Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Selasa, 16 Juni 2015

Tak Ada Suara

Aku memasuki pelataran rutan. Mengikuti aturan kunjungan. Menyerahkan KTP. Lalu menunggu antrean. Ketika giliran, kami masuk pintu terali itu. Diperiksa seluruh tubuh. Untuk wanita, pemeriksaan oleh sipir wanita. Disediakan kelambu. Lalu diraba-rabalah tubuhku.
"Dompetnya silakan dikeluarkan" Aku nurut saja. Setelah digeledah, aku melangkah menuju pintu berikutnya. Giliran tanganku kena stempel. Lalu melenggang menuju kerumunan penghuni lapas dan tamunya.
"Sarno.." suara itu berasal dari arah kiri. Kulihat tangannya melambai-lambai. Aku terhenyak. Wajahnya tidak berubah. Oh tidak, jenggot dan kumisnya tampak lebih lebat. Rambut gondrongnya berubah polos, botak.

Aku duduk di tengah kerumunan orang. Duduk di hamparan karpet. Para napi kompak memakai kaos biru. Sehingga akan nampak beda antara pembesuk dan mereka. Waktu yang diberikan untuk bercakap tidaklah lama, sekitar 30 menit. Karena di luar sudah berjejal pembesuk gelombang berikutnya.
"Aku ada kabar buatmu."
"Ah, tidak usah kamu berkabarlah. Aku sudah tahu semuanya." Bagiyo menghembuskan napas panjang. Di matanya, terpancar keputus asaan akut.
"Ini tentang istrimu. Mirnah. Dia.." lidahku kelu.
"Sudahlah Sarno. Biar aku di kerangkeng jeruji besi, tapi informasi secuil apapun dari Mirna ku ketahui"
"Mungkin. Tapi, ini bukan yang santer beredar lho ya. Mirna tidak hanya melacur, tetapi kini ia menjalin hubungan dengan mertuanya. Bapak.." Kulihat mata Bagiyo nyalang. Tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mengepal. Ia menatapku tajam.
"Biadab." desisnya. Nadanya ditekan sedemikian rupa.
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Perintahkan Sutali untuk memberi pelajaran pada dua manusia bejat itu." kali ini nadanya tak bisa di kontrol. Rupanya ini membuat seorang sipir mendekat. Persis, jam kunjung telah habis.
------------------------------
Meski Subagyo dibui hampir dua tahun, tetapi ketua komplotan kakap perampok ini masih bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Termasuk mengondisikan anak buahnya untuk terus bekerja. Dia ditangkap saat menjarah rumah kapolsek Mojokitir. Saat itu empat orang berhasil diringkus. Bagiyo mendapat dua tembakan di kedua kakinya. Lalu keluarlah vonis, delapan tahun kurungan. Saat ini memasuki tahun kedua. Sementara keluarganya kini cerai berai. Istrinya melacur. Bahkan, mertuanya sendiri diembat. Entahlah, siapa yang lebih dulu memulai. Berita itu tiba tiba menyebar begitu saja. Pergunjingan semakin deras saja.
"Sarno.." aku menoleh ke belakang. Sutali dan beberapa kawannya berjalan ke arahku. kebetulan yang sangat ditunggu.

Aku ceritakan semua kepada Sutali. Lelaki kerempeng itu manggut-manggut.
"Apa rencanamu?" tanyaku padanya. Dia menatapku dengan dingin.
"Rencanaku adalah rencanaku. Kamu tak berhak tahu" jawabnya ketus. Ada rasa khawatir menyelinap di dalam hati. Apakah ini berarti Mirna akan dibunuh, atau mertuanya. Mungkin keduanya. Ah, atau atau lainnya. Saat hendak membuka suara, tak terlihat lagi Sutali. Aku celingukan. begundal-begundal itu seperti ditelan bumi. Kuputuskan untuk ke rumah Mirna. Siapa tahu, Sutali menuju ke sana. Aku merutuki kebodohanku yang ceroboh.

Rumah Mirna, atau bisa juga disebut rumah Bagiyo sepi-sepi saja. Tak ada kegaduhan. Kucoba untuk mengitari rumah bambu itu. Di bagian belakang, aku mengendap di antara phon-pohon sengon yang cukup rimbun. Sebagai ketua geng bajingan, rasanya tak elok jika rumah bagiyo masih seperti ini. Dia bahkan bisa membangun istana di desa ini. Tapi itu tak dilakukannya. Uang hasil anunya, lebih banyak dihamburkan untuk hal-hal yang sama sekali tak memberi imbalan untuk masa depan. Hah, tapi mungkin inilah konskuensi uang haram. Selalu ada cara untuk cepat habis dan sama sekali tak berguna. Kadang-kadang, aku tak habis pikir dengan sikap keluargaku. Subagyo, kakakku, menjadi bajingan tengik. Meneruskan kuasa bapak yang pensiun. Sementara aku, terombang-ambing tidak jelas, Tak pernah punya kuasa sedikitpun. Bajingan tidak, malaikat juga bukan. Abu-abu. Segera kubuang pikiran-pikiran itu saat merapat ke bagian belakang rumah Mirna. Sama saja, tak ada suara. Senyap. Saat hendak pergi, kucuri pandang dari lubang didinding bambu belakang. Sutali telanjang, bersama rekannya. Juga ada bapak, Mirna. Semua telanjang. Tak ada suara.

(Prambon, 18 Februari 2015)