Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Senin, 15 Juni 2015

Sempurna

“Aku sudah menyumpal mulutnya. Membuatnya bisu selamanya”
“Apa maksudmu Goni?”
Laki-laki yang dipanggil Goni tertawa keras. Tubuhnya berguncang-guncang hebat. Dari mulutnya, air liurnya mirip air terjun. Terjun bebas menuju bumi. Setelah tawanya reda ia kembali menggulirkan perbincangan.
“Ketauilah Bud. Aku telah membunuh Margan. Tepat ketika suaramu melantun di mushola tadi sore.” Budiman terlonjak dari tempat duduknya.
“Aku telah menyumpal mulutnya selamanya”
“Apa maksudmu Gon? Aku tak paham?” Budiman bergetar suaranya.
“Ku pikir orang seperti kamu sudah jauh mengerti dengan apa yang barusan kuucapkan. Kamu senang bukan?” Goni tertawa lagi. Suaranya memecah kehingan malam itu.
“Gila, bagaimana kamu bisa..”
“Itu terlalu gampil buatku. Reputasiku dalam hal beginian tak perlu kau ragukan.”
“Lalu..?”
“Budimanan budiman. Seharusnya kamu paham. Aku mengerjakan semuanya untuk memuluskan rencanamu.”
“Tapi aku tak menyuruh” suara yang keluar dari mulut Budiman masih bergetar.
“Pada orang lain kamu bisa berbohong kawan. Tapi jangan harap bisa melakukan itu padaku.” Suara Gogon kini lebih pelan. Ada penekanan disetiap kata yang diucapkannya.

Budiman diam. Ia memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika mayat Margan ditemukan, pastilah gempar kampungnya. Sebagai satu-satunya pesaing kuat di pilihan kepala desa tahun ini, pastilah kecurigaan padanya akan muncul dengan sendirinya.
“Kamu sembrono Gon. Bagaimana kalau mereka menuduhku terlibat dalam pembunuhan. Risikonya besar.” Kali ini terselip kemarahan yang ditekan sedemikian rupa.

Goni memandang lurus ke depan. Sama sekali tak berubah wajahnya. Ia tetap tenang seperti mulanya. Kedua lelaki itu sama-sama diam.
“Sudahlah, semua sudah terjadi. Kamu atur yang baik” suara lunak Budiman mengakhiri pertemuan malam itu.
***
Hari itu kampung Budiman geger. Calon kepala desa, Margan, ditemukan tak berdaya di pinggir hutan oleh seorang pemburu. Bukan sekadar tak berdaya, tapi juga sudah tak bernyawa. Polsek setempat langsung menangani evakuasi jenazah. Sementara isu penyebab kematian masih simpang siur. Pihak keluarga nampaknya menginginkan almarhum untuk segera dikebumikan. Urusan ini itu tampaknya dikesampingkan. Untuk sementara semua warga fokus pada prosesi penguburan jenazah. Termasuk juga Budiman nampak di kerumunan warga.

Ternyata yang menghadiri pemakaman luar biasa banyaknya. Mungkin karena almarhum dikenal sebagai pribadi yang baik, atau di sisi lain rasa keingintahuan warga yang membuat pelayat meledak jumlahnya. Setelah pemakaman, kelurga minta bantuan polisi untuk menyelidiki kematian Margan. Istrinya, terus-terusan menangis. Kakak Margan menjadi juru bicara kali itu.

“Kami pikir Pak, ini harus diusut sampai tuntas. Supaya tak ada prasangka yang macam-macam.” Sementara polisi melakukan invetigasi, isu penyebab meninggalnya calon lurah menggelinding di akar rumput. Setiap orang membicarakannya, tak peduli waktu. Dugaan-dugaan bermunculan. Tapi seperti yang ditakutkan Budiman, muncul juga. Ada sebagian kelompok warga yang mengatasnamakan pendukung garis keras menudingnya pelaku di balik kekejian itu. Mereka beralasan, kerap kali sejauh ini keduanya sering bertikai. Apalagi sebentar lagi keduanya akan bertarung di ajang pilkades.

Perang dingin opini sudah digulirkan. Loyalis Budiman tentu tak menerima apa yang lawannya tuduhkan pada jagoannya. Mula-mula lewat saling serang pendapat. Tak jarang berdebat. Hingga kemudian kontak fisik. Tepatnya tiga hari pasca meninggalnya Margan. Baku hantam tersebut terjadi malam hari di sebuah tanah lapang yang jauh dari rumah penduduk. Keduanya benar-benar menyiapkan segala sesuatunya. Batu, panah, pentungan, mercon. Suara lengkingan jerit semangat dan kesakitan membakar malam itu. Tak pelak, kegaduhan tersebut memancing penduduk untuk merapat ke lokasi. Pada puncaknya, anggota polsek memberikan tembakan peringatan.

Kondisi malam hari yang gulita menyulitkan pihak kepolisian untuk mengamankan pihak bertikai. Karena begitu suara tembakan berbunyi, kedua loyalis langsung mengambil langkah seribu. Begitulah terjadi beberapa kali di hari selanjutnya. Sehingga pemuka desa segera mengambil sikap atas kerusuhan yang terjadi. Sambil menunggu penyelidikan polisi selesai.

“Pertemuan kali ini amatlah penting untuk dilaksanakan. Keadaan sudah darurat.” Budiman mengawali pidatonya di balai kelurahan. Sore itu, para pemuka desa hadir.
“Sepenuhnya kami serahkan untuk eyang Subur untuk mulai.” Budiman mengambil duduk di depan bersama pinisepuh.
“Saudaraku” Suara eyang Subur sedemikian berat. Ada keprihatinan yang tampaknya menggerogoti tubuh rentanya.
“Ini baru pertama, terjadi pembunuhan di kampung yang kita cintai ini. Tidak tanggung, korban kali ini merupakan calon lurah. Sehingga sampai sejauh ini, di beberapa tempat kerap terjadi kerusuhan. Terjadi anarkis. Sebagai orang yang sudah bau tanah seperti saya, prihatin sekali lihat kejadian semacam ini.” Terdiam sejenak. Eyang Subur menghirup napas panjang,lalu mengeluarkan perlahan. Lelaki renta ini amat dihormati. Hanya ia yang masih hidup, dari beberapa orang yang turut babat alas kampung Dongus.

“Ini negara hukum. Sudah sewajar dan seharusnya kita taat hukum. Biarkan polisi yang menyelidiki. Bukan malah main pukul dan hajar. Kalau apa yang beberapa hari ini kita biarkan, bukan tidak mungkin akan pecah perang saudara.” Berhenti sejenak memandangi warga yang turut serta dalam rapat darurat tersebut.”

“Eyang jangan banyak berkhotbah. Apa solusinya?” suara keras muncul dari arah paling belakang. Semua mata melahap pemuda itu.
“Masalah tak akan kelar kalau Cuma khotbah saja. Mari kita bergerak” tangannya mengepal. Semua yang hadir langsung ribut. Eyang Subur yang bergetar menahan amarah, hanya bisa mengatupkan mulutnya. Sorot matanya yang dulu garang, kini tak lagi kelihatan magisnya.
“Saudaraku, tolong hormati Eyang.” Budiman berdiri. Suaranya keras. Menggelegar. Sontan, yang hadir diam.
“Saya tahu ini negara demokrasi. Semua bebas berpendapat. Bebas nggacor. Tapi ingat, jaga tata krama. Eyang ini panutan kita”
“Hai pembunuh. Diam kamu. Seharusnya kamu yang dibakar hidup-hidup.” Pemuda itu makin beringas. Mata nyalangnya melahap habis Budiman.
Beberapa warga yang dekat dengan Budiman, langsung siaga. Dengan cekatan berdiri dan memberi bertubi-tubi tinju ke wajah pemuda itu. Pemuda itu melawan. Yang lain sepertinya tak mau kalah. Pertemuan untuk mencari mufakat itu berubah menjadi arena adu jotos.

Budiman memapah Eyang Subur meninggalkan balai desa. Sementara baku hantam masih berlanjut. Hingar bingar itu membuat warga yang mendekam di rumah masing-masing menjadi penasaran. Tak berselang lama, balai desa itu sudah dipenuhi warga. Melihat sanak keluarganya bonyok, menyulut anggota keluarganya turun tangan. Demikianlah, perkelahian bukan semakin reda, tetapi selebihnya semakin menjadi.

Sementara itu, Budiman membawa Eyang Subur menjauh dari arena adu jotos. Baginya, tak ada yang lebih penting daripada nyawa tetua kampung tersebut. Karena dengan menyelamatkan Eyang Subur, dirinya akan menjadi pahlawan. Jalan kemenangan untuk menjadi kepala desa kian terbuka.
“Eyang harus bertahan” tubuh renta itu semakin dingin saja. Budiman memanggulnya dengan bersemangat sekali. Ia sama sekali tidak tahu, di depan sana Goni telah menyiapkan rencana yang amat sempurna.

(Markas Pribadi-Prambon, 3/5/15)