyescape.files.wordpress.com/2013/01/pulang.jpg" width="213" /></a></div>
(Pembacaan Novel Pulang Karya Leila S. Chudori)<br /><br /><blockquote class="tr_bq">
<i>Kalau aku mampus, tangisku</i><br /><i>Yang menyeruak dari hati</i><br /><i>Akan terdengar abadi dalam sajakku</i><br /><i>Yang tak pernah mati</i><br />(Subagyo Sastrowardoyo; Sajak yang Tak Pernah Mati)</blockquote>
<br />PULANG, novel tulisan Leila S. Chudori, merupakan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013 (KTA). Terbit pertama kali di pengujung Desember 2012. Setelahnya mengalami beberapa percetakan ulang. <br /><br />Saya membaca novel ini di cetakan keempat Desember 2013, namun tahun pembacaannya cukup mentereng, yakni Juni 2015. Berarti ada jarak 2 tahun lebih sejak buku ini beredar. Perlu diketahui, di terbitan yang saya baca, sudah terdapat logo KTA. Catatan lainnya, di lembar pertama, kita akan menemui testimoni dari beberapa tokoh sastra, sosiolog, psikolog, wartawan, dan juga pecinta buku. Kata lainnya, bahwa novel ini memang berkualitas. Anda harus segera membaca.<br />Jika ingin sari pati dari novel ini, silakan lihat halaman belakang. Sinopsis dua bagian (Paris, Mei 1968 – Jakarta, Mei 1998), dan baris terakhir sebagai kata kunci:<br />::Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Perancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.<br />----------<br />Tragedi kemanusian di tahun 1965, tepatnya 30 September, merupakan sebuah letupan dinamit penderitaan yang amat sangat berkepanjangan dan menimbulkan beragam intrik-polemik, terutama bagi keluarga korban. Pemerintah dengan merancang strategi politik, bersih diri-bersih lingkungan, dari semua yang berbau Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menimbulkan perang saudara berkepanjangan. Penangkapan, interogasi, penyiksaan, pembuangan, pembunuhan, secara sporadis menyerang keluarga, saudara, teman dan lainnya yang mereka anggap sebagai PKI. Tragedi kemanusiaan tersebut tidak sebentar. Sebuah tragedi tepatnya di Mei 1998, membuat semuanya menjadi lebih baik. Setidaknya, bayang-bayang tragedi 1965 berakhir dengan turunnya sang jenderal dari tampuk pimpinan. (Sejarah yang dibelokkan pada masa orde baru, di era reformasi, mulai kembali diluruskan beramai-ramai dalam banyak versi. Termasuk dalam Pulang)<br /><br />Novel PULANG, mengawali ceritanya dari tahap itu. Dimas Soeryo, seorang wartawan di Kantor Berita Nusantara, harus terasing dari tanah airnya berpuluh-puluh tahun. Ia dan juga beberapa rekannya yang tengah mengikuti konferensi pers di Kuba, keberangkatan sebelum 30 September, tidak bisa kembali karena di Indonesia telah terjadi penumpasan PKI. Dimas dkk, termasuk orang yang diburu saat itu. Sehingga, jika mereka kembali, maka penjara dan kuburan akan menanti mereka. Pilihan yang tepat yakni mengembara. Tentu saja dengan konsekuensi, meninggalkan seluruh keluarga di tanah air, yang juga diburu-buru aparat. Pada mulanya, mereka menuju China dan selanjutnya tingga di bawah rezim komunis selama hampir tiga tahun. Selanjutnya, pintu kehidupan baru terbuka: Eropa dengan segala kebebasannya.<br /><br />Paris, menjadi agenda terakhir pengembara politik tersebut tinggal. Mereka mencari cara bertahan di negeri Eiffel tersebut dengan penuh liku. Pusat penceritaan yakni Dimas Soeryo, seorang yang tidak memiliki afiliasi politik apapun namun dituduh komunis. Bersama rekannya menghidupi diri dengan semua kekuatan yang dimiliki. Hingga pada suatu waktu, mereka (Dimas, Mas Nug, Risjaf, Tjai) mendirikan sebuah restoran kecil yang beranama Tanah Air. Sebagai sebuah replika kerinduan pada Indonesia.<br /><br /><b>Sudut Pandang</b><br />Meskipun pusat penceritaan pada Dimas Soeryo, namun di novel ini sudut pandang dari beberapa tokoh yang semakin menguatkan sosok Dimas sendiri. Vivienne (istrinya), Lintang Utara (Anak semata wayangnya), Hananto (pimred Nusantara) Segara Alam (putra bungsu mendiang Hananto P., pemimpin redaksi Nusantara, yang juga anak kekasih Dimas pada mulanya, Surti Andini), Bimo (Putra Mas Nug, wakil pimpinan Nusantara yang kini bersamanya di Paris). Juga surat-surat dari orang terdekat Dimas yang mengabarkan secara intens apa yang terjadi di Jakarta pada masa kerusuhan (Surti, Kenanga, Aji, Aziz).<br /><br /><b>Alur</b><br /><br />Pulang, tidak mengisahkan kepada kita (secara kemasan) dengan kronologis mulai awal sampai akhir. Kilas balik ditampilkan masa lalu, masa kini, dengan acak tetapi dengan sangat bagus. Sehingga, saya menyebut dengan puzle, kepingan-kepingannya sangat berhasil.<br /><br /><b>Drama Keluarga </b><br /><br />Terlepas dari isu yang diangkat sensitif, tetapi tak menghilangkan sisi romantis dari semua tokohnya. Juga kekonyolan yang kerap terjadi. Kita akan melihat dari dekat kehidupan keluarga multikultur, ayah Indonesia-Ibu Prancis, dalam keseharian keluarga Dimas. Lengkap, mulai bertemu, menikah, hingga keduanya memutuskan bercerai. Tentang kisah asmara Lintang Utara, anak semata wayangnya, dengan Nara dan Alam.<br /><br />Kita juga disuguhi romantisisme masa lalu Dimas saat menjadi mahasiswa. Cinta matinya dengan Surti Andari yang kemudian tidak pernah dimilikinya. Begitu juga rekan lainnya. Semuanya menjadi sebuah racikan cerita yang ciamik dari ketegangan-ketegangan sejarah yang tidak beradab.<br />1968-1998<br /><br />Novel dimulai dengan sebuah prolog tahun 1968 tentang penangkapan Hananto Prawiro, pimred Nusantara. Sudut pandang pelaku yang saat itu bekerja sebagai tukang cuci cetak film. Yang kebebasannya terampas karena selalu diburu aparat.<br />
<br />Selanjutnya, panggung cerita menjadi milik Dimas Soeryo, dengan segala pemikiran, kehidupan, dan pengetahuannya yang cukup besar dalam bidang kesastraan, film, dan wayang.<br /><br />Epilog Pulang diawali dengan surat wasiat Dimas pada putrinya yang tengah meyelesaikan penelitiannya tentang nasib keluarga korban politik 65 di Jakarta. Keberadaan Lintang Utara sendiri tepat di masa krisis bulan Mei 1998. Sehingga ia juga mengalami chaos secara langsung. Isi surat Dimas yakni merasakan bahwa tidak lama lagi ia akan pulang selama-lamanya. Termasuk keinginannya untuk dimakamkan di daerah perkebunan karet, dekat dengan makam Chairil Anwar.<br /><br /><i>(Ruang Pribadi, 30 Juni 2015)</i>MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-2269610737063134152015-06-30T23:47:00.002-07:002015-06-30T23:47:52.045-07:00SempoyonganMiskin baru saja ikut puasa. Pertama kali pula. Padahal usianya kini
sudah 20 tahunan. Ditambah lagi, ia islam semenjak dalam kandungan.
Kedua orang tuanya menikah dengan berikrar dengan diawali syahadat. Pun
saat usia kandungan 6 bulan. Keluarganya mengundang seorang mubaligh
untuk ceramah syukuran. Saat lahir, kedua telinganya didahului deng<span class="text_exposed_show">an adzan dan iqomah.</span><br />
-----<br />
Tentu
saja, sebagai kawan yang baru kenal, saya cukup takjub mendengar
pengakuan dari Miskin. Katanya, seminggu sebelum ramadhan tiba, ia
bermimpi ke dua orang tuanya yang telah lama meninggal. Dalam mimpinya,
ia disuruh puasa. Maka, Miskinpun puasa. Karena baru saja belajar
puasa, maka sudah pasti ada banyak hal kejadian yang menimpanya. Waktu
sahur pertama kali, ia ngotot untuk meneruskan tidur. Ia meyakinkanku
kuat puasa meski tidak sahur. Sebelum kujelaskan perintah saur itu
sunah rosul, dengkur Miskin sudah lebih dulu terdengar. Hasilnya?
Sekitar pukul 11 wajahnya pucat. Ia bilang jika dirinya sangat lapar.
Haus juga. Ia juga menyesal tidak menurut kata-kataku untuk sahur.
Karena tak tega, kusuruh saja dia berbuka ketika adzan dhuhur
berkumandang.<br />
--------<br />
"Aku mau puasa terus Gus. Kamu gimana sih?" katanya sembari memandangku minta penjelasan.<br />
--------<br />
Segera
saya jelaskan padanya, jika ada sebagian yang baru belajar puasa
dimulai dengan puasa dhuhur dulu. Ternyata penjelasanku ini membuatnya
mengerti. Lebih tepatnya bersemangat. Segera saja dia minum, lalu makan.
Setelah shalat dhuhur, kulihat wajahnya mulai berseri kembali.<br />
-------<br />
"Gus, ternyata Tuhan tak meyulitkan umatnya ya"<br />
-------<br />
Saya kaget mendengar celetukan Miskin. Nada bicaranya sangat datar, sangat biasa. Kembali saya menelan ludah.<br />
"Justru
yang mempersulit itu ya kita kita ini. Coba saja, perintah shalat.
Kalau tak kuat berdiri, sambil duduk. Tak juga kuat, sambil tidur."<br />
"Tapi gus, apakah saya dosa jika baru kali ini puasa. Sementara di tahun tahun lalu, tak pernah puasa."<br />
--------<br />
Saya berpikir sejenak. Ternyata saya tak bisa merumuskan jawaban baginya.<br />
"Lain
kali tanya sama ustaz Sanusi saja mas. Saya juga tak begitu paham
detail masalah serumit macam itu. Saran saya, puasamu kali ini tolong
dijaga. Kalaupun awalnya puasa karena mimpimu, mari meluruskan niat.
Puasa lillahi ta'ala.." saya terkejut dengan ucapanku sendiri. Kesannya
menggurui. Padahal terkadang puasaku juga tercampur hal hal di luar
keilahian. Saat itu juga aku celingukan. Miskin telah lenyap dari
hadapanku.<br />
"Gus, antum masih di sini?"<br />
Suara syahdu ustad Sanusi membuatku terkejut. Buru buru saya menyalaminya.<br />
"Ustad. Afwan, ana baru saja ngobrol dengan Miskin soal..?"<br />
"
Lho, antum yang benar saja. Saat saya menuju masjid hendak shalat,
saya dikejutkan oleh sebuah kejadian. Miskin ditemukan beberapa warga
mengapung di sungai. Ia meninggal. Kini jenazahnya di puskesmas, masih
diperiksa polisi. Tadi saya ikut evakuasi."<br />
--------<br />
Kata
kata yang meluncur dari bibir ustas Sanusi, serupa meriam. Membombardir
seluruh isi tubuhku. Tulang tulangku berdenyut. Saya merasa linglung.
Semua serba gelap.<br />
<br />
"innalilahi" ujarku lirih. Air mataku tiba tiba berjatuhan begitu saja.<br />
--------<br />
Belum
sempat berkata lagi, ustad Sanusi sudah berjalan menuju masjid. Sekuat
tenaga saya menguatkan tubuh, lalu berjalan sempoyongan menuju ke arah
ustad Sanusi berjalan.<br />
--------<br />
(Prambon, 28 Jun 2015 23:25:01)MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-23374132079519876252015-06-30T23:46:00.004-07:002015-06-30T23:46:48.869-07:00YatimYatim selama Ramadhan, tepatnya hingga dua minggu ini, sudah
mendapatkan undangan buka bersama sebanyak sepuluh kali. Sesuai dengan
namanya, Yatim, memang benar-benar yatim dalam artian yang sesungguhnya.
Ayahnya meninggal semenjak Ia masih dikandung Ibunya. Konon, Ibunya
yang tak kuasa merawatnya menitipkan di panti asuhan. Hingga kini,
Ibunya ker<span class="text_exposed_show">ap berkunjung ke panti. Sebuah
perjanjian dengan panti, membuatnya harus menunggu usia 30 tahun untuk
mengambil buah hatinya. Sedangkan Yatim kini baru berusia empat tahun.</span><br />
<br />
Panti
asuhan yang menaunginya bernama panti asuhan Sederhana. Sesuai namanya
yang sederhana, Yatim hidup bersama rekannya dengan amat sederhana.
Bahkan cenderung mendekati kekurangan. Sebenarnya pantinya memiliki
banyak donatur. Panti Sederhana bahkan sudah buka cabang di empat kota
besar. Yatim tinggal dengan enam belas anak yatim piatu. Kisahnya
macam-macam. Pada intinya mereka membutuhkan bantuan. Sedangkan pengurus
pantinya berjumlah sepuluh orang. Jadi, bantuan yang ditujukan kepada
anak panti, sepersekian diolah juga untuk menggaji sepuluh pengurus.
karena mereka mengurus panti bukan karena mereka peduli, tetapi lebih
tepatnya mereka bekerja. Dan hal yang demikian bukanlah sebuah
kejahatan.<br />
<br />
Sore itu, di undangan yang kesebelas, panti
asuhan Sederhana akan menghadiri sebuah undangan buka bersama dengan
seorang pejabat di kotanya. Karena kuota peserta buka seratus orang,
maka pengelola panti mencari tambah sisa peserta. Mengingat panti
Sederahana hanya memiliki 16 penghuni. Namun dalih pengurus, penghuni
panti dibedakan menjadi dua. Yakni aktif dan pasif. Penghuni aktif
berarti mereka memang hidup full di panti. Sementa pasif, tetap tinggal
di rumah orang tuanya. Penghuni pasif biasanya mendapat bantuan rutin
bulanan. Semisal biaya sekolah dan lainnya yang memang diperlukan. Jadi
menurut data yang ada di meja tata usaha, di kota S penghuni panti
mencapai 200 orang.<br />
<br />
Dengan iring-iringan mobil yang
menjemput mereka, peserta buka persama menuju rumah pejabat itu. Yatim
dan kawan-kawannya memakai baju stelan putih-putih. Dibagian belakang
baju, tertera nama panti asuhan lengkap beserta alamat dan rekening
donasi. Di bagian depan, sebuah logo dan sebuah motto: saling
berbagi-sangat berarti. Karena letak panti Sederhana agak menjorok ke
pinggiran kota, maka perjalanan menuju pusat kota bisa dibilang cukup
lama. Ditambah lagi cita rasa jalanan kota, macet.<br />
<br />
Pejabat
itu telah menyiapkan jamuan dengan istimewa. Tempat dan jamuan, serta
ustad yang memandu acara telah dipilih yang terbaik. Beberapa media
lokal telah berada di rumahnya sehari sebelumnya. Tuan rumah telah
menyiapkan reservasi buat mereka. Sembari menunggu kedatangan anak
panti, pejabat tersebut melakukan prosesi wawancara. Sesi dibuka oleh
asisten pribadi si pejabat. Wartawan-wartawan yang telah menginap inipun
antusias menanyai si pejabat.<br />
<br />
"Bapak, saya salut dengan
aktivitas sosial ini. Selain jamuan dan persiapan yang serba istimewa,
nampaknya Bapak juga memiliki alasan tersendiri dengan menggelar acara
ini?"<br />
<br />
"Silakan satu lagi penanya. Baik, yang pake peci biru."<br />
<br />
"Terima
kasih moderator. Bapak, apakah acara seperti ini rutinitas tahunan atau
pada waktu tertentu saja? Semisal ada pilkada atau sejenisnya?"<br />
<br />
Ruangan yang sebelumnya riuh, menjadi hening seketika. Wartawan berpeci biru menjadi sasaran perhatian.<br />
<br />
"Maaf, dari media mana mas"? ujar asisten si pejabat.<br />
<br />
"Mohon maaf, saya dari Delik Deluk Press. Maaf sedikit terlambat dari undangan. Saya baru saja datang."<br />
<br />
Si pejabat mukanya menjadi masam. Asisten langsung bersikap cepat.<br />
<br />
"Baiklah, sesi pertanyaan ditambah menjadi lima penanya"<br />
<br />
Pertanyaan
basa-basi seperti yang telah direncanakan segera diutarakan. Muka si
pejabat agak lebih ceria. Saat menjawabpun, pertanyaan nomer dua
diletakkan di bagian akhir. Sampai akhirnya sesi wawancara tiba-tiba
dipotong oleh beberapa security.<br />
<br />
"Maaf, Tuan. Di luar ada polisi. Hendak menemui Tuan."<br />
<br />
Si pejabat dengan nafas mendengus keras, segera bangkit dan menuju ke pintu utama. Kemarahan sekaligus kejengkelannya menyatu.<br />
<br />
"Mohon maaf Pak. Apakah Bapak akan mengadakan buka bersama dengan 100 anak yatim piatu dari Panti Sederhana?"<br />
<br />
Pejabat yang dipenuhi dengan kejengkelan itu hanya mengangguk.<br />
<br />
"Kalau begitu, Bapak harus ikut kami sekarang juga."<br />
<br />
"Hei,
apa-apaan ini. Sudah menganggu ketenanganku, sekarang kamu
menyuruh-nyuruh saya. Belum tahu kalau aku bisa merekomendasikan kalian
agar kamu kamu dimutasi. Saya ini kenal dengan pimpinan kalian."<br />
<br />
"Mohon
maaf Bapak. Rombongan dari panti Sederhana, jam 15.00 sebagian terlibat
kecelakaan. Dari empat mobil, hanya satu mobil yang lolos dari
kecelakaan maut. Semua korban berhasil dievakuasi, namun sebagian
nyawanya tak bisa tertolong"<br />
<br />
Wartawan yang dari tadi
rupanya mengikuti si pejabat, langsung menyerang polisi dengan berbagai
pertanyaan. Dari dalam rumah, Pak Ustad berlari tergopoh-gopoh menuju ke
tempat keributan. Suara musik religi segera berkumandang. lamat-lamat
dan semakin keras.<br />
<br />
(Prambon, 22 Juni 2015)MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-53183352797565063072015-06-16T02:50:00.000-07:002015-06-16T02:50:01.163-07:00Nyanyi dan Nyinya Menjelang Ramadhanbendera sudah ditancapkan pada bilur-bilur dosa<br />
----yang lain keukeuh menyebut <i>taubatan nasuha</i><br />
melambai-lambai dihujani semilir senja<br />
yang bergerak menuju arah matahari tenggelam<br />
----sementara malam sibuk merias alisnya yang kini dipertebal beberapa centi<br />
<br />
senja ramadhan, ada di wajah-wajah yang ramai<br />
dibicarakan di multi forum<br />
----bahkan televisi telah menyiapkan beragam <i>agenda</i> berbaju syariah<br />
<br />
senja ramadhan adalah harga<br />
:yang mana tausiyah pak ustaz menjadi berlipat rupiah<br />
:yang mana sembako merangkak pelan-pelan memenuhi garis inflasi<br />
:yang mana penebusan dosa dari 11 masa yang telah seenaknya berlalu<br />
:yang mana sifat rakus hanya dihalalkan saat Maghrib tiba<br />
<br />
ini adalah nyanyi<br />
sekaligus nyinya<br />
namun segeralah bergembira<br />
bila dan jika usiamu kembali bertemu<br />
juga tak ada garansi<br />
nyanyi dan nyinya ini<br />
di edisi mendatang<br />
<br />
bernyanyilah!<br />
bernyinyalah!<br />
<br />
Ramadhan mubarak...<br />
<br />
<i>(Prambon, 16 Juni 2015)</i>MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-31471409504955121052015-06-16T02:25:00.001-07:002015-06-16T02:25:23.336-07:00Bulik Romlah Sebelum aku meninggalkan kampung kelahiranku, barang sejenak kuhirup
udara siang itu. Udara yang sejuk. Aku pasti mengingatnya. Kehidupan
selalu menampilkan cara-cara yang susah ditebak. harusnya aku masih di
sini. Bersama bapak dan ibu. Bersekolah. Membantu Ibu jualan. Membantu
bapak di ladang. Namun, roda zaman berputar dengan cepatnya. Putarannya
kini melindas keluargaku. Setelah Bapak, kini Ibuku yang berjumpa dengan
Allah. Dari piatu menjadi yatim piatu. Sebatang kara. Usiaku beberapa
hari lagi menginjak 14 tahun. Kini, setelah kesedihan dan kenangan mampu
kuredam, saatnya aku akan mencari pengalaman baru. Ke Surabaya. Bekerja
bareng bulik Romlah. Entah bekerja apa, yang penting hidupku yang
masih segini ini tak boleh sia-sia.<br />
<br />
Kami berangkat. Naik ojek
dari desa. Bukan tukang ojek asli, tapi tetangga yang diminta antar ke
terminal. Tentu saja tidak gratis. Lagian siapa mau kalau gratis. Zaman
seperti ini, sekekeluargaan model manapun, rupiah tetaplah
diperhitungkan. Aku bersama Lek Satino. Bulik Romlah dengan Cak Sadi.
kami berjalan beriringan. melintasi jurang cukup curam. Melewati balai
desa. Melewati sekolah SDku. Sampai kemudian kami telah melewati
perbatasan desa. Tak kurasa, air mataku rontok. Bepergian jauh, memang
tak pernah teradi padaku. Sampai 14 tahun usiaku, paling jauh ya ke
pasar Lumajang. Itupun bersama Ibu. maka peristiwa hari itu menjadi yang
melodramatis. Ketika sampai di terminal, aku sibuk meneringkan air
mata.<br />
<br />
"kamu menangis Parti?" suara bulik memcacah telingaku,
Keibuan. Aku hanya diam saja. Menenteng tas menuju ruang tunggu.
Sebenarnya bukan ruang tunggu yang sempurna. kami tak masuk ke terminal.
Terminal Minak Koncar merupakan terminal kecil. Penumpang kebanyakan
menunggu di pintu ke luar. bahkan bus yang datang dari arah Jember,
jarang juga yang masuk terminal. Ini berbeda dengan bus dari arah
Surabaya yang selalu atau sebagian besar masuk terminal. Di bus aku
lebih banyak diam. Tidur. maklum, pengalaman pertama. Mualnya minta
ampun. Pusing. beberapa kali mulutku mengeluarkan cairan. Aku mabuk
darat. Bulik menggosok perut dan leherku dengan minyak angin. Biar
hangat katanya. Sepanjang perjalanan aku hanya tidur. Mual.<br />
--------------------------------------<br />
Saat mata ku buka, warna hitam legam berpendar. Sekujur tubuhnya terasa
ngilu. Kepalaku, tanganku, kakiku, badan. Beberapa saat pandangan hitam
menjadi ambyar. Perlahan warna itu memudar.<br /> "Dok, dia sadar" suara
perempuan. Tiba-tiba bayangan bulik Romlah menguat. Saat mataku sudah
benar-benar berfungsi, kudapati diriku berada di sebuah ruang yang mirip
rumah sakit. Tidak salah, ini memang rumah sakit. Ruangan ini dipenuhi
oleh banyak orang. Kulihat ada yang sesenggukan. Menangis. Berteriak.
Aku baru sadar, aku tak mengenakan baju lurik peninggalan Ibu lagi. Baju
baru, mirip baju Lek Sudar saat akan operasi dulu. Pikiranku merancau.
bayanga Bulik melintas. Sangat dekat.<br /> "Adik, badannya masih sakit?" lelaki berbahu putih menanyaiku sembari tersenyum.<br /> "Ini berapa?" sambil mengacungkan dua jari.<br /> "tiga" kataku lemah.<br />
"Adik istirahat dulu ya. nanti akan saya cek lagi." tanpa menunggu
perimbanganku, lelaki senyum indah itu beranjak meninggalkanku.
Menjumpai beberapa orang yang terbaring di sebelahku.<br /> "Bus yang mbak
tumpangi kecelakaan. Menabrak sebuah truk besar." seorang perempuan
memberitahuku. Informasi ini telak menghujam ke tubuhku yang sudah keok.<br />
<br />
Kejadian itu, masih terus membekas di ingatan. Bulik Romlah
menjadi korban meninggal, bersama hampir separuh penumpang lainnya. Saat
kesehatanku mulai pulih, tak kudapati Bulik. Menurut salah satu
perawat, korban meninggal sudah dikirim ke alamat sesuai KTP. Saat itu,
aku lebih memilih meninggalkan rumah sakit tempatku di rawat diam-diam.
Tak terbersit keinginan untuk kembali. Kemana kaki melangkah, ke situlah
tubuhku mengikuti. Anak perempuan desa, yang tak punya pengalaman sama
sekali, berkeliaran di kota sendirian. Di sebuah jembatan, masih ingat
dalam kepala, tubuhku dikeroyok oleh dua lelaki muda. Digerayangi
seluruh tubuhku. Baju dan celanaku dilucuti. Aku hanya bisa menangis.
Dua lelaki itu semakin beringas saja. Sampai kemudian, sebuah teriakan
dan suara berdebum membuat dua lelaki yang menindihku terlempar.
Pahlawan yang menolongku, membawaku. menjauhi tempat itu. Merawat
luka-lukaku. Sehingga suatu saat, dia juga meniduriku.
Berkali-kali.Berulang-ulang.<br />
<br />
<i>(21/2/2014/ruang kerja)</i>MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-18480503906110204192015-06-16T02:18:00.003-07:002015-06-16T02:22:38.501-07:00Tak Ada Suara Aku memasuki pelataran rutan. Mengikuti aturan kunjungan.
Menyerahkan KTP. Lalu menunggu antrean. Ketika giliran, kami masuk pintu
terali itu. Diperiksa seluruh tubuh. Untuk wanita, pemeriksaan oleh
sipir wanita. Disediakan kelambu. Lalu diraba-rabalah tubuhku.<br />
"Dompetnya silakan dikeluarkan" Aku nurut saja. Setelah digeledah, aku
melangkah menuju pintu berikutnya. Giliran tanganku kena stempel. Lalu
melenggang menuju kerumunan penghuni lapas dan tamunya.<br /> "Sarno.."
suara itu berasal dari arah kiri. Kulihat tangannya melambai-lambai. Aku
terhenyak. Wajahnya tidak berubah. Oh tidak, jenggot dan kumisnya
tampak lebih lebat. Rambut gondrongnya berubah polos, botak.<br />
<br />
Aku
duduk di tengah kerumunan orang. Duduk di hamparan karpet. Para napi
kompak memakai kaos biru. Sehingga akan nampak beda antara pembesuk dan
mereka. Waktu yang diberikan untuk bercakap tidaklah lama, sekitar 30
menit. Karena di luar sudah berjejal pembesuk gelombang berikutnya.<br /> "Aku ada kabar buatmu."<br />
"Ah, tidak usah kamu berkabarlah. Aku sudah tahu semuanya." Bagiyo
menghembuskan napas panjang. Di matanya, terpancar keputus asaan akut.<br /> "Ini tentang istrimu. Mirnah. Dia.." lidahku kelu.<br /> "Sudahlah Sarno. Biar aku di kerangkeng jeruji besi, tapi informasi secuil apapun dari Mirna ku ketahui"<br />
"Mungkin. Tapi, ini bukan yang santer beredar lho ya. Mirna tidak hanya
melacur, tetapi kini ia menjalin hubungan dengan mertuanya. Bapak.."
Kulihat mata Bagiyo nyalang. Tubuhnya bergetar hebat. Tangannya
mengepal. Ia menatapku tajam.<br /> "Biadab." desisnya. Nadanya ditekan sedemikian rupa.<br /> "Apa yang harus aku lakukan?"<br />
"Perintahkan Sutali untuk memberi pelajaran pada dua manusia bejat
itu." kali ini nadanya tak bisa di kontrol. Rupanya ini membuat seorang
sipir mendekat. Persis, jam kunjung telah habis.<br /> ------------------------------<br />
Meski Subagyo dibui hampir dua tahun, tetapi ketua komplotan kakap
perampok ini masih bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Termasuk
mengondisikan anak buahnya untuk terus bekerja. Dia ditangkap saat
menjarah rumah kapolsek Mojokitir. Saat itu empat orang berhasil
diringkus. Bagiyo mendapat dua tembakan di kedua kakinya. Lalu keluarlah
vonis, delapan tahun kurungan. Saat ini memasuki tahun kedua. Sementara
keluarganya kini cerai berai. Istrinya melacur. Bahkan, mertuanya
sendiri diembat. Entahlah, siapa yang lebih dulu memulai. Berita itu
tiba tiba menyebar begitu saja. Pergunjingan semakin deras saja. <br /> "Sarno.." aku menoleh ke belakang. Sutali dan beberapa kawannya berjalan ke arahku. kebetulan yang sangat ditunggu.<br />
<br />
Aku ceritakan semua kepada Sutali. Lelaki kerempeng itu manggut-manggut.<br /> "Apa rencanamu?" tanyaku padanya. Dia menatapku dengan dingin.<br />
"Rencanaku adalah rencanaku. Kamu tak berhak tahu" jawabnya ketus. Ada
rasa khawatir menyelinap di dalam hati. Apakah ini berarti Mirna akan
dibunuh, atau mertuanya. Mungkin keduanya. Ah, atau atau lainnya. Saat
hendak membuka suara, tak terlihat lagi Sutali. Aku celingukan.
begundal-begundal itu seperti ditelan bumi. Kuputuskan untuk ke rumah
Mirna. Siapa tahu, Sutali menuju ke sana. Aku merutuki kebodohanku yang
ceroboh.<br />
<br />
Rumah Mirna, atau bisa juga disebut rumah Bagiyo
sepi-sepi saja. Tak ada kegaduhan. Kucoba untuk mengitari rumah bambu
itu. Di bagian belakang, aku mengendap di antara phon-pohon sengon yang
cukup rimbun. Sebagai ketua geng bajingan, rasanya tak elok jika rumah
bagiyo masih seperti ini. Dia bahkan bisa membangun istana di desa ini.
Tapi itu tak dilakukannya. Uang hasil anunya, lebih banyak dihamburkan
untuk hal-hal yang sama sekali tak memberi imbalan untuk masa depan.
Hah, tapi mungkin inilah konskuensi uang haram. Selalu ada cara untuk
cepat habis dan sama sekali tak berguna. Kadang-kadang, aku tak habis
pikir dengan sikap keluargaku. Subagyo, kakakku, menjadi bajingan
tengik. Meneruskan kuasa bapak yang pensiun. Sementara aku,
terombang-ambing tidak jelas, Tak pernah punya kuasa sedikitpun.
Bajingan tidak, malaikat juga bukan. Abu-abu. Segera kubuang
pikiran-pikiran itu saat merapat ke bagian belakang rumah Mirna. Sama
saja, tak ada suara. Senyap. Saat hendak pergi, kucuri pandang dari
lubang didinding bambu belakang. Sutali telanjang, bersama rekannya.
Juga ada bapak, Mirna. Semua telanjang. Tak ada suara.<br />
<br />
<i>(Prambon, 18 Februari 2015) </i>MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-40604866778699885132015-06-16T02:17:00.000-07:002015-06-16T02:17:02.312-07:00Neraka Masih pagi. Rudianto sudah dua kali tangannya menghajar pipi
istrinya. Rukmini, anak semata wayangnya, menjerit jerit. Ibunya hanya
mampu bersimpuh dilantai. Memegangi kedua pipinya. Air matanya
membanjir.<br />
"Aku ini suamimu Ni. Kalau ndak boleh, ya nurut saja. Apa
susahnya. Cukup aku yang bekerja. Kamu di rumah saja. Rawat Rukmini
baik baik."<br />
<br />
<div class="text_exposed_show">
Seperti biasanya, hari
itu Rudianto bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik. Gajinya yang
segitu melulu, membuat Marni ngotot ingin bekerja. Apalagi anak mereka
kini sudah mulai bersekolah SD. Maka gaji yang segitu tadi harus dibagi
bagi sedemikian rupa. Akhirnya, hutang menjadi pilihan yang harus
diambil. Lalu masalah timbul, ketika hutang sudah numpuk. Ketika penagih
penagih itu melabrak mereka dengan kata kata pedas. Rudianto sama
sekali tak tuli. Ia tahu pasti ekonomi keluarganya. Tetapi sampai sejauh
ini, apa yang diusahakannya tak satupun membuahkan hasil.<br />
<br />
Menampar istri, barangkali perbuatan biadab. Rudianto memahami itu.
Selama ini, tak pernah ia menggampar istrinya. Maka, siang itu
pikirannya dibalut kegelisahan. Ingin sekali pulang dan menjelaskan
banyak hal pada Marni. Meski kemudian ia tahu, istrinya akan tetap kukuh
dengan kebenaran yang dipegangnya sendiri. Diam diam, ia mulai
menyalahkan diri sendiri. Harusnya, sebagai kepala keluarga ia dapat
membuat istrinya bahagia.<br /> ----------------------<br />
"Kamu serius?"<br /> aku tergagap. <br />
"Sudahlah, jangan bimbang. Imbalannya lebih besar dari pada gajimu saat
ini. Kamu harus rapi, cermat, dan jenius" Sahabatku ini telah
menawariku sejak beberapa bulan lalu. Namun dengan dalih macam macam aku
halus menolaknya. Saat ini aku butuh duit untuk keluargaku. Tak ingin
lihat Marni bekerja. Biar cukup saja aku yang bekerja.<br />
<br />
Aku
keluar dari rumah itu dengan perasaan berbeda. Resmi sudah aku jadi
kriminal. Mulai hari ini dan entah sampai kapan. Sebagai pengedar obat
obatan terlarang, petualanganku akan segera dimulai. Wajah Marni
membayang di kepala. Sesaat kemudian Rukminiku tersenyum ringkih di
pelupuk mata. Dalam hati banyak kugelar untuk kemakmuran keluargaku.
Setidaknya aku bersiap masuk neraka.<br />
<br />
<i>(Krian, 12 Februari 2015) </i></div>
MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-29655328807176585092015-06-15T20:19:00.003-07:002015-06-15T20:19:27.224-07:00Sempurna<div class="_5k3v _5k3w clearfix">
<div>
“Aku sudah menyumpal mulutnya. Membuatnya bisu selamanya”<br />
“Apa maksudmu Goni?”<br />
Laki-laki
yang dipanggil Goni tertawa keras. Tubuhnya berguncang-guncang hebat.
Dari mulutnya, air liurnya mirip air terjun. Terjun bebas menuju bumi.
Setelah tawanya reda ia kembali menggulirkan perbincangan.<br />
“Ketauilah
Bud. Aku telah membunuh Margan. Tepat ketika suaramu melantun di
mushola tadi sore.” Budiman terlonjak dari tempat duduknya.<br />
“Aku telah menyumpal mulutnya selamanya”<br />
“Apa maksudmu Gon? Aku tak paham?” Budiman bergetar suaranya.<br />
“Ku
pikir orang seperti kamu sudah jauh mengerti dengan apa yang barusan
kuucapkan. Kamu senang bukan?” Goni tertawa lagi. Suaranya memecah
kehingan malam itu.<br />
“Gila, bagaimana kamu bisa..”<br />
“Itu terlalu gampil buatku. Reputasiku dalam hal beginian tak perlu kau ragukan.”<br />
“Lalu..?”<br />
“Budimanan budiman. Seharusnya kamu paham. Aku mengerjakan semuanya untuk memuluskan rencanamu.”<br />
“Tapi aku tak menyuruh” suara yang keluar dari mulut Budiman masih bergetar.<br />
“Pada
orang lain kamu bisa berbohong kawan. Tapi jangan harap bisa melakukan
itu padaku.” Suara Gogon kini lebih pelan. Ada penekanan disetiap kata
yang diucapkannya.<br />
<br />
Budiman diam. Ia memikirkan apa yang
akan terjadi selanjutnya. Ketika mayat Margan ditemukan, pastilah gempar
kampungnya. Sebagai satu-satunya pesaing kuat di pilihan kepala desa
tahun ini, pastilah kecurigaan padanya akan muncul dengan sendirinya.<br />
“Kamu
sembrono Gon. Bagaimana kalau mereka menuduhku terlibat dalam
pembunuhan. Risikonya besar.” Kali ini terselip kemarahan yang ditekan
sedemikian rupa.<br />
<br />
Goni memandang lurus ke depan. Sama
sekali tak berubah wajahnya. Ia tetap tenang seperti mulanya. Kedua
lelaki itu sama-sama diam.<br />
“Sudahlah, semua sudah terjadi. Kamu atur yang baik” suara lunak Budiman mengakhiri pertemuan malam itu.<br />
***<br />
Hari
itu kampung Budiman geger. Calon kepala desa, Margan, ditemukan tak
berdaya di pinggir hutan oleh seorang pemburu. Bukan sekadar tak
berdaya, tapi juga sudah tak bernyawa. Polsek setempat langsung
menangani evakuasi jenazah. Sementara isu penyebab kematian masih
simpang siur. Pihak keluarga nampaknya menginginkan almarhum untuk
segera dikebumikan. Urusan ini itu tampaknya dikesampingkan. Untuk
sementara semua warga fokus pada prosesi penguburan jenazah. Termasuk
juga Budiman nampak di kerumunan warga.<br />
<br />
Ternyata yang
menghadiri pemakaman luar biasa banyaknya. Mungkin karena almarhum
dikenal sebagai pribadi yang baik, atau di sisi lain rasa keingintahuan
warga yang membuat pelayat meledak jumlahnya. Setelah pemakaman, kelurga
minta bantuan polisi untuk menyelidiki kematian Margan. Istrinya,
terus-terusan menangis. Kakak Margan menjadi juru bicara kali itu.<br />
<br />
“Kami
pikir Pak, ini harus diusut sampai tuntas. Supaya tak ada prasangka
yang macam-macam.” Sementara polisi melakukan invetigasi, isu penyebab
meninggalnya calon lurah menggelinding di akar rumput. Setiap orang
membicarakannya, tak peduli waktu. Dugaan-dugaan bermunculan. Tapi
seperti yang ditakutkan Budiman, muncul juga. Ada sebagian kelompok
warga yang mengatasnamakan pendukung garis keras menudingnya pelaku di
balik kekejian itu. Mereka beralasan, kerap kali sejauh ini keduanya
sering bertikai. Apalagi sebentar lagi keduanya akan bertarung di ajang
pilkades.<br />
<br />
Perang dingin opini sudah digulirkan. Loyalis
Budiman tentu tak menerima apa yang lawannya tuduhkan pada jagoannya.
Mula-mula lewat saling serang pendapat. Tak jarang berdebat. Hingga
kemudian kontak fisik. Tepatnya tiga hari pasca meninggalnya Margan.
Baku hantam tersebut terjadi malam hari di sebuah tanah lapang yang jauh
dari rumah penduduk. Keduanya benar-benar menyiapkan segala sesuatunya.
Batu, panah, pentungan, mercon. Suara lengkingan jerit semangat dan
kesakitan membakar malam itu. Tak pelak, kegaduhan tersebut memancing
penduduk untuk merapat ke lokasi. Pada puncaknya, anggota polsek
memberikan tembakan peringatan.<br />
<br />
Kondisi malam hari yang
gulita menyulitkan pihak kepolisian untuk mengamankan pihak bertikai.
Karena begitu suara tembakan berbunyi, kedua loyalis langsung mengambil
langkah seribu. Begitulah terjadi beberapa kali di hari selanjutnya.
Sehingga pemuka desa segera mengambil sikap atas kerusuhan yang terjadi.
Sambil menunggu penyelidikan polisi selesai.<br />
<br />
“Pertemuan
kali ini amatlah penting untuk dilaksanakan. Keadaan sudah darurat.”
Budiman mengawali pidatonya di balai kelurahan. Sore itu, para pemuka
desa hadir.<br />
“Sepenuhnya kami serahkan untuk eyang Subur untuk mulai.” Budiman mengambil duduk di depan bersama <em>pinisepuh</em>.<br />
“Saudaraku” Suara eyang Subur sedemikian berat. Ada keprihatinan yang tampaknya menggerogoti tubuh rentanya.<br />
“Ini
baru pertama, terjadi pembunuhan di kampung yang kita cintai ini. Tidak
tanggung, korban kali ini merupakan calon lurah. Sehingga sampai sejauh
ini, di beberapa tempat kerap terjadi kerusuhan. Terjadi anarkis.
Sebagai orang yang sudah bau tanah seperti saya, prihatin sekali lihat
kejadian semacam ini.” Terdiam sejenak. Eyang Subur menghirup napas
panjang,lalu mengeluarkan perlahan. Lelaki renta ini amat dihormati.
Hanya ia yang masih hidup, dari beberapa orang yang turut babat alas
kampung Dongus.<br />
<br />
“Ini negara hukum. Sudah sewajar dan
seharusnya kita taat hukum. Biarkan polisi yang menyelidiki. Bukan malah
main pukul dan hajar. Kalau apa yang beberapa hari ini kita biarkan,
bukan tidak mungkin akan pecah perang saudara.” Berhenti sejenak
memandangi warga yang turut serta dalam rapat darurat tersebut.”<br />
<br />
“Eyang jangan banyak berkhotbah. Apa solusinya?” suara keras muncul dari arah paling belakang. Semua mata melahap pemuda itu.<br />
“Masalah
tak akan kelar kalau Cuma khotbah saja. Mari kita bergerak” tangannya
mengepal. Semua yang hadir langsung ribut. Eyang Subur yang bergetar
menahan amarah, hanya bisa mengatupkan mulutnya. Sorot matanya yang dulu
garang, kini tak lagi kelihatan magisnya.<br />
“Saudaraku, tolong hormati Eyang.” Budiman berdiri. Suaranya keras. Menggelegar. Sontan, yang hadir diam.<br />
“Saya tahu ini negara demokrasi. Semua bebas berpendapat. Bebas <em>nggacor</em>. Tapi ingat, jaga tata krama. Eyang ini panutan kita”<br />
“Hai
pembunuh. Diam kamu. Seharusnya kamu yang dibakar hidup-hidup.” Pemuda
itu makin beringas. Mata nyalangnya melahap habis Budiman.<br />
Beberapa
warga yang dekat dengan Budiman, langsung siaga. Dengan cekatan berdiri
dan memberi bertubi-tubi tinju ke wajah pemuda itu. Pemuda itu melawan.
Yang lain sepertinya tak mau kalah. Pertemuan untuk mencari mufakat itu
berubah menjadi arena adu jotos.<br />
<br />
Budiman memapah Eyang
Subur meninggalkan balai desa. Sementara baku hantam masih berlanjut.
Hingar bingar itu membuat warga yang mendekam di rumah masing-masing
menjadi penasaran. Tak berselang lama, balai desa itu sudah dipenuhi
warga. Melihat sanak keluarganya bonyok, menyulut anggota keluarganya
turun tangan. Demikianlah, perkelahian bukan semakin reda, tetapi
selebihnya semakin menjadi.<br />
<br />
Sementara itu, Budiman membawa
Eyang Subur menjauh dari arena adu jotos. Baginya, tak ada yang lebih
penting daripada nyawa tetua kampung tersebut. Karena dengan
menyelamatkan Eyang Subur, dirinya akan menjadi pahlawan. Jalan
kemenangan untuk menjadi kepala desa kian terbuka.<br />
“Eyang harus
bertahan” tubuh renta itu semakin dingin saja. Budiman memanggulnya
dengan bersemangat sekali. Ia sama sekali tidak tahu, di depan sana Goni
telah menyiapkan rencana yang amat sempurna.<br />
<br />
<em>(Markas Pribadi-Prambon, 3/5/15)</em></div>
</div>
MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-28379979084925981212015-06-15T20:18:00.002-07:002015-06-15T20:18:47.451-07:00MenangisKepalaku baru saja meledak. Meja ruang tamu, kubanting. Kursi,
televisi, setrika, juga turut serta. Sudah sejak lama ini, kusimpan
masalah demi masalah dengan hati-hati. Sejujurnya, aku benci pertikaian.
Namun, dinding kesabaranku sepertinya jebol. Aku kalap. Dan, saat
seperti ini, terengah engah sendirian di ruang tamu, rasa menyesal
menyelip ke <span class="text_exposed_show">permukaan. Kubayangkan selanjutnya, bagaimana perbincangan tetangga setelah kejadian ini. Mereka pasti menggunjingiku.</span><br />
<br />
Tapi
benarkah aku harus marah? Ranti, perempuan yang kunikahi hampir lima
tahun ini menjadi pemicunya. Beberapa bulan terakhir santer terdengar
jika dia tengah menjalin hubungan gelap dengan teman satu pekerjaan.
Kanan kiri telah mampir ke telinga. Sebagai suami yang memberikan lampu
hijau untuk istrinya bekerja, hal demikian haruslah disikapi secara
bijak. Aku mencoba bijak. Ketika kutanya Ranti, dia malah meyakinkanku
kalau cintanya hanya padaku.<br />
<br />
“Aku tak pernah mendua Mas.
Sumpah. Buat apa coba. Aku bahagia bersamamu.” Kata-kata itu
diucapkannya dengan penuh tekanan. Airmatanya keluar. Mengalir di
pipinya. Saat demikian, aku lebih percaya padanya daripada siapapun.
Maka semenjak itu, aku tak pernah mengungkitnya. Bagiku, saling percaya
merupakan kunci dalam menjalani ikatan pernikahan. Aku percaya dan akan
selalu percaya kepadanya. Semasa pacaran, bahkan sampai setelah
menikahpun.<br />
<br />
Ranti bekerja juga untuk membantu ekonomi
keluarga. Pekerjaanku sebagai penulis, tak selalu menjanjikan uang
banyak. Bisa dibilang, semenjak Ranti bekerja di pabrik, ekonomi
keluargaku kembali stabil. Dengan kondisi kebutuhan yang harganya kian
melambung, dituntut bisa tidak bisa untuk menambah penghasilan. Salah
satu alternatif, memberikan lampu hijau untuk Ibu dari anakku untuk
bekerja. Ketika sudah memutuskan demikian, pada awalnya risiko terburuk
akan ku terima.<br />
Namun sepertinya, kita terlalu mudah untuk
berencana. Memetakan keinginan kita dengan mudah. Seakan-akan hidup ini
kita sendiri yang mengendalikan. Aku masih mengingat apa yang aku lihat
sendiri tadi malam. Saat hendak mencari referensi kondisi malam di desa
sebelah untuk bahan pendalaman cerpen yang hendak kukerjakan, dinding
kesabaranku benar-benar diuji. Kulihat Ranti berboncengan dengan seorang
pria. Darahku langsung mendidih. Namun masih kupakai akal sehat. Aku
mengikutinya dengan diam-diam kemana mereka. Menurut jadwal kerja, malam
itu Ranti kerja shift malam.<br />
<br />
Ranti dan lelaki itu belok
ke sebuah rumah. Aku tak tahu rumah siapa, barangkali rumah lelaki
brengsek itu. Kuletakkan motorku di dekat pohon mangga yang menancap
rimbun di halaman sebuah rumah. Lalu mengendap menuju rumah yang dituju
Ranti. Tak cukup kesulitan, karena suasana yang gelap dan sepi membuatku
leluasa mendekati rumah tersebut. Dari balik jendela, aku memastikan
bahwa perempuan itu benar-benar Ranti. Ternyata benar. Cukup benar. Dia
Ranti istriku. Ranti ibu dari Ali, anak semata wayangku. Situasi seperti
itu hampir saja membuatku gelap mata. Namun kucoba sekuat tenaga untuk
mengontrol semuanya. Dengan perasaan campur aduk, seluruh badanku yang
gemetar, meninggalkan tempat itu.<br />
<br />
***<br />
<br />
Pagi
itu, Ranti menjerit ketika melihat ruang tamu berantakan. Ternyata tak
hanya ruang tamu, seluruh isi rumah seperti kapal pecah. Silang
sengkarut, sebagian hancur. Ia mencari kemana anak dan suaminya. Tapi
tak didapati keduanya. Padahal biasanya, keduanya sedang tidur ketika
dirinya pulang saat shift malam. Perempuan itu menduga-duga. Barangkali
kerampokan atau sejenisnya. Maka, dengan tangis yang masih melandanya,
ia menuju ke rumah tetangga. Meminta keterangan.<br />
<br />
“Saya tak
tahu pasti mbak. Tapi saya sempat medengar suara ribut dalam rumahmu.
Saya dan beberapa tetangga sempat menghentikan Mas Jadid yang
membanting-mbanting semua yang ia pegang. Tapi itu tak mampu
menghentikan semuanya. Tetangga hanya melihat sampai tuntas. Setelah
itu, Mas Jadid dan Ali pergi dengan tas besar. Bahkan, kami semua yang
dari tadi melihat aksinya, disalami satu persatu. Yang saya tahu, dia
meminta maaf semua kesalahannya yang telah dibuat.”<br />
<br />
Ranti
bukan main terkejut. Ia berusaha menduga-duga. Perempuan itu dengan
linglung kembali menuju rumahnya. Ia sepenuhnya tahu tabiat suaminya.
Tak mungkin akan bertindak kalap seperti ini jika tak ada sesuatu yang
serius menimpanya. Meskipun selama ini ia tidak sepenuhnya mencintai,
membayangkan kejadian buruk yang akan menimpanya ia belum dan mungkin
tidak siap. Lelaki pilihan keluarganya itu merupakan pribadi yang selalu
percaya dan mengerti kemauannya. Bahkan ketika desus perselingkuhannya
menguat, suaminya lebih percaya padanya.<br />
<br />
Kini Ranti merasa
sendiri. Ia rebahkan tubuhnya ditengah keriuhan perabotnya yang
sengkarut. Ia meratapi kekalahannya menutupi perselingkuhannya. Ali,
anak semata wayangnya mengendap endap di pelupuk matanya. Nampak
cemberut sambil memeluk lelaki yang sampai sejauh ini tidak sepenuhnya
dicintai. Ia tahu, tak ada gunanya menangis. Tetapi ia merasa perlu
menangis. Ranti menangis.<br />
<br />
<strong><em>(Markas Pribadi-Prambon, 29/4/15)</em></strong>MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-59156464236248367152015-06-12T09:05:00.001-07:002015-06-12T09:05:50.764-07:00Bukumu Juga Anumu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHmbD3b0wkWrmL-B8VlvlijrS1N48PfbWYSUyOr4WhZIRPABLH3iBK1Bt523aQ0OvvhDi_xb97623LiQ5H1wFTF1BiXZgc_LZlZ4kwaj8yjCTBDQBTej-WzoCgiximMgBnB2bsF9hrcII/s1600/kekuatan-buku-mengubah-sejarah-dunia.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHmbD3b0wkWrmL-B8VlvlijrS1N48PfbWYSUyOr4WhZIRPABLH3iBK1Bt523aQ0OvvhDi_xb97623LiQ5H1wFTF1BiXZgc_LZlZ4kwaj8yjCTBDQBTej-WzoCgiximMgBnB2bsF9hrcII/s320/kekuatan-buku-mengubah-sejarah-dunia.jpg" width="320" /></a></div>
Lama sekali saya abai terhadap buku sendiri. Semenjak menikah, terhitung beberapa kali mengumpulkan buku terserak. Menatanya dengan asal. Bahkan, buku-buku tersebut kesannya terlantar. Kondisi yang berdebu, ternyata membuat hatiku tersentuh. Sakitnya di sini, kata anak alay.<br /><br />Hari ini, (Jumat, 12/6/15), adegan bersih-bersih sepertinya tidak bisa ditunda. Kalau mereka yang hobi batu akik saja tiap hari menggosok barang kesayangannya itu, kenapa saya tidak bisa. Penggila burung bisa berlama-lama tiap pagi berkasih-kasih dengan burungnya. Ah, sesungguhnya faktor sibuk tak bisa dijadikan alasan. Toh, sesibuk apapun kalau diagendakan ya tentu saja bisa. Saya menyadari, hobi pencet-pencet smartphone menjadi kendala utama.<br /><br />Entah itu siang, malam, pagi, pencet-pencet terasa lebih esoy. Tidak bosan. Lha kok bisa? Maka, kembali ke isu utama, bersih-bersih buku tidak bisa ditunda. Buku-buku saya merupakan harta yang berharga yang kukumpulkan selama masa kuliah. Kendati uang pas-pasan, toh saya bisa melebihi impian dengan punya koleksi 100 buku. Meski mimpi sebenarnya, melebihi koleksi dosen saya. Apa ya bisa? Hmm, setelah rumah tangga, rutinitasku mengunjungi rumah kedua (toko buku) berkurang drastis. Kalau sudah begitu, jangan tanya beli buku. Sudah pasti amat sangat jarang.<br /><br />Buku-buku kukumpulkan dalam satu area. Sebeumnya terpisah-pisah. Sebenarnya ini inspirasi dari koleksi buku Mas Pana. Saya melihatnya saat "print out" thesis beliau di rumahnya. Koleksi banyak, bervariasi, dan rapi. Itulah salah satu dari alasan yang saya ungkapkan di atas. Nah, langkah awal, dari koleksi yang tercecer di beberapa tempat, saya kumpulkan di satu titik. Sebelumnya dibersihkan debu-debu yang membandel. Tentu tak pakai air. Haha<br /><br />Sebagai pembaharu agar disebut kekinian, saya mencoba digitalisasi buku. Caranya dengan mendata semua buku. Mulai barcode, kategori, judul, penulis, penerbit, dan tahun terbit. Tujuannya supaya ada data tentang buku-buku apa yang kupunya. Serta kelayakan buku. Karena ada beberapa buku lama yang kondisinya membuat hati pedih. Juga beberapa buku baru yang telah diserang rayap. Lebih menyedihkan. nah, sampai tulisan ini dibuat, proses digitalisasi masih berlangsung. Saya lakukan bertahap. Supaya lebih ringan dan tidak membosankan.<br /><br />Nah, kalau punya koleksi buku maka janganlah meniru kebiasaan buruk saya. Rawatlah bukumu seperti kamu merawat anumu.<br /><br />Salam..<br /><br />----------------------<br />Markas Pribadi, 12/6/2015MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-71372601193437633832015-06-12T09:00:00.000-07:002015-06-12T09:00:07.312-07:00Jika Saja Aku InginAku sudah menulis puisi untukmu<br /> Tepat ketika mataku terbuka pagi tadi<br />
<br />
Seperti biasanya,<br /> aku ingin membacakan untukmu<span class="text_exposed_show"><br /> Jika saja rupiah menguat menjelang ramadhan<br /> jika saja pssi-kemenpora berjabat muka<br /> jika saja ngaji di kaset menjelang adzan tak dipersoalkan pemerintah<br /> jika saja harga sembako tidak melambung begini</span><br />
<br />
<div class="text_exposed_show">
aku ingin membacakan puisiku<br /> tapi bukan kali ini<br /> bukan bulan ini<br /> bukan tahun ini<br />
<br />
aku ingin<br /> kamu setia menunggu<br /> sampai jika saja menjadi ada<br /> sampai yang tak pasti menjadi pasti<br />
<br />
mungkin<br />
<br />
-----------------<br />
Krian, 9/6/15 </div>
MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-79061871813411410732015-06-12T08:49:00.001-07:002015-06-12T08:49:35.827-07:00MungkinAku BisaMana mungkin aku bisa <br /> melupakanMu<br /> tidak untuk sedetik<br /> atau bilangan waktu hipermikro<br />
<br />
<div class="text_exposed_show">
aku adalah bagianMu<br /> yang paling renta dan hina<br /> --ahli menghujat<br /> dan memaki apa yang ada<br /> --tukang kibul<br /> dan memangsa apa yang tersedia<br />
<br />
adakah yang lain Tuhan?<br />
<br />
-------------------<br />
Krian, 11/6/15 </div>
MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-30518776521146134832015-04-26T05:44:00.000-07:002015-04-26T05:44:05.840-07:00Pendidikan ala Ma Yan(Resensi kali ini melebihi deadline. Sepanjang April, hanya #Mayan yang berhasil kubaca. Curhat sedikit ding, seperti biasanya. Terlalu sibuk dengan urusan yang sebenarnya bisa diakali bila manajemen waktunya yahud. Yah, rapor merah untuk bulan ke 4 di 2015 ini.)<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisPmWzb7Bw430T3leBT-DDVa-nTiSnUfxYBh1Yn1oLyspczYsYyhymCzKEbrIAz3pBebMocZvC6lK3tytunGBgquU6Qu6CYRWIgYpEDOObZKMQaydFndgkcnOoaynuJIyLCVkSd7vCfXM/s1600/Ma_Yan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisPmWzb7Bw430T3leBT-DDVa-nTiSnUfxYBh1Yn1oLyspczYsYyhymCzKEbrIAz3pBebMocZvC6lK3tytunGBgquU6Qu6CYRWIgYpEDOObZKMQaydFndgkcnOoaynuJIyLCVkSd7vCfXM/s1600/Ma_Yan.jpg" height="320" width="205" /></a></div>
<br />
<div style="text-align: center;">
Judul buku: Ma Yan<br />
Penulis: Sanie B Kuncoro<br />
Editor: Rahmat Widada<br />
Penerbit: Bentang<br />
Cetakan: I, 2011<br />
Tebal: 214 hlm.</div>
<br />
<b>Mayan</b>: <i>Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Pedalaman China untuk Meraih Pendidikan</i>, merupakan novel yang terbit di Mei 2011 yang ditulis oleh Sanie B. Kuncoro. Novel ini diangkat dari kisah nyata dalam sebuah buku <i>Diary Ma Yan </i>oleh Piere Heski dkk, yang menceritakan dengan detail kisah seorang perempuan kecil di Tiongkok (berupa semacam laporan jurnalis). Mengambil latar pusat cerita di Zhangjiashu, sebuah tempat terpencil dekat sungai Kuning di Cina. Novel ini mengisahkan dengan cukup menarik, perjuangan seorang anak perempuan dalam tekadnya untuk bersekolah. Di tengah kemiskinan yang mendera lingkungannya dan tradisi perempuan yang diduakan (maksud di duakan yakni posisi anak laki-laki merupakan kebanggaan), Ma Yan mencoba mendekonstruksi apa yang selama ini dianggap ganjil, bahwa pendidikan terutama bagi anak perempuan dapat memutus mata rantai kemiskinan sebuah keluarga.<br />
<br />
Mayan, juga mengisahkan bagaimana tekad sang Ibu yang dengan energi penghabisan mendukung putrinya untuk mencapai level pendidikan terbaik, meski lingkungan yang ditempatinya sangat tidak memungkinkan untuk itu. Keluarga petani miskin ini, dalam kesehariannya sangat kesusahan untuk sekadar makan. Jurus ampuh, menahan lapar, merupakan alternatif untuk menyiasati keadaan. Lalu bagaimana pada kondisi demikian terpikir untuk mendapatkan biaya sekolah yang (selalu) tinggi.<br />
<br />
Diceritakan dengan tiga sudut pandang berbeda. Pertama lewat orang ketiga, yakni Piere, redaktur sebuah koran dari Prancis. Kedua, orang pertama/aku (Ibu), dan ketiga, orang pertama/aku (Ma Yan).<br />
<br />
Cerita diawali dari sudut pandang ketiga, Piere yang sedang melakukan investigasi di pedalaman mendapati seorang perempuan miskin yang memberikan tiga buah buku catatan, milik anaknya. Melihat kegigihan perempuan tersebut, meskipun terkendala bahasa, Piere dan timnya akhirnya menerima buku tersebut. Meski tidak memahami tulisannya, Piere beranggapan jika dirinya dipercaya oleh pemberi untuk menyimpan, membaca, dan barangkali memberikan timbal balik.<br />
<br />
Selanjutnya, secara bergantian tokoh aku Ibu dan tokoh aku Ma Yan, mengisahkan perasaan, sikap, cita-cita dalam menjalani dera kemiskinan. Terkadang, untuk permasalahan yang sama, digunakan dua cara pandang. Saat Ma Yan disuruh berhenti sekolah karena masalah biaya, kita dapati dua persepektif yang memandangnya. Begitupun saat sang ibu memberikan buku catatan Mayan, pada orang asing yang tak dikenalinya. Ketika dua carapandang membidik hal sama, saya mencatat ada titik jenuh di sana. Apa yang sudah diceritakan, kembali dikisahkan lagi. Tentu saja penambahannya pada efek ke akuan. Tapi saya rasa tidak berhasil dalam hal ini. Sehingga yang memungkinkan, tidak perlu dualisme cara pandang. Karena pembaca memiliki imajinasnya, yang kebetulan sama dengan pengisahannya.<br />
<br />
Dikisahkan dengan bahasa yang renyah dan mudah, penulis kita ini mencoba membidik kondisi sosial di negara lain. Sebuah kisah, yang menurut narasi di sampul belakang, merupakan kisah nyata, tidak terlalu berhasil memotret kondisi sosiokultur tersebut. Ketika membacanya, saya tak merasakan itu berada di Cina, tetapi justru seperti di negara sendiri. Penulis belum berhasil memindahkan kekhasan lingkungan setempat menjadi benar-benar di Cina.<br />
<br />
Cerita diakhiri dengan pembandingan oleh Piere. Ia merefleksikan bagaiamana Ma Yan dengan gigihnya memperjuangkan mimpinya untuk sekolah. Juga sang ibu yang juga petarung untuk anaknya. Novel ini diakhiri dengan terbuka. Bagaimanakah nasib Ma Yan dan keluarganya, pembaca tentu memiliki alternatif ending sendiri. tentu saja dengan melihat Ma Yan Ma Yan di lingkungan mereka sendiri. Sebuah buku yang direkomendasikan bagi mereka yang tidak punya nyali untuk sekadar bermimpi.MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-13248682460586269162015-04-15T12:52:00.003-07:002015-04-15T12:52:32.621-07:00Di Kepalamu ada Anu<div class="entry">
<div>
tiba-tiba saja kepalamu dipenuhi<br /> akses menuju lorong-lorong rahasia<br /> yang menuju kota bernama KEMISKINAN<br />
<br />
———–padahal terakhir bertemu<br /> kamu bilang semua beredar di garis edarnya<br /> tidak gemar lagi blusukan di media<br /> tidak merasai lagi pe-es-ka online<br /> :apalagi membunuhnya<br /> dan banyak lagi<br /> deretan tidak-tidak yang parkir di bawah<br /> bibirmu yang basah.<br />
<br />
lalu, kenapa hanya kepada<br /> penyair tidak populer pula<br /> kau umbar isi kepalamu<br /> (mohon maaf, saya bukan<br /> pengambil kebijakan semacam itu)<br />
<br />
sudahlah kawan,<br /> kita ini hanya petugas saja<br /> biarlah akses menuju kota itu<br /> diselesaikan baik-baik di kementerian terkait<br /> mari islah saja<br />
<br />
bukankah bersatu lebih baik?<br />
<em>(16 April 2015, 01:10)</em><br />
</div>
</div>
MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-79664722312652962782015-03-25T23:07:00.001-07:002015-03-25T23:08:11.755-07:00Membaca Surat dalam Novel SPTJKYJTC<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjoPfRQiozt5AqylP4LtXxvjudceva3P36vMhE2reBBuuV8j-4moT-_aIukWqeJefTsYIC5fXqYNnmiazI6dAmNgecQFd9CJx2DEPqkWterJBHPIdp_LF7bltsJVyN6mxJsQcveRgpuutY/s1600/Surat+Panjang.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjoPfRQiozt5AqylP4LtXxvjudceva3P36vMhE2reBBuuV8j-4moT-_aIukWqeJefTsYIC5fXqYNnmiazI6dAmNgecQFd9CJx2DEPqkWterJBHPIdp_LF7bltsJVyN6mxJsQcveRgpuutY/s1600/Surat+Panjang.JPG" height="320" width="216" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: center;">
<b> Penulis: </b></div>
<div style="text-align: center;">
Dewi Kharisma Michelia</div>
<div style="text-align: center;">
<b>Tebal: </b></div>
<div style="text-align: center;">
240 Halaman</div>
<div style="text-align: center;">
<b>Penerbit:</b></div>
<div style="text-align: center;">
Gramedia Pustaka Utama</div>
<br />
<br />
Di era multi digital semacam ini, tentu saja berkirim surat merupakan hal yang tidak bisa dikatakan lagi biasa. Komunikasi saat ini cenderung dua arah. Melalui telepon selular, media sosial, dan bahkan untuk kegiatan formal semisal rapat terdapat pula istilah teleconference. Tentu saja interaksi dua arah akan lebih memaksimalkan perbincangan. Negosiasi dan sebagainya dapat tercipta pada saat yang bersamaan. Sehingga komunikasi akan menjadi lebih efektif. <br />
<br />
Kembali pada surat, meskipun sudah berevolusi menjadi surat elektronik (e-mail) maka penggunaannya terbatas. Untuk menanyakan kabar dan lain-lain (lebih bersifat pribadi), e-mail kalah jauh jika dibandingkan semisal facebook, twitter, bbm, chat, dll. Semasa saya kecil (ini sebagai pembanding dengan era multi digital), kakak sepupuku selalu gembira ketika menerima surat dari kekasihnya. Karena tak ada ponsel, maka jalur surat yang dititipkan pada perantara (mak comblang). Tentu saja untuk membalasnya tidak mudah, karena urusannya hati dan tentu saja merangkai katanya harus benar-benar sempurna. Setelah surat dikirim, masalah belum selesai. Sepupu saya ini harus merawat debar-debarnya. Bagimana reaksi kekasihnya? Bagaimana balasannya? <br />
<br />
Kartini, menjadi masyhur diantara segudang perempuan yang menjadi pejuang, yakni karena dia menulis surat pada koleganya di Belanda. Tentang keresahannya melihat kaum perempuan di lingkungannya yang tertindas. Pada tahun 1911, Mr. JH Abendanon (sahabatnya), Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Pemerintah Hindia-Belanda, mengumpulkan surat-surat tersebut (tidak semua surat dikumpulkan karena selain banyak juga susah melacaknya) menjadi sebuah buku berjudul “Door Duisternis tot Licht, Gedachten van RA Kartini”.<br />
<br />
Bila Mr. Abendanon mengumpulkan sekaligus membukukan surat Kartini merupakan bagian dari sejarah, maka Dewi Kharisma Michelia penulis novel Surat panjang Tentang Jarak Kita Yang Jutaan Tahun Cahaya (SPTJKYTC) juga turut menjadi bagian sejarah. Novel yang terbit tahun 2013 ini, meskipun sudah memasuki era multi digital, namun dalam komunikasi tokohnya masih setia menggunakan media surat. Dari 39 bab, 38 bab diantaranya merupakan sebuah surat. Apakah dalam novel sastra Indonesia kita ada yang demikian?<br />
<br />
Untuk menjadi bagian dari estetika baru yang dimunculkan, pertama kita akan dibuat geleng-geleng kepala dengan panjangnya judul novel yang menjadi pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 ini. Kenapa judulnya begitu, di novel sudah ada penjelasannya. Novel dibuka dengan bab 1 yang berjudul Tulisan di Kartu Pos tertanggal 31 Agustus 2012. Sebagai pembuka, tokoh aku mengirimkan sebuah bendel surat (tokoh aku sendiri tidak mengenal dengan penulis surat) yang diperolehnya dari anak pemilik toko buku langganannya. Pemilik toko buku tersebut merupakan sahabat dari perempuan penulis surat yang telah meninggal karena kanker paru-paru. Tujuannya yakni pada teman kecil penulis surat yang sangat dicintainya (meskipun teman kecilnya sudah menikah dengan perempuan lain).<br />
<br />
Bab ke dua berisi transkrip Rekaman Suara dalam Keping CD tertanggal 24 Juli 2008. Transkrip ini dibuat untuk memudahkan penerima surat dari rekaman CD yang disertakan dalam bendel surat di bab 1. Selanjutnya di bab 3 sampai bab 39 (terakhir), kita akan mendapati tiap judul bab dengan nomor surat dan tanggal yang disusun secara kron0logis. Berawal dari Surat Ke-1 (23 Juli 2008) dan berakhir Surat Ke-37 (26 Juni 2011).<br />
<br />
Di novel SPTJKYTC tidak dijelaskan apakah surat tersebut sampai di alamat penerima atau tidak. Menarik, tokoh aku di bab pertama (yang mengirimkan surat ke teman masa kecil penulis) hanya mucul sekali di bab pertama. Selanjutnya, dikuasai oleh tokoh aku sebagai penulis surat. <br />
<br />
Berdasar surat-surat tersebut, kita akan disuguhi mozaik kehidupan penulis. Perempuan lajang 40 tahun yang menjadi wartawan di salah satu media nasional. Perempuan yang tinggal seorang diri di apartemennya di Jakarta ini selalu bercerita apa yang disukai dan tidak disukai dalam surat-suratnya yang tidak pernah ia kirimkan. Tentang politik, sastra, seni,pernikahan kedua orang tuanya yang melabrak adat kebangsawanan di Bali. <br />
<br />
Novel ini mampu menhadirkan suspense di sana-sini. Ketika membuka lembar demi lembar, kita akan dituntun untuk membuka halaman berikutnya lagi dan lagi. Dewi Kharisma Michelia cukup berhasil dengan gaya penceritaanya yang memanfaatkan model surat. Dengan bahasa yang renyah, tampaknya ke depan penulis ini akan banyak memberikan kejutan lagi di buku-buku berikutnya. <br />
MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-10731231714385084252015-03-17T11:36:00.002-07:002015-03-17T18:18:22.507-07:00Anak-Anak Revolusi: Membaca Orde Baru Rasa Politikus<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://d.gr-assets.com/books/1382340193l/18692693.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="http://d.gr-assets.com/books/1382340193l/18692693.jpg" height="320" width="203" /></a></div>
Halo sahabat semuanya. Berikut saya akan berbagi sebuah buku unik yang berjudul <i><b>Anak-Anak Revolusi (AAR)</b></i>.<br />
<br />
Pertama saya harus jujur, ketika membuat tulisan ini, buku AAR belum selesai kubaca. Baru 278 dari 473 halaman. Tapi karena tuntutan deadline pribadi, maka sedapatnya saya harus menuliskan apa yang saya temui dalam buku ini. Nah, di awal saya tulis, jika buku AAR karya politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko (BS) ini unik. Hal ini karena buku ini sejatinya merupakan autobiografi penulis. Namun, menurutku buku ini lebih suka kusebut novel. Mengapa? Karena ketika membacanya, selalu saja ingin membuka lembar demi lembar. Hal demikian kualami ketika membaca novel.<br />
<br />
AAR mengisahkan reliku kehidupan penulis. Masa kanak-kanak (zaman orde baru) hingga pasca reformasi (menjadi anggota dewan). Tentu saja poin tinjunya yakni ketika partainya (PRD) dibredel oleh orba. Kemudian dengan segala tipudaya, dia dan anak buahnya harus menjadi buronan sebelum dijebloskan sebagai tahanan politik.<br />
<br />
Namun tenang saja, sebagai autobiografi, tulisan BS memiliki daya magis. Alurnya ditata secara acak. Suatu saat kita menikmati masa kecil Budiman yang penuh effort untuk membantu kaum lemah, tiba-tiba disuguhi adegan sepuluh atau dua puluh tahun kemudian. Begitu banyak kejutan dari pola penceritaan semacam ini. Buku ini tentu saja tidak garing seperti buku sejarah yang berkutat pada angka dan kejadian. namun kita diseret melalui nafas tokoh Budiman.<br />
<br />
Kita akan diajak untuk melihat Desa Majenang dengan segala kesederhanaan yang memang sederhana. Namun bibit-bibit ketakberdayaan terlihat begitu nyata. Kemiskinan, keresahan, menerbitkan impian-impian untuk mendamaikan keadaan dengan tataran ideal. Maka, Budiman kecil dengan kelincahan dan rasa ingin tahu serta didukung bacaan melimpah, menjelma menjadi satu pribadi yang memiliki konsep dalam tindak-tanduknya.<br />
<br />
Kita juga akan melihat dari dekat, bagaimana dia harus bersembunyi dari kejaran intelejen yang memburunya. Akibat partainya yang mengusik wilayah nyaman penguasa waktu itu. Manipulasi dan penjungkirbalikan opini, membuat citra keduanya menjadi musuh yang paling diburu kala itu. Juga saat detik-detik penangkapan. Ketika berkas-berkas yang dibawanya harus dimusnahkan dengan cara menelan (untuk menghilangkan bukti).<br />
<br />
Buku ini berkisah tentang masa paling kelam dalam arena Indonesia pasca merdeka. Ketika penguasa memiliki agenda-agenda yang mengatas namakan rakyat dengan cara-cara diktator (baca: kesewenang-wenangan). Generasi muda akan mudah melacak apa yang sebenarnya terjadi pada bangsanya, sehingga dikemudian hari bisa menjadi acuan.<br />
<br />
<b>Lebih dari Motivasi</b><br />
<br />
Novel Andrea Hirata, Novel Anwar Fuady, di dalamnya banyak inspirasi dan motivasi yang bisa kita ambil. Bahwa hidup tak boleh menyerah. Selalu ada jalan bagi mereka yang senantiasa berusaha. lalu ANAK-ANAK REVOLUSI berada di mana? Sepanjang buku ini, motivasi-motivasi yang digelar bermuara pada satu titik: menggerakkan semangat untuk melawan kedzaliman penguasa yang sewenang-wenang. Nilai poinnya di sini. Tokoh di buku ini memang semenjak kecil ingin menyukai politik, yakni politik pembebasan. Maka semangat dan gelak hidup yakni bagaimana memacu diri untuk berani mengambil sikap. Di situ dikatakan, membaca saja tidak cukup, tetapi harus dengan perbuatan.<br />
<br />
Melalui AAR, kita juga akan tamasya dengan dunia sains, filsafat, sastra, dan musik. Dengan narasinya yang sederhana, penulis mampu membawa kita untuk menemui hal-hal baru lewat kedalaman daya bacanya tentang poin-poin yang saya sebutkan di kalimat awal paragraf ini. Satu hal yang bisa kita telaah, yakni bagaimana tradisi baca seseorang anak desa, mampu mengantarnya menjadi reformis yang mampu membuat gerah penguasa yang puluhan tahun berkuasa.<br />
<br />
Buku ini layak dibaca lintas generasi. Sekadar mengingatkan, bahwa ada masa bangsa ini dirundung duka. Nah, ada cara untuk melihat semuanya itu dari dekat, tidak melulu kering seperti data dan angka sejarah. Buku ini solusinya. Saya rekomendasikan untuk semuanya, membaca buku ini. Kabar gembiranya, jilid dua juga sudah terbit. <br />
<br />
Sebagai penutup ulasan singkat ini akan saya kutipkan salah satu penggalan dalam buku ini. Situasinya yakni saat penulis ditangkap bersama rekan lainnya setelah lama buron. Saat kematian menjadi hal yang paling susah untuk tidak dipikirkan.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Setiap orang yang punya cita-cita untuk melakukan perubahan besar pasti akan mengalami ini. Cobaan itu akan datang menjelang kemenangan yang besar. Itulah harga yang harus dibayar oleh setiap orang yang ingin mewujudkan cita-citanya yang besar. Setiap orang yang mengubah sejarah pasti pernah dan harus mengalaminya</blockquote>
Kerja bagus mas Budiman.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><b>18.3.2015 (Ruang Kerja. 01.35) </b></i></div>
<br />MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-69952338951292636392015-03-04T05:26:00.003-08:002015-03-04T07:03:36.385-08:00TAK ADA NASI LAIN: Membincangkan Solo dan periode awal kemerdekaan<div style="text-align: justify;">
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidnQMtrVAZee1hVlrl-8UlwVjiY0lBb61NAchYVAyMulBqmCIHCjZGXrhA1cN0vu5RIQ6KM1bRGTNaZsuQ10wLXvyXjItLjw6Gx7ZolvUpOJJtO_SlDdB6VayfqjNZ4bkLsnHYt7lyMBw/s1600/IMG_2526+-+Copy.JPG" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidnQMtrVAZee1hVlrl-8UlwVjiY0lBb61NAchYVAyMulBqmCIHCjZGXrhA1cN0vu5RIQ6KM1bRGTNaZsuQ10wLXvyXjItLjw6Gx7ZolvUpOJJtO_SlDdB6VayfqjNZ4bkLsnHYt7lyMBw/s1600/IMG_2526+-+Copy.JPG" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambar: http://4.bp.blogspot.com</td></tr>
</tbody></table>
Kalau ingin bercengkrama dengan masa peralihan kuasa di awal menjelang kemerdekaan, maka novel Tak Ada Nasi lain bisa menjadi alternatif referensi. Tentu saja jangan juga dianggap bahwa novel yang berlatar belakang sejarah ini sebagai sejarah ansich. Karena sebagaimana fiksi, tentu imajinasi penulis akan kita dijumpai di sini. Meskipun keunggulan dari novel ini, yakni ditulis oleh pelaku zaman di era itu. <br />
<br />
Saya pikir irama zaman, lebih kurang sama dengan realitas pada saat itu. Keakuratan data, itu masalah berbeda. Ini novel yang dikembangkan oleh penulis dengan pembayangan dari sudut pandang tertentu. Makanya, bila dibanding dengan membaca sejarah terhadap fakta yang sama, buku ini memiliki keunggulan. Kita akan diajak berkeliling dari perasaan ke perasaan tokoh yang ada. Tentang kota solo (Surakarta Hadiningrat). Tentang kehidupan bangsawan di akhir kuasa Belanda. Tentang masuknya Jepang yang menggantikan Belanda. Tentang awal periode kemerdekaan. <br />
<br />
Diceritakan secara cermat dari sudut pandang orang ketiga. Saptono, seorang pribadi yang memiliki derita batin akibat pola pikir yang dialaminya sejak kecil. Saptono sejatinya lahir dari Ibu bangsawan, yang serta merta bisa dikatakan bangsawan juga. Namun tak begitu realitasnya. Kehidupannya di rumah Pakliknya, Raden Wirosaroyo, membuatnya merasa terasing. Sebagai orang numpang, ia menyadari betul ketimpangan sikap bulik-pakliknya dibanding dengan sepupunya. Embrio ini, diperkuat dengan masa lalu dirinya yang tidak cukup jelas. Ia hanya ingat siapa Ibunya. Sedangkan Bapaknya yang menurut ceita selingkuh dengan pembantu keluarganya, tak diingat lagi.<br />
<br />
Hidup di kalangan bangsawan Surakarta, Saptono memiliki akses untuk sekolah hingga SPG. Sejatinya, Saptono hidup di tiga era berdekatan yang memiliki tiga zona yang beda. masa akhir pendudukan Belanda, kedatangan jepang, dan alam kemerdekaan. Pembaca akan disuguhi renik renik kemunduran kehidupan di Surakarta Hadingrat akibat masuknya Jepang. Susah sandang juga susah pangan. Hingga berita kekalahan Jepang tersiar, dan tak lama terdengar kabar bahwa di Jakarta sudah diproklamasikan kemerdekaan di seluruh jajahan Belanda yang saat itu dikuasai Jepang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<blockquote>
"Zaman merdeka datang tiba-tiba. Saptono tidak siap dan menduga. Zaman merdeka <br />
mengubah keadaan dan segalanya dengan tiba-tiba. Berubah keadaan kota, berubah <br />
keadaan keluarga, dan sikap hati" (118).</blockquote>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Novel ini juga berbicara tentang benturan budaya yang dialami Saptono. Pada pasca merdeka, kehidupan sudah memunculkan banyak renik dan kondisi sosial yang jauh beda dari masa sebelumnya. Saptono merasa asing dengan situasi yang terjadi. Dalam suatu kesempatan, ia merasa pejuang-pejuang (termasuk dirinya) yang berada di garis depan saat peperangan, tak mempunyai nilai pasca merdeka.Ia banyak mengalami kebimbangan yang sebenarnya sifat ini sudah diendapnya di masa kecilnya. Urusan asmarapun dia juga gagal. Ia menikah dengan sepupunya yang sebenarnya tak dicintainya.Sebagai guru, dia juga belum bisa memberikan kesejahteraan bagi keluarganya.<br />
<br />
Novel ini layak dibaca untuk bercengkrama dengan keseharian di awal periode kemerdekaan. Latar kehidupan solo dengan kaum bangsawannya.Serta sebagai cermin kehidupan masa lampau sebagai khatarsis untuk menghadapi saat ini dan juga ke depannya.</div>
MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-81457305398511135312015-02-13T17:35:00.001-08:002015-02-13T17:35:31.218-08:00Kancing Yang Terlepas; Indonesia dari Gang Pinggir Menjelang Keruntuhan Orde Lama<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHnc_f90iOBcWV8pEN-WMDNzWM15cmwQtU7HxdGo-xqqqu-4KA-gB8A7desp6mHU0bcrLEiiq-zz259HSJfKZBP1Srmt-ShQXGYEVke5g7Ll-uUsVvsIFNlbXKo59LJND4LzGO-uBjuc8/s1600/20879686.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHnc_f90iOBcWV8pEN-WMDNzWM15cmwQtU7HxdGo-xqqqu-4KA-gB8A7desp6mHU0bcrLEiiq-zz259HSJfKZBP1Srmt-ShQXGYEVke5g7Ll-uUsVvsIFNlbXKo59LJND4LzGO-uBjuc8/s1600/20879686.jpg" height="320" width="211" /></a></div>
<br />
<br />
<ul>
<li style="padding-top: 2px;">
<span>Ukuran</span> : 13.5 x 20 cm
</li>
<li style="padding-top: 2px;">
<span>Tebal</span> : 456 halaman
</li>
<li style="padding-top: 2px;">
<span>Terbit</span> : Desember 2013</li>
<li style="padding-top: 2px;">
<span>Cover</span> : Softcover</li>
<li style="padding-top: 2px;">
<span>ISBN</span> : 978-602-03-0101-3</li>
</ul>
<br />
Novel kedua di 2015 yang telah saya lahap habis. KANCING YANG TERLEPAS, merupakan sebuah novel berlatar konflik menjelang kejatuhan orde lama. Yang menarik, kita akan disuguhi dari sudut berbeda. Sudut minoritas dari kacamata orang peranakan tionghoa.<br />
<br />
Ketika berbicara peranakan, tentu saja bagi pribumi asli akan selalu mengerutkan dahi. Banyak diantara kita menyebut mereka dengan orang cina, kendati mereka jelas orang Indonesia. Inilah yang membuat novel Handry TM menjadi menarik. Penulis membuat alternatif, jika sejarah dilihat dari kacamata peranakan.<br />
<br />
Kita bisa identifikasi dari cover novel. Tertulis di situ <i>novel tentang perempuan, politik, dan kekuasaan</i>. Trilogi yang umum sebenarnya. Karena ketiga hal tersebut akan sangat banyak ditemui. Perempuan sebagai obyek memang tak bisa dipisahkan dari politik dan kekuasaan sekaligus. tetapi ketika perempuan berlari antara subyek dan obyek sekaligus, di area inilah Giok Hong (Bunga Lily), tokoh sentral, akan kita dapati.<br />
<br />
Giok Hong, tumbuh menjadi primadona di sebuah perkumpulan orkes ternama di masanya, Orkes Tjina Tjahaya Timoer, yang bermarkas di gang pinggir (baca: pecinan). Pemimpin perkumpulan itu yakni Tek Siang, pengasuh sekaligus kekasih Giok Hong. Intrik kekuasaan cukong-cukong, hingga membuat Giok Hong masuk dalam pusaran kekuasaan dan politik. Setelah hilang beberapa tahun, ia muncul kembali di daerah asalnya dengan nama dan rupa berbeda. Giok Hong menjelma menjadi spionase gerakan bawah tanah. Gerakan ini kelak dikenal dengan sebutan komunis. Tujuannya untuk mendongkel orde lama. menggantikannya dengan negara yang sesuai dengan cita-cita mereka.<br />
<br />
KANCING YANG TERLEPAS menyuguhkan juga kepada kita, bagaimana kondisi gang pinggir sebagai miniatur Indonesia pada waktu itu. Tempat yang semula digambarkan sebagai daerah aman dengan varian masyarakatnya. varian kesenian dan dagang khas peranakan. Kini mulai resah oleh isu miring seputar komunis dan perpecahan. Tek Siang, orang terpandang di kawasan itu mulai digoyang. Mulai didongkel pengaruhnya. Puncak, yakni ketika tentara membekapnya dengan dalih penghancuran dan otak pembakaran di wilayahnya. <br />
<br />
Sebagai perempuan, Giok Hong, tampil dengan pemberani. beberapa target politisnya tunduk di bawah kecantikan dan kecerdasannya. bahkan korban terakhirnya yakni komandan militer di kawasan Gang Pinggir. Ia membunuhnya di rumah rahasianya. Metamorfosis dari gadis primadona yang lugu, menjadi kejam nan bengis untuk sebuah cita-cita organisasi. Di sinilah peran indoktinasi menjadi vital.<br />
<br />
Secara umum, novel ini memiliki banyak suspense. Sesaat sebelum Giok Hong terlibat intrik politik dan kekuasaan, saya sangat menikmati alurnya. Saya berharap ada hal lain yang ditampilkan pengarang. Meski demikian, penulis sepertinya memiliki alasan tersendiri untuk merumuskan nasib pelaku utama, Giok Hong, menjadi semacam robot.<br />
<br />
Kerja yang bagus Mr. handry TM. Sekadar info, novel ini pernah dimuat bersambung di harian semarang medio 22 Nov 2009-24 Juni 2010 dengan judul Giok Hong. Lalu disempurnakan di 2011-2012. Sehingga hadirlah dengan judul sebagaimana disebutkan.<br />
<br />
Pada akhirnya, ini salah satu hasil reformasi. bacaan semacam ini akan sangat langka di periode sebelumnya. <br />
<br />
(Ruang kerja, 14 Feb 2015/ 08.30)MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-87589264126384810682015-02-13T08:13:00.000-08:002015-02-13T08:13:01.562-08:00Tikus <br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://pestcontroljakarta.com/wp-content/uploads/2015/01/jasa-pembasmi-tikus.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://pestcontroljakarta.com/wp-content/uploads/2015/01/jasa-pembasmi-tikus.jpg" height="159" width="320" /></a></div>
Tidak semua orang suka tikus. Termasuk saya. Saya ini tidak suka
dengan tikus. Di rumah, semenjak sepuluh hari ini rumahku disatroni
kawanan tikus. Tidak hanya satu, tapi kira-kira 10 ekor. Bisa lebih.
Soalnya setiap kepergok, tikus-tikus ini langsung ngacir. lagian
bentuknya mirip-mirip. kalau saya berhasil hitung, itu perkiraan
kasarnya. Ada yang besar dan sebagian lagi masih junior. Istri dan
kedua anakku mulai berisik.<br />
"Pa, mama mulai terganggu" <br /> "Ya, Pa. Kakak dan adik juga tak nyaman lagi. Ayo pindah Pa.." sulungku merengek.<br />
" Pa,,, Mama tak tahan lagi. Ini tikus sudah kita racun semua. Tapi kan
faktanya... Usul kakak itu bagus. Kita pindah Pa. Kalau perlu dari kota
ini. Ke luar pulau juga ndak apa-apa. Saya takut sial dengan keberadaan
setan-setan itu.."<br />
<br />
Semenjak dialog malam itu, istri dan kedua
anakku berubah. Sudah tak lagi terbuka seperti biasa. Sesekali tersenyum
dan banyak diamnya. Saya tahu, ini buntut penolakanku pindah rumah.
Lagian, kalau dipikir pikir, kenapa harus ekstrem sekali pikiran
keluargaku ini. Ini hanya soal tikus. Sekali lagi, tikus. 10 hari saja
sudah mampu mendongkel puluhan tahun di rumah warisan ini. Apa tidak
gila. Apakah kalau pindah rumah, bisa sesederahana itu. Pindah, kemasi
barang, lalu tempati rumah baru. Ah, itu konyol sekali. Pindah rumah itu
sama halnya mencerabut pohon dengan akar-akarnya lalu dipindah dengan
ditanam lagi di tempat baru. Ditanam seakar-akarnya. Ya, kalau tempatnya
cocok. Bisa tumbuh lagi. Risikonya terlalu berat. Ini simpulan
terakhir. Makanya solusinya, mengusir paksa kawanan tikus sialan itu.
Faktanya, sampai hari ke dua puluh, tak ada perubahan yang berarti.<br />
<br />
"Papa tidak setuju pindah rumah. Ini namanya kalah telak. Keok. Masa
sama tikus saja kita kalah. Murahan sekali." Istriku masih belum
memberikan pendapatnya. Malam itu dia kelihatan cantik sekali.<br />
"Percaya sama papa. Risiko terlalu besar kalau pindah. Pindah? Tak
semudah itu ma..." Istriku masih diam. Matanya menerawang. Saya hafal.
Istriku akan diam kalau sedang ada masalah. Bukan diam menurut. Tetapi,
merencanakan entah itu apa. Selama ini diam-diam saya kagumi kejeniusan
dia. Tapi kali ini saya pikir idenya terlalu berlebihan. Pindah rumah.
jelas bukan hal bijak.<br />
<br />
Malam itu, ketika Hanum sudah tidur. Saya
mengendap menuju dapur. Di dapurlah biasanya kawanan bangsat itu
berlarian. Aneh juga, kenapa hanya dapur? Tiba-tiba ada hal yang baru
malam ini kusadari. Langkahku terhenti. Ada pemandangan aneh di depanku.
Bangsat-bangsat itu sedang bergerombol di meja makan. Yang paling
besar, dikelilingi kawanan lainnya yang ukuran tubuhnya lebih kecil.
Kuperhatikan semuanya. Hampir saja saya muntah, membayangkan mereka
berlalu lalang di piring-piring kami. Di gelas-gelas kami. Di panci. Di
penggorengan.<br />
<br />
"Darno.." aku tergeragap. Suara itu dari arah meja
makan. Tidak salah lagi, setan besar itu menatapku tajam. Seperti dalam
dongeng. Hewan sialan itu bisa bicara. Memanggil namaku pula. <br /> "Lebih baik, kamu tinggalkan rumah ini. Pindahlah secepatnya.." Lagi-lagi saya tercekat.<br /> "Bangsat, kenapa kamu bisa bicara?" Gerombolan di meja makan itu tertawa lepas. Mengakak seperti mendengar lelucon.<br />
"Darno. Kamu jangan sok suci. Kami lebih baik darimu. Kami ini hanya
tikus dapur. Takdir kami sebgai tikus original. Asli. Tidak
jadi-jadian."<br /> "Maksudmu?" sahutku dengan suara agak berbeda.<br /> Lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Saya merasa terhina.<br /> "Mamaaaaaaa, papa mirip tikus.." Suara itu disusul kehadiran istriku. Disusul lolongan dan tangisan.<br />
<br />
(Ruang kerjaku, 13/2/15: 23.00)MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-90156616853352004272015-01-30T11:02:00.002-08:002015-01-30T11:49:55.362-08:00ENTROK: Feminisme dan Kekerasan Simbolik<span style="font-size: small;"><br /></span>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_nHUwIQ8Uvpd0XDegyaEuRx9OWtq0F1w6AHIAqbxBnZe7TbIECvqXWMsiJQ87JDyZHa286md611XT8tlYPhttkf8L2_N0VRo28zgBZlK-ucAyRqDKBIR6LSl_-tAP5lxCuKNmGkPj53g/s1600/entrok.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_nHUwIQ8Uvpd0XDegyaEuRx9OWtq0F1w6AHIAqbxBnZe7TbIECvqXWMsiJQ87JDyZHa286md611XT8tlYPhttkf8L2_N0VRo28zgBZlK-ucAyRqDKBIR6LSl_-tAP5lxCuKNmGkPj53g/s1600/entrok.jpg" height="270" width="400" /></a></span></div>
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: "; font-size: small; line-height: 115%;">Judul : Entrok<br />Penulis : Okky Madasari<br />Penerbit : Gramedia Pustaka Utama<br />Cetakan : I, April 2010<br />Tebal : 282 hlm</span></blockquote>
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<br />
ENTROK?? Itu nama lain dari kutang alias bra. Disinilah kecerdasan
penulis. Ketika dimulai dari kutang, memang akan selalu menarik. Hehehe<br />
<br />
Novel ini dengan gamblang sekali berbicara tentang perempuan dan segala
keterbatasan. Sekaligus perempuan yang mampu keluar dari batas-batas
tersebut. Latar sosial dan politik, menjadi tamasya yang menarik untuk
dicermati. Bagaimana kondisi orde baru di arus bawah. Ketika tentara dan
polisi menggunakan seragamnya untuk memeras. Saat pemeri<span class="text_exposed_show">ntah memiliki kewenangan yang dominan dalam pembentukan ideologi.</span><br />
<br />
Maka, membaca ENTROK bukan sekadar kehidupan Sumarni dan Rahayu, Tedja
bahkan warga kampung Singget. Tetapi lebih pada kondisi gelap bangsa ini
yang disuguhkan dengan apa adanya. Sederhana, lugas, dan tentu saja
akan membuat kita membuka wawasan kita tentang masa itu.<br />
<br />
Novel
ini berbicara feminisme dari pergulatan hidup tokohnya, juga dominasi
sekaligus kekerasan oleh penguasa. Kaya sekali bila dikaji dari ranah
sosiologi. Maka, sudah selayaknya novel ini harus dibaca banyak
kalangan. Untuk melihat apa yang terjadi di masa lampau, yang kering
bila disajikan lewat sejarah.<br />
<br />
Memang benar, ketika dimulai dari
KUTANG, maka semua akan menarik. Bahkan talinya saja, sampai membuat
heboh lagu campur sari, Tragedi Tali Kutang.. Well, ENTROK, mengajak
kita untuk menoleh kebelakang. Tentang kepahlawanan seorang Ibu,
perempuan, dan segala upaya dan daya yang melabrak demarkasi patriarkhiMENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-59427247747617358252015-01-30T10:43:00.002-08:002015-01-30T10:43:32.876-08:00Perdana PERSADA SASTRA<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvTs57h7-zGU7yN_k6nSooZ5LB81S8cnhfjf5g9EBpTlEHxvDGDee_Yo9U6faH7ojIKByALbZRI0KVftsJ4ACoIvsRG-9F8lL0Np_3qx2AihGo7H67sNam4m7LvGpTAi3Aw2J2ZHKJ-pg/s1600/cover+persada.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvTs57h7-zGU7yN_k6nSooZ5LB81S8cnhfjf5g9EBpTlEHxvDGDee_Yo9U6faH7ojIKByALbZRI0KVftsJ4ACoIvsRG-9F8lL0Np_3qx2AihGo7H67sNam4m7LvGpTAi3Aw2J2ZHKJ-pg/s1600/cover+persada.jpg" height="400" width="305" /></a></div>
Pada mulanya adalah sastra (menyitir Sutardji), Selamat menunaikan
ibadah membaca majalah sastra (menyitir Joko Pinurbo). Majalah ini kami
dedikasikan untuk pencinta kesusastraan. yang selama ini ditindas oleh
kanonisasi pusat. Mari berduyun-duyun menuangkan ide dan kreativitas
sastra di PERSADA SASTRA.<br /> --------------------------------------------------------------<br /> <a class="_58cn" data-ft="{"tn":"*N","type":104}" href="https://www.facebook.com/hashtag/rubrik?source=feed_text&story_id=1405057356461109"><span class="_58cl">#</span><span class="_58cm">Rubrik</span></a> TITIK TERANG: Diasuh Prof. Hendrikus Supriyanto (Ketua Dewan Kesenian kab. Malang, pegiat sastra)<br />
<br />
#Ru<span class="text_exposed_show">brik KLINIK PUISI: Diasuh Dr. Shoim Anwar (Sastrawan angkatan 2000 /versi Korrie layun Rampan)</span><br />
<br />
<div class="text_exposed_show">
#Rubrik PULANG: Diasuh oleh Dr. Sunu catur (Dosen sastra, pemerhati sosiologi)<br /> ---------------------------------------------------------------<br />
Jangan lupa, membeli majalah ini berarti ikut berjuang memberikan
penghargaan kepada penulis-penulis pemula dalam berkarya. Selamat datang
PERSADA SASTRA.<br />
<br />
EDISI FEBRUARI bisa diburu mulai sekarang. Harga 17.000 (Surabaya dan Sidoarjo gratis ongkos kirim)<br />
<br />
<a class="_58cn" data-ft="{"tn":"*N","type":104}" href="https://www.facebook.com/hashtag/kami?source=feed_text&story_id=1405057356461109"><span class="_58cl">#</span><span class="_58cm">Kami</span></a> tunggu tulisan sahabat sekalian sampai 20 Februari 2015.<br />
<br />
Cp: sms (089678068592-pana), email: kopiaksara@gmail.com</div>
MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-26852233079995192602015-01-30T00:49:00.003-08:002015-01-30T00:49:36.063-08:00Selarik Puisi Buat Tuan Presiden Pak presiden<br /> Aku ingin menulis puisi<br /> untukmu.<br /> Bukan sejenis puisi<br /> yang menyerangmu di waktu lalu. bukan sejenis<br /> pula puisi balasan dari relawanmu.<br />
<br />
Pak presiden<br /> aku ingin menulis puisi<br /> bukan hendak demo atau, membakar gedung<br /> membakar bendera,<br /> membakar lambang,<br /> apalagi membakar diri..<br />
Pak presiden<br />
<br /> aku ingin menulis puisi<br /> bukan tentang moral<br /> bukan tentang etika<br /> bukan tentang kebenaran<br /> juga bukan tentang apa apa yang dianggap ada..<br />
<br />
Pak presiden,<br /> aku hanya ingin menulis puisi<br />
pada selembar kertas folio bergaris. dengan tinta hitam murahan. sambil
mengenakan baju putih dan sarung jahitan simbah. Pakai kopyah hitam
biar kayak Pak Prabowo yang niru insinyur Soekarno.<br />
<br />
Pak Presiden,<br /> aku hanya ingin menulis puisi.<br /> tentang Indonesiaku<br /> hendak kemanakah kamu.<br />
<br />
29 Januari 2015 MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9023676562038233755.post-43405880150202572532015-01-30T00:46:00.003-08:002015-01-30T00:46:49.359-08:00Majalah Sastra 'Persada Sastra"Berikut ini ada info keren. bagi teman-teman yang suka menulis sastra, bisa dibaca info berikut ini. Sumbernya dari FB: Kopi Aksara Publisher<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Yth. Penulis puisi, penulis cerpen, penulis esai, penulis kritik populer.<br />
<br />
Bulan dua (Februari) akan lahir majalah sastra PERSADA SASTRA.
Frekuensi terbitan satu bulan sekali. Dikelola oleh komunitas menulis
Kopi Aksara kerja sama dengan prodi PBSI Univ. Adi Buana Surabaya.<br />
<br />
<div class="text_exposed_show">
Silakan mengekspresikan karya-karya sahabat sekalian di PERSADA SASTRA. Bocoran covernya di awal bulan. Harga 17.000.<br />
<br />
Honor: Puisi maksimal 5 (perpuisi Rp. 15.000), Cerpen (100.000), Cermin
(75.000), Kritik Populer (100.000), SMS (Puisi/cerpen dari siswa
SMP/SMA sederajat)-(75.000)- (Plus bonus majalah)<br />
<br />
PERSADA SASTRA<br /> kritis-estetis</div>
</blockquote>
Semoga bermanfaat.. MENAPAK SENJAhttp://www.blogger.com/profile/08764919008870743133noreply@blogger.com