Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Selasa, 30 Juni 2015

TANAH AIR: Lidah, Darah, dan Perlawanan

(Pembacaan Novel Pulang Karya Leila S. Chudori)

Kalau aku mampus, tangisku
Yang menyeruak dari hati
Akan terdengar abadi dalam sajakku
Yang tak pernah mati
(Subagyo Sastrowardoyo; Sajak yang Tak Pernah Mati)

PULANG, novel tulisan Leila S. Chudori, merupakan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013 (KTA). Terbit pertama kali di pengujung Desember 2012. Setelahnya mengalami beberapa percetakan ulang.

Saya membaca novel ini di cetakan keempat Desember 2013, namun tahun pembacaannya cukup mentereng, yakni Juni 2015. Berarti ada jarak 2 tahun lebih sejak buku ini beredar. Perlu diketahui, di terbitan yang saya baca, sudah terdapat logo KTA. Catatan lainnya, di lembar pertama, kita akan menemui testimoni dari beberapa tokoh sastra, sosiolog, psikolog, wartawan, dan juga pecinta buku. Kata lainnya, bahwa novel ini memang berkualitas. Anda harus segera membaca.
Jika ingin sari pati dari novel ini, silakan lihat halaman belakang. Sinopsis dua bagian (Paris, Mei 1968 – Jakarta, Mei 1998), dan baris terakhir sebagai kata kunci:
::Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Perancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.
----------
Tragedi kemanusian di tahun 1965, tepatnya 30 September, merupakan sebuah letupan dinamit penderitaan yang amat sangat berkepanjangan dan menimbulkan beragam intrik-polemik, terutama bagi keluarga korban. Pemerintah dengan merancang strategi politik, bersih diri-bersih lingkungan, dari semua yang berbau Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menimbulkan perang saudara berkepanjangan. Penangkapan, interogasi, penyiksaan, pembuangan, pembunuhan, secara sporadis menyerang keluarga, saudara, teman dan lainnya yang mereka anggap sebagai PKI. Tragedi kemanusiaan tersebut tidak sebentar. Sebuah tragedi tepatnya di Mei 1998, membuat semuanya menjadi lebih baik. Setidaknya, bayang-bayang tragedi 1965 berakhir dengan turunnya sang jenderal dari tampuk pimpinan. (Sejarah yang dibelokkan pada masa orde baru, di era reformasi, mulai kembali diluruskan beramai-ramai dalam banyak versi. Termasuk dalam Pulang)

Novel PULANG, mengawali ceritanya dari tahap itu. Dimas Soeryo, seorang wartawan di Kantor Berita Nusantara, harus terasing dari tanah airnya berpuluh-puluh tahun. Ia dan juga beberapa rekannya yang tengah mengikuti konferensi pers di Kuba, keberangkatan sebelum 30 September, tidak bisa kembali karena di Indonesia telah terjadi penumpasan PKI. Dimas dkk, termasuk orang yang diburu saat itu. Sehingga, jika mereka kembali, maka penjara dan kuburan akan menanti mereka. Pilihan yang tepat yakni mengembara. Tentu saja dengan konsekuensi, meninggalkan seluruh keluarga di tanah air, yang juga diburu-buru aparat. Pada mulanya, mereka menuju China dan selanjutnya tingga di bawah rezim komunis selama hampir tiga tahun. Selanjutnya, pintu kehidupan baru terbuka: Eropa dengan segala kebebasannya.

Paris, menjadi agenda terakhir pengembara politik tersebut tinggal. Mereka mencari cara bertahan di negeri Eiffel tersebut dengan penuh liku. Pusat penceritaan yakni Dimas Soeryo, seorang yang tidak memiliki afiliasi politik apapun namun dituduh komunis. Bersama rekannya menghidupi diri dengan semua kekuatan yang dimiliki. Hingga pada suatu waktu, mereka (Dimas, Mas Nug, Risjaf, Tjai) mendirikan sebuah restoran kecil yang beranama Tanah Air. Sebagai sebuah replika kerinduan pada Indonesia.

Sudut Pandang
Meskipun pusat penceritaan pada Dimas Soeryo, namun di novel ini sudut pandang dari beberapa tokoh yang semakin menguatkan sosok Dimas sendiri. Vivienne (istrinya), Lintang Utara (Anak semata wayangnya), Hananto (pimred Nusantara) Segara Alam (putra bungsu mendiang Hananto P., pemimpin redaksi Nusantara, yang juga anak kekasih Dimas pada mulanya, Surti Andini), Bimo (Putra Mas Nug, wakil pimpinan Nusantara yang kini bersamanya di Paris). Juga surat-surat dari orang terdekat Dimas yang mengabarkan secara intens apa yang terjadi di Jakarta pada masa kerusuhan (Surti, Kenanga, Aji, Aziz).

Alur

Pulang, tidak mengisahkan kepada kita (secara kemasan) dengan kronologis mulai awal sampai akhir. Kilas balik ditampilkan masa lalu, masa kini, dengan acak tetapi dengan sangat bagus. Sehingga, saya menyebut dengan puzle, kepingan-kepingannya sangat berhasil.

Drama Keluarga

Terlepas dari isu yang diangkat sensitif, tetapi tak menghilangkan sisi romantis dari semua tokohnya. Juga kekonyolan yang kerap terjadi. Kita akan melihat dari dekat kehidupan keluarga multikultur, ayah Indonesia-Ibu Prancis, dalam keseharian keluarga Dimas. Lengkap, mulai bertemu, menikah, hingga keduanya memutuskan bercerai. Tentang kisah asmara Lintang Utara, anak semata wayangnya, dengan Nara dan Alam.

Kita juga disuguhi romantisisme masa lalu Dimas saat menjadi mahasiswa. Cinta matinya dengan Surti Andari yang kemudian tidak pernah dimilikinya. Begitu juga rekan lainnya. Semuanya menjadi sebuah racikan cerita yang ciamik dari ketegangan-ketegangan sejarah yang tidak beradab.
1968-1998

Novel dimulai dengan sebuah prolog tahun 1968 tentang penangkapan Hananto Prawiro, pimred Nusantara. Sudut pandang pelaku yang saat itu bekerja sebagai tukang cuci cetak film. Yang kebebasannya terampas karena selalu diburu aparat.

Selanjutnya, panggung cerita menjadi milik Dimas Soeryo, dengan segala pemikiran, kehidupan, dan pengetahuannya yang cukup besar dalam bidang kesastraan, film, dan wayang.

Epilog Pulang diawali dengan surat wasiat Dimas pada putrinya yang tengah meyelesaikan penelitiannya tentang nasib keluarga korban politik 65 di Jakarta. Keberadaan Lintang Utara sendiri tepat di masa krisis bulan Mei 1998. Sehingga ia juga mengalami chaos secara langsung. Isi surat Dimas yakni merasakan bahwa tidak lama lagi ia akan pulang selama-lamanya. Termasuk keinginannya untuk dimakamkan di daerah perkebunan karet, dekat dengan makam Chairil Anwar.

(Ruang Pribadi, 30 Juni 2015)