Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Minggu, 18 Januari 2015

Jumpa III

SDku dulu paling banyak disorot. Terpencil dan memiliki jumlah murid yang fantastis. Satu kelas berjumlah 5 orang (tidak termasuk saya). Makanya, kalau ada acara ramai-ramai di lapangan desa pastilah jadi bahan olokkan.

SDN Bodang 5, terletak di dusun kelapa Sawit, desa Bodang. Dulu (atau bahkan mungkin saat ini) dipandang sebagai dusun terpencil. Bahkan, untuk mengikuti EBTANAS (Baca: UNAS), kami harus numpang di SDN Bodang II (Dsn. Sumber Poring). Jalan yang kami tempuh juga bukan main, melewati jurang yang cukup curam dan makam yang kami anggap angker. Tapi untunglah, ketika angkatanku sejarah dimulai. kami tak lagi dipandang remeh. Saat pengumuman kelulusan, namaku nangkring di urutan teratas. Bahkan, ajaibnya saya hanya kalah dari SDN Bodang III. Praktis nomer dua jika diperingkat dari SDN di desa Bodang. Karena baru pertama kali terjadi, maka saya banyak sekali dapat pujian dari bapak/ibu guru kala itu. Tapi pada intinya, saya masih merasa sebagai anak dusun yang terpencil.

Maka, saat masuk SMP, melihat bangunan dan luasnya yang luar biasa, rasa kagum menjadi melimpah ruah. Wow.... Bayangkan saja, di SD dua kelas itu dijadikan satu kelas. Total tiga ruang kelas yang kami punya, dihuni enam kelas (tentu saja jumlahnya sedikit). Makanya, bibir ini terus berdecak kagum. Saat itu, saya dan kawan-kawan menjadi angkatan ke-3. Pada saat masuk, sekolah masih belum meluluskan muridnya. Lucunya, saat itu masih bernama SMPN 3 Sukodono. Tak lama kemudian jadilah SLTPN 1 Padang (bimsalabim).

Di sekolah baru, danemku menempati posisi tiga. Pertama Guntur Saiful Mukti (Anak Mojo), Menik Faradila (Anak karangngayar), dan saya sendiri (Anak SDN terpencil). Tentu saja ada rasa bangga. Berhasil menyisihkan puluhan siswa lainnya. Namun demikian, saya cukup kagum dengan mas Guntur, peraih danem 40. Sejak saat itu, saya berusaha mengenalnya, juga mengenal mbak Menik. Saya anggap mereka dua siswa yang pilih tanding, soalnya nilainya di atas punyaku. Secara perlahan, ada tekad yang bulat di dalam hati untuk menjadi yang terbaik. maka saya pilih belajar, dan terus belajar.