1.
Pengertian Feminisme
Secara etimilogis feminis berasal dari kata
“femine” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak). Dalam pengerDalam artian yang
lebih luas, feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu
yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan
dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada
umumnya (Ratna, 2009:184).
Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan wanita
yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan kaum priaa (KBBI,
2001: 315). Feminisme adalah teori tentang persamaan antara lelaki dan wanita
di bidang politik, ekonomi, sosial; atau kegiatan terorganisasi yang
memerjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Amal, 1995: 67). Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa
itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah
dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan
dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya
dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang
lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi
masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum
laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai
mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya
Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika
Serikat dan ke seluruh dunia (http://sabda.org/artikel/feminisme).
Dalam ilmu sastra, kajian feminisme
berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang
mengarahkan fokus analisis kepada perempuan (Sugihastuti, 2000:37). Jika selama
ini kritik sastra feminis dianggap dengan sendirinya mewakili pembaca dan
pencipta sastra barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunujukkan
bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman
sastranya (Sholwater, 1985: 3).
Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari
berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan
pada perspektif wanita. Teori ini berpusat pada wanita karena tiga hal, yakni:
a.sasaran utama, studinya, titik tolak seluruh
penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman wanita dalam masyarakat
b.proses penelitiannya, wanita dijadikan
“sasaran sentral”, artinya mencoba melihat dunia khusus dari sudut pandang
wanita pada situsai sosial
c.teori feminis dikembangakan oleh pemikir
kritis dan aktivia atau pejuang demi kepentingan wanita, yang mencoba
menciptakan kehidupan lebih baik untuk wanita (Ritzer dan Goodman, 2005:
403-404)
2.
Jenis Feminisme
Berikut dipaparkan jenis-jenis feminisme
yang disarikan dalam (.......)
a. Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk
menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut
mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu
pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah
karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus
mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka
"persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa
yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari
teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum
Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi
mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan
pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok
kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan
kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas
warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”.[1]Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai
"Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah
mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus
terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak
tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka
adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik
dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada
posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur
segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan
feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan
tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas.
Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga
harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak
upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di
abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang
diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan
30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman
feminis liberal.
b.
Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini
menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya,
aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial
berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan
seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap
perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan
gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa
yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari
teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum
Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi
mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan
pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok
kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan
kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas
warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama
penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas
(termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan
dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan
anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah
yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan
buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal,
karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia
saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT).
c.
Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan
anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap
fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah
dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau
struktur sosial.
d.
Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang
mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem
patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus
dihancurkan.
e.
Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi
kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan
aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi
(private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki
mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan
terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme
tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
f.
Feminisme
Sosialis
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis.
Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan
tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus
disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan
analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham
dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan
perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan
feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu.
Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti
dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh
laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan
pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh
anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah
menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia,
analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi
beban perempuan.
g.
Feminisme
poskolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman
perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas
koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan
dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami
pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa,
suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme
poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan,
nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam
bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex,
and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis
kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial,
dan pendidikan.”
h.
Feminisme nordic
Kaum
Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan
Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme
bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini
menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan
atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh
kebijakan sosial negara.