Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Selasa, 27 Januari 2015

Aku

"Bajunya lusuh"?. Itu jelas bukan orang kota kami. Penduduk kota kami dikenal sebagai penduduk yang taraf hidupnya di atas rata rata. Pilihan makanan, pilihan baju, dan pilihan lainnya tentu memiliki standar. Dan bila di kotaku, kami jumpai orang semacam yang kaulihat beberapa hari ini, pastinya itu bukan warga kami. Itu barangkali warga kota lain yang mencari nafkah di sini. Kamu harus tahu, polisi pamong praja setiap hari mengangkut pendatang malang seperti mereka. Kami tak tahu persis dibawa kemana mereka. Namun yang jelas, tujuannya agar kota ini indah. Tahu sendiri kan, kemiskinan merupakan kutub lain dari keindahan. Bukan juga soal moralitas, bila mereka harus dikejar-kejar petugas.


"Ya, aku tahu banyak tentang cerita itu. Tapi ini agak berbeda."
"Kamu pendatang. Jadi tak akan mengerti sepenuhnya. Ingatlah, tahu banyak bukan berarti mengetahui lho ya. Kadang kadang kita tahu banyak, tetapi tindakan juga pikiran kita melenceng dari moralitas. Memberangus etika dan norma.Para gembel gembel tiu memang selalu membuat dirinya berbeda. Kamu harus tahu trik mereka. Ini poin barangkali kamu belum pernah dengar."

"Aku lama di sini. Meskipun bukan penduduk asli. Tapi istilah tahu banyak atau mengetahui atau istilah serupa dan serumpun. Intinya aku memahami dengan baik. Tapi ini berbeda dari beda beda lainnya."
"Lalu, apa untungnya kamu membincangkannya? Sekedar lusuh, mengemis dari pintu ke pintu. Pasang muka melas. Pake baju gembel. Ah, bukankah itu tak ada gunanya. Atau jangan jangan kamu bergabung dengan anggota LSM brengsek itu. Yang berkoar membela yang lemah, tapi rakus duit. Cih, kenapa kau ini kawan.."

Aku kenal dengan kawanku ini telah lama. Kami cukup memgagumi pendatang baru ini. Kami, artinya warga asli. Pasalnya, satu satunya yang bukan bangsa peminta minta. Dia punya segalanya, seperti kami punya harta. Poin plusnya, komunikasinya bagus. Merakyat. Sehingga kami menganggap sudah sebagai warga asli. Namun kini, mungkin aku yang pertama akan merevisi pandangan tersebut.

"Maaf sebelumnya" suaranya bikin lamunanku ambyar. Aku mengambil sikap yang hati hati. Memberi jarak.
"Bukan maksudnya mau gimana gimana. Tapi ini serius. Otang yang pake baju lusuh itu anakmu sendiri." Aku terbelalak.
"Tapi setelah kuselidiki cukup lama, ternyata bukan anakmu. Hanya wajahnya mirip anakmu. Lalu saya buntuti dan akhirnya sampai pada satu simpulan akhir." Aku mulai serius menanggapi kawanku ini.
"Ternyata dugaanku semula salah. Ternyata orang itu adalah bapak sendiri. Bukan pendatang baru atau siapapun. Tapi bapak."
"Aku...."? Lidahku kelu.

#25 Jan. 2015/ siang hari di dekat ampel