Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Selasa, 16 Juni 2015

Neraka

Masih pagi. Rudianto sudah dua kali tangannya menghajar pipi istrinya. Rukmini, anak semata wayangnya, menjerit jerit. Ibunya hanya mampu bersimpuh dilantai. Memegangi kedua pipinya. Air matanya membanjir.
"Aku ini suamimu Ni. Kalau ndak boleh, ya nurut saja. Apa susahnya. Cukup aku yang bekerja. Kamu di rumah saja. Rawat Rukmini baik baik."

Seperti biasanya, hari itu Rudianto bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik. Gajinya yang segitu melulu, membuat Marni ngotot ingin bekerja. Apalagi anak mereka kini sudah mulai bersekolah SD. Maka gaji yang segitu tadi harus dibagi bagi sedemikian rupa. Akhirnya, hutang menjadi pilihan yang harus diambil. Lalu masalah timbul, ketika hutang sudah numpuk. Ketika penagih penagih itu melabrak mereka dengan kata kata pedas. Rudianto sama sekali tak tuli. Ia tahu pasti ekonomi keluarganya. Tetapi sampai sejauh ini, apa yang diusahakannya tak satupun membuahkan hasil.

Menampar istri, barangkali perbuatan biadab. Rudianto memahami itu. Selama ini, tak pernah ia menggampar istrinya. Maka, siang itu pikirannya dibalut kegelisahan. Ingin sekali pulang dan menjelaskan banyak hal pada Marni. Meski kemudian ia tahu, istrinya akan tetap kukuh dengan kebenaran yang dipegangnya sendiri. Diam diam, ia mulai menyalahkan diri sendiri. Harusnya, sebagai kepala keluarga ia dapat membuat istrinya bahagia.
----------------------
"Kamu serius?"
aku tergagap.
"Sudahlah, jangan bimbang. Imbalannya lebih besar dari pada gajimu saat ini. Kamu harus rapi, cermat, dan jenius" Sahabatku ini telah menawariku sejak beberapa bulan lalu. Namun dengan dalih macam macam aku halus menolaknya. Saat ini aku butuh duit untuk keluargaku. Tak ingin lihat Marni bekerja. Biar cukup saja aku yang bekerja.

Aku keluar dari rumah itu dengan perasaan berbeda. Resmi sudah aku jadi kriminal. Mulai hari ini dan entah sampai kapan. Sebagai pengedar obat obatan terlarang, petualanganku akan segera dimulai. Wajah Marni membayang di kepala. Sesaat kemudian Rukminiku tersenyum ringkih di pelupuk mata. Dalam hati banyak kugelar untuk kemakmuran keluargaku. Setidaknya aku bersiap masuk neraka.

(Krian, 12 Februari 2015)