Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Senin, 15 Juni 2015

Menangis

Kepalaku baru saja meledak. Meja ruang tamu, kubanting. Kursi, televisi, setrika, juga turut serta. Sudah sejak lama ini, kusimpan masalah demi masalah dengan hati-hati. Sejujurnya, aku benci pertikaian. Namun, dinding kesabaranku sepertinya jebol. Aku kalap. Dan, saat seperti ini, terengah engah sendirian di ruang tamu, rasa menyesal menyelip ke permukaan. Kubayangkan selanjutnya, bagaimana perbincangan tetangga setelah kejadian ini. Mereka pasti menggunjingiku.

Tapi benarkah aku harus marah? Ranti, perempuan yang kunikahi hampir lima tahun ini menjadi pemicunya. Beberapa bulan terakhir santer terdengar jika dia tengah menjalin hubungan gelap dengan teman satu pekerjaan. Kanan kiri telah mampir ke telinga. Sebagai suami yang memberikan lampu hijau untuk istrinya bekerja, hal demikian haruslah disikapi secara bijak. Aku mencoba bijak. Ketika kutanya Ranti, dia malah meyakinkanku kalau cintanya hanya padaku.

“Aku tak pernah mendua Mas. Sumpah. Buat apa coba. Aku bahagia bersamamu.” Kata-kata itu diucapkannya dengan penuh tekanan. Airmatanya keluar. Mengalir di pipinya. Saat demikian, aku lebih percaya padanya daripada siapapun. Maka semenjak itu, aku tak pernah mengungkitnya. Bagiku, saling percaya merupakan kunci dalam menjalani ikatan pernikahan. Aku percaya dan akan selalu percaya kepadanya. Semasa pacaran, bahkan sampai setelah menikahpun.

Ranti bekerja juga untuk membantu ekonomi keluarga. Pekerjaanku sebagai penulis, tak selalu menjanjikan uang banyak. Bisa dibilang, semenjak Ranti bekerja di pabrik, ekonomi keluargaku kembali stabil. Dengan kondisi kebutuhan yang harganya kian melambung, dituntut bisa tidak bisa untuk menambah penghasilan. Salah satu alternatif, memberikan lampu hijau untuk Ibu dari anakku untuk bekerja. Ketika sudah memutuskan demikian, pada awalnya risiko terburuk akan ku terima.
Namun sepertinya, kita terlalu mudah untuk berencana. Memetakan keinginan kita dengan mudah. Seakan-akan hidup ini kita sendiri yang mengendalikan. Aku masih mengingat apa yang aku lihat sendiri tadi malam. Saat hendak mencari referensi kondisi malam di desa sebelah untuk bahan pendalaman cerpen yang hendak kukerjakan, dinding kesabaranku benar-benar diuji. Kulihat Ranti berboncengan dengan seorang pria. Darahku langsung mendidih. Namun masih kupakai akal sehat. Aku mengikutinya dengan diam-diam kemana mereka. Menurut jadwal kerja, malam itu Ranti kerja shift malam.

Ranti dan lelaki itu belok ke sebuah rumah. Aku tak tahu rumah siapa, barangkali rumah lelaki brengsek itu. Kuletakkan motorku di dekat pohon mangga yang menancap rimbun di halaman sebuah rumah. Lalu mengendap menuju rumah yang dituju Ranti. Tak cukup kesulitan, karena suasana yang gelap dan sepi membuatku leluasa mendekati rumah tersebut. Dari balik jendela, aku memastikan bahwa perempuan itu benar-benar Ranti. Ternyata benar. Cukup benar. Dia Ranti istriku. Ranti ibu dari Ali, anak semata wayangku. Situasi seperti itu hampir saja membuatku gelap mata. Namun kucoba sekuat tenaga untuk mengontrol semuanya. Dengan perasaan campur aduk, seluruh badanku yang gemetar, meninggalkan tempat itu.

***

Pagi itu, Ranti menjerit ketika melihat ruang tamu berantakan. Ternyata tak hanya ruang tamu, seluruh isi rumah seperti kapal pecah. Silang sengkarut, sebagian hancur. Ia mencari kemana anak dan suaminya. Tapi tak didapati keduanya. Padahal biasanya, keduanya sedang tidur ketika dirinya pulang saat shift malam. Perempuan itu menduga-duga. Barangkali kerampokan atau sejenisnya. Maka, dengan tangis yang masih melandanya, ia menuju ke rumah tetangga. Meminta keterangan.

“Saya tak tahu pasti mbak. Tapi saya sempat medengar suara ribut dalam rumahmu. Saya dan beberapa tetangga sempat menghentikan Mas Jadid yang membanting-mbanting semua yang ia pegang. Tapi itu tak mampu menghentikan semuanya. Tetangga hanya melihat sampai tuntas. Setelah itu, Mas Jadid dan Ali pergi dengan tas besar. Bahkan, kami semua yang dari tadi melihat aksinya, disalami satu persatu. Yang saya tahu, dia meminta maaf semua kesalahannya yang telah dibuat.”

Ranti bukan main terkejut. Ia berusaha menduga-duga. Perempuan itu dengan linglung kembali menuju rumahnya. Ia sepenuhnya tahu tabiat suaminya. Tak mungkin akan bertindak kalap seperti ini jika tak ada sesuatu yang serius menimpanya. Meskipun selama ini ia tidak sepenuhnya mencintai, membayangkan kejadian buruk yang akan menimpanya ia belum dan mungkin tidak siap. Lelaki pilihan keluarganya itu merupakan pribadi yang selalu percaya dan mengerti kemauannya. Bahkan ketika desus perselingkuhannya menguat, suaminya lebih percaya padanya.

Kini Ranti merasa sendiri. Ia rebahkan tubuhnya ditengah keriuhan perabotnya yang sengkarut. Ia meratapi kekalahannya menutupi perselingkuhannya. Ali, anak semata wayangnya mengendap endap di pelupuk matanya. Nampak cemberut sambil memeluk lelaki yang sampai sejauh ini tidak sepenuhnya dicintai. Ia tahu, tak ada gunanya menangis. Tetapi ia merasa perlu menangis. Ranti menangis.

(Markas Pribadi-Prambon, 29/4/15)