Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Kamis, 18 Desember 2014

Desember

Desember. Musim penghujan benar-benar menepati janjinya. Kasan berteriak di lapangan sebelah masjid, saat gerimis sore itu. Musim kemarau yang panjang, menyita banyak hal aktivitas kampungku. Praktis, tanpa air, ladang menjadi gersang. Sungai yang menjadi andalan terakhir kami, menjadi barang langka. Hanya kedung (cekungan tanah yang terisi banyak air di aliran sungai) menjadi andalan kami. 

Kami harus menuruni tebing curam untuk mencari air. Di sungai tadah hujan itulah, kebutuhan kami akan air ditambatkan. Pada musim kemarau berkepanjangan, aliran air sudah pasti mati. Air yang menggenang di kedung itulah yang menolong kami. Kami mandi di kubangan air yang tak mengalir . Beberapa dari kami berenang di kubangan itu. Persis seperi kerbau. Tapi, jangan coba-coba berenang bila ada orang tua yang mandi di sana. Karena tak mengalir, pastilah airnya akan keruh. Nah, dimarahi orang tua bukan sesuatu hal yang menarik, bukan? Apalagi bila sampai kencing di sana, pastilah akan banyak hujatan dan kutukan.


Saat kemarau berkepanjangan, tentu saja air di kedung-kedung akan habis juga. Saat itulah, naluri bertahan penduduk muncul. Di sekitar kedung, kami membuat lubang-lubang mata air. Mengeruk pasir barang setengah meter, lalu muncullah air. Lebih bersih. Dan, harus berhati-hati. Agar kejernihannya terjaga. Maka kalau mandi, penduduk membawa bak besar. Istilahnya, ngangsu, lalu mandi di bak yang terisi air. Apakah ada tempat mandi khusus? Ah, lupakan itu. Baik laki atau perempuan, mandinya di tempat terbuka. Sekali lagi, bagi kami itu bukan pornografi. Karena sudah adatnya begitu, jadi semuanya menjadi biasa.

Maka ketika hujan sore itu, Kasan menjadi beringas. Kegembiraanya tak terkendali. Ia melepas bajunya. Celananya. Berlari-lari sepanjang jalan. Tubuhnya dilumat air hujan pertama. Tanpa sehelai benangpun, Kasan terus saja berlonjak-lonjak. Mengepalkan tinjunya ke udara. Raut mukanya bahagia. Tentu, itu bukan bagian kebiasaan kami. Itu murni ekspresi pribadi. Mungkin hanya saya yang memperhatikan Kasan. Penduduk tengah menikmati ruap tanah yang harum. Air hujan, dan sebentar lagi rahmat. ladang akan siap untuk ditanami.

Apa yang tak kami pikirkan tiba-tiba menyeruak. Diiringi petir yang menggelegar. Korban pertama, Kasan bersimbah darah. Sebatang beringin besar ambruk. Tepat ketika Kasan berlari di dekatnya. Karena sedari tadi saya mengikuti gerakan kasan, aku tahu bagaimana pohon sebesar itu menimpa tubuh kurus pemuda itu. Mengerikan. Lalu disusul jeritan di mana-mana. Ketahuilah, itu bukan duka cita untuk Kasan. Menurut kepercayaan turun-temurun, bila beringin itu ambruk, tak lama lagi tebing yang mengitari desa kami akan ambruk. Kami akan terkubur hidup-hidup.