Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Sabtu, 08 Oktober 2011

Menggoyang UAN

Sudah beberapa dekade, Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi topik pembicaraan yang hangat. Pro dan kontra saling menjegal satu sama lain. Tulisan saya di sini hanya sekedar nimbrung saja, syukur-syukur kalau menjadi bahan pertimbangan (pertiabangan siapa? penulisnya saja tak berpengaruh. heheheh).

Kalau urusan parameter dan kontrol, UAN memang haru ada. Dengan demikian kita bisa melihat mengukur sampai sejauh mana. Tetapi bila urusannya menjadi semacam pintu gerbang untuk syarat kelulusan, tunggu dulu, perlu ada rasionalisasi lain. Apakah itu?

Era KTSP, membuat sekolah kembali menggali potensi yang ada di wilayahnya. Intinya lokalitas menjadi acuan dari kurikulum, tentu saja tetap berpijak pada standar yang ada. Nah, karena setiap daerah mempunyai ragam perbedaan yang sulit untuk diseragamkan maka standar universal untuk meluluskan peserta didik menjadi beresiko.

Dalam KTSP, kita tak asing dengan istilah Kriteria Ketuntasan Maksimal (KKM). Sebuah tolok ukur untuk melihat berhasil tidaknya peserta didik dalam sebuah pembelajaran (KD). KKM sendiri disusun dengan beberapa ketentuan, salah satunya yakni faktor daya dukung sekolah (fasilitas, media). Kita akan gamblang sekali membayangkan, bagaimana sekolah-sekolah elite melawan sekolah pinggiran. Bagaimana persoalan demografis, sosial-ekonomi menjadi sesuatu yang harus menjadi bahan pertimbangan.

Kriteria kelulusan UAN, saat ini memang telah bergeser. Tidak 100% lagi seperti kemarin. Tetapi ini juga belum menyeleseiakan masalah. Seberapa persenpun, UAN akan menjadi sebuah bumerang bagi pendidikan di negara kita. Sekolah akan menjadi ajang untuk bertindak curang (demi) meluluskan peserta didik. Saya akan mengesampingkan sekolah elit di sini, karena apapun yang terjadi reputasi mereka masih tetap terjaga. Kalangan telah banyak mengeluhkan, bagaimana sekolah-sekolah pinggiran harus mati-matian untk menjaga reputasi untuk tetap menggelar lagi pendidikan di ajaran baru. Sangat tidak mudah untuk membayangkan, sekolah yang siswanya tidak lulus UAN. Secara matematis mereka akan kalah jauh dengan yang lulus 100%.

Hal ini tidaklah aneh, karena pendidikan di negara kita adalah pendidikan yang berbasis pada untung dan rugi. Maka dari demikian, posisi UAN sebagai sebuah "penjagal  kelulusan peserta didik" perlu dikontruksi lagi. Namun demikian, saya tidak setuju bila UAN dihapuskan (fungsi kontrol). Bila UAN ada tetapi tak berpengaruh pada kelulusan, apakah ini menjadi sebuah tindakan yang sia-sia? Sejauh itu untuk parameter, tak ada yang sia-sia.