Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Jumat, 23 September 2011

Kita perlu ngawur...

Nah, semuanya akan selalu menjadi cerita. Ketika teman-teman seangkatan melangsungkan prosesi sakral "yudisium" melepas status mahasiswa, saya hanya bisa menyaksikan dari jauh. lamat-lamat. Saya ketinggalan kereta. Dan memang tidak ada tiket di tangan. Menyesal? ya, pasti ada. Tetapi sesuatu apapun mempunyai dua sisi yang berhak untuk dipilih. Dimaknai. Dijadikan momentum untuk pijakan kaki.

Kehidupan kemudian menjadi sebuah pilihan yang sebelumnya jalan yang bercabang telah disediakan. Terkadang ditambah cabang-cabangnya, di lain hal ditutup cabang-cabangnya. Nah, ketika berbicara persimpangan akan selalu menjadi sesuatu yang menarik. Kenapa menarik? bukankah esensi hidup ini tak lain adalah ketakpastian.

Kepiawaian kita dalam mengantisipasi persimpangan yang beragam inilah yang dinamakan seni hidup. Tanpa ketangkasan, kita akan berlaku formal saja. Sesekali memang kita membutuhkan manuver-manuver yang melawan ketakpastian. Bertindak ngawaur dengan persiapan yang memadai.