Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Selasa, 30 Juni 2015

Sempoyongan

Miskin baru saja ikut puasa. Pertama kali pula. Padahal usianya kini sudah 20 tahunan. Ditambah lagi, ia islam semenjak dalam kandungan. Kedua orang tuanya menikah dengan berikrar dengan diawali syahadat. Pun saat usia kandungan 6 bulan. Keluarganya mengundang seorang mubaligh untuk ceramah syukuran. Saat lahir, kedua telinganya didahului dengan adzan dan iqomah.
-----
Tentu saja, sebagai kawan yang baru kenal, saya cukup takjub mendengar pengakuan dari Miskin. Katanya, seminggu sebelum ramadhan tiba, ia bermimpi ke dua orang tuanya yang telah lama meninggal. Dalam mimpinya, ia disuruh puasa. Maka, Miskinpun puasa. Karena baru saja belajar puasa, maka sudah pasti ada banyak hal kejadian yang menimpanya. Waktu sahur pertama kali, ia ngotot untuk meneruskan tidur. Ia meyakinkanku kuat puasa meski tidak sahur. Sebelum kujelaskan perintah saur itu sunah rosul, dengkur Miskin sudah lebih dulu terdengar. Hasilnya? Sekitar pukul 11 wajahnya pucat. Ia bilang jika dirinya sangat lapar. Haus juga. Ia juga menyesal tidak menurut kata-kataku untuk sahur. Karena tak tega, kusuruh saja dia berbuka ketika adzan dhuhur berkumandang.
--------
"Aku mau puasa terus Gus. Kamu gimana sih?" katanya sembari memandangku minta penjelasan.
--------
Segera saya jelaskan padanya, jika ada sebagian yang baru belajar puasa dimulai dengan puasa dhuhur dulu. Ternyata penjelasanku ini membuatnya mengerti. Lebih tepatnya bersemangat. Segera saja dia minum, lalu makan. Setelah shalat dhuhur, kulihat wajahnya mulai berseri kembali.
-------
"Gus, ternyata Tuhan tak meyulitkan umatnya ya"
-------
Saya kaget mendengar celetukan Miskin. Nada bicaranya sangat datar, sangat biasa. Kembali saya menelan ludah.
"Justru yang mempersulit itu ya kita kita ini. Coba saja, perintah shalat. Kalau tak kuat berdiri, sambil duduk. Tak juga kuat, sambil tidur."
"Tapi gus, apakah saya dosa jika baru kali ini puasa. Sementara di tahun tahun lalu, tak pernah puasa."
--------
Saya berpikir sejenak. Ternyata saya tak bisa merumuskan jawaban baginya.
"Lain kali tanya sama ustaz Sanusi saja mas. Saya juga tak begitu paham detail masalah serumit macam itu. Saran saya, puasamu kali ini tolong dijaga. Kalaupun awalnya puasa karena mimpimu, mari meluruskan niat. Puasa lillahi ta'ala.." saya terkejut dengan ucapanku sendiri. Kesannya menggurui. Padahal terkadang puasaku juga tercampur hal hal di luar keilahian. Saat itu juga aku celingukan. Miskin telah lenyap dari hadapanku.
"Gus, antum masih di sini?"
Suara syahdu ustad Sanusi membuatku terkejut. Buru buru saya menyalaminya.
"Ustad. Afwan, ana baru saja ngobrol dengan Miskin soal..?"
" Lho, antum yang benar saja. Saat saya menuju masjid hendak shalat, saya dikejutkan oleh sebuah kejadian. Miskin ditemukan beberapa warga mengapung di sungai. Ia meninggal. Kini jenazahnya di puskesmas, masih diperiksa polisi. Tadi saya ikut evakuasi."
--------
Kata kata yang meluncur dari bibir ustas Sanusi, serupa meriam. Membombardir seluruh isi tubuhku. Tulang tulangku berdenyut. Saya merasa linglung. Semua serba gelap.

"innalilahi" ujarku lirih. Air mataku tiba tiba berjatuhan begitu saja.
--------
Belum sempat berkata lagi, ustad Sanusi sudah berjalan menuju masjid. Sekuat tenaga saya menguatkan tubuh, lalu berjalan sempoyongan menuju ke arah ustad Sanusi berjalan.
--------
(Prambon, 28 Jun 2015 23:25:01)