Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Senin, 07 Januari 2013

Korupsi Bukan Tujuan Pendidikan Kita


Pendidikan itu penting. Maka tak heran bila pemerintah mulai melirik investasi ini sebagai tabungan jangka panjang. Idealnya, jika pendidikan di negara ini berkualitas maka akan menghasilkan sebuah generasi yang akan membawa negara ini menuju situasi yang gemah ripah loh jinawi.  Realitas demikian akan memunculkan sebuah pertanyaan sederhana tapi susah untuk menjawabnya: Kualitas yang bagaimana?
Mau tak mau kita harus berkaca pada kondisi kekinian. Sebagai tempat yang digadang-gadang sebagai pembentukan kepribadian yang unggul dan seabrek citra positif, sekolah belum mampu menjawabnya. Lalu tradisi masyarakat kita yang suka mencari kambing hitam akan mengalir sendirinya dengan kreatif. Guru kemudian dijadikan sasaran tembak. Gurupun tak mau tinggal diam. Mereka menuding kebijakan-kebijakan pemerintahlah yang tidak jelas dan terlalu abstrak. Pawang-pawang pendidikan di pemerintahan  juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk berkelit. Lalu munculah seabrek kebijakan baru yang menuntut guru untuk begini dan begitu, ujungnya: peningkatan kualitas guru.
***
Pendidikan dan korupsi itu dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Kalau bicara pendidikan, mau tak mau di kepala kita akan berdenyut-denyut: kok korupsi ya?. Sebaliknya juga akan menimbulkan hukum yang sama bila kita iseng-iseng bicara korupsi: katanya berpendidikan?. Lalu apa yang sebenarnya salah? Pendidikannyakah atau korupsinya?


Saat ulangan, Budi ketahuan nyontek. Gurunya hanya memberikan peringatan lisan agar dia tak mengulangi lagi. Saat gurunya lengah, Budi beraksi lagi. Dia lolos dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Ini contoh sederhana yang serius. Ternyata mental korup bisa (sangat bisa) bermula dari lingkungan pendidikan (baca: sekolah). Ironisnya, hal-hal seperti ini terkadang malah disuburkan dalam sebuah ujian negara. Agar siswanya lulus 100%, sekolah menggunakan cara-cara mulia dengan bekerjasama dengan joki-joki liar untuk mendapatkan jawaban dari apa yang diujikan. Dan ini bukan cerita fiktif. Tapi sudah membudaya.
Nyontek sepertinya sudah menjadi gaya hidup kita. Ini bukan sesuatu yang wah, karena pada diri manusia itu ada bakat alami yakni bakat meniru. Skripsi, tesis, disertasi, karya ilmiah, dll juga tak luput dari bakat alami itu (baca: nyontek). Seorang profesor yang didepak dari keprofesorannya gara-gara nyontek juga tak sedikit. Mahasiswa lebih percaya google ketimbang dia berfikir menyelesaikan skripsinya dengan cara elegan (baca: jujur). Guru-gurupun bukan berarti ketinggalan demam bakat alami tersebut, sudah umum ketika membuat perangkat pelajaran mereka comot sana-sini.

Lalu apa yang kita harapkan dari dunia pendidikan selain korupsi? Saya pikir tidak ada. Karakter pendidikan kita mau tak mau melahirkan generasi korup. Maka jangan suka heran bila dalam percaturan politik, milyaran uang negara raib begitu saja tanpa terlacak. Kalaupun terlacak hanyalah pada bagian ekornya saja. Itupun berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghukumnya. Sekali lagi jangan heran. Itu sudah menjadi bagian dari budaya kita.

Siapa yang bertanggung jawab dari situasi seperti ini? Sekolah, guru, menteri pendidikan, presiden, orang tua, tukang ojek, pencopet, ustaz? Kondisi seperti ini lebih baik bila kita tak meneruskan tradisi kambing hitam. Ini tanggung jawab kita bersama. Setiap orang memikul beban yang sama untuk mewujudkan pendidikan yang bermartabat. Kesadaran harus lahir dari diri kita sendiri. Kita mulai bangun kembali apa yang selama ini mulai langka, kejujuran. Kita bangun pondasi kejujuran pada diri kita dulu. Lalu pada lingkungan terkecil, keluarga. Selanjutnya bila setiap individu mampu mengembangkan itu semua, kehidupan bermasyarakat akan terbentuk secara otomatis. Maka lingkungan sekolahpun akan terkena imbasnya.
Akan aneh bila kebijakan-kebijakan yang muncul dari pemerintah tanpa diimbangi refleksi kesadaran dari komponen yang bersangkutan. Wacana Mendiknas yang akan membuat soal paket Ujian Nasional (UNAS) menjadi 10-15 paket perkelas menjadi hal yang sia-sia. Sesulit apapun ruang itu, selama kesadaran untuk jujur belum terbangun maka akan banyak jalan unutuk menerobosnya. Mungkin membangun budaya jujur tidak mudah. Sekaligus juga tidak mustahil bila kita menyadari pentingnya hal itu.

Salam Pak Shodiq