Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Kamis, 18 Desember 2014

Sederhana

Si anak hanya minta handphone. Tangannya menunjuk ke etalase. Ayahnya cemberut. Mungkin harganya mahal, atau mungkin modelnya yang tidak cocok. Tapi sang ayah tak paham model. Tak paham fungsi. Di sini si anak lebih jago. Hafal. Mana yang fiturnya canggih, lumayan canggih, dan tidak canggih. Sang ayah hanya tahu isi dompetnya berapa. Jika harus beli yang itu, buat makan ayam-ayamnya nanti apa. Sebelum itu istrinya akan marah-marah bila tak ada uang belanja. Meskipun sang istri bekerja. Tapi uang belanja toh menjadi wajib. Belum lagi biaya anu itu untuk sekolah anaknya.

Si anak terus merengek. Bahkan suaranya kini terdengar. kalau tadi hanya setengah berbisik. Kasak kusuk. Sekarang tindakannya lebih berani. Menangis. Mengucek ngucek mata. Kakinya dihentak ke lantai. Berkali-kali. Musik di galeri handphone itupun sedikit terganggu. Pengunjung juga terganggu. Satu persatu mereka melihat si anak. Ternyata mata-mata itu sebuah energi. Suara tangisan si anak semakin kuat. Volumenya. Di pipi, air mata terus mengucur. Bajupun mulai basah.


Di kejauhan, dua satpam tengah tak sepaham. Yang satu mengusulkan untuk menyuruh bapak-anak itu keluar. Bikin keributan. mengusik ketenangan. Satunya, memilih untuk membiarkan saja. Toh, kalau nanti bapak-anak jadi beli, kan toko bisa untung. Debat berlangsung dengan serius. Sebatas kasak-kusuk. Sementara sang bapak eh sang anak terus menangis. Tangannya mulai bergerak gerak. memegang baju sang ayah. Menariknya. Mengucek mata. Menuding etalase. Adegan yang paling dramatis, si anak menyentuh etalase dengan sedikit emosi. lebih tetapnya menggebrak. Entah karena terlalu kuat, atau kualitas etalase yang buruk, etalase itupun ambrol. Pecah. Serpihan kacanya menumpahi model-model hanphone di bawahnya. Suara dobrakan tersebut lumayan keras. bahkan cukup keras. Semua terkejut. Termasuk si anak.

Dua satpam berlari. Mengamankan bapak-anak. Petugas lainnya membereskan pecahan-pecahan itu. Beberapa pengunjung sejenak melupakan buruannya. Berbicara kejadian itu. Ada yang simpati dengan si anak. Sebaliknya juga ada. Kasihan dengan nasib sang bapak. Satu pengunjung segera mengomando. Mereka yang memiliki simpatik dengan kejadian itu berkumpul. Tak banyak, hanya sepuluh orang. Dari jumlah itu, tak ada satupun yang kenal secara personal dengan bapak-anak. Ini murni dorongan kemanusiaan. Kesepuluh inipun melancarkan aksi. Cukup alot. Akhirnya diperbolehkan mengikuti adegan introgasi dari kepala satpam.

Supervisor toko tersebut juga ikut hadir. Satu pegawai toko. Satu pengunjung menjadi saksi. Sedangkan ke sepuluh ini sebagai tim independen, awalnya. Sementara si anak, sengaja tak ikut jalannya interogasi. Karena menurut pak supervisor, jalannya adegan tak cocok dengan umur. Akhirnya akibat dari itu, sang Ayah harus diadili. Dikuliti sampai sejelasnya. Kepala satpam memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana. ketika dijawab sang ayah, disusul pertanyaan berikutnya. Begitu seterusnya. Bertele-tele. Disambung keterangan perwakilan sales toko, saksi pengunjung, jawaban lagi dari sang ayah, pertanyaan susulan dari kepala satpam. Kesepuluh independen menyimak dengan begitu cermat keterangan-keterangan di adegan yang lebih mirip sengketa pilpres itu. Ketika hampir sampai pada simpulan dan tentu saja hukuman apa yang akan diberikan, satu satpam membuyarkan kumpulan kata-kata di kepala kepala satpam. Semua di ruangan itu terkejut dengan totokan pintu. Wajah seorang satpam menyembul. Sebelum dipersilakan, pintu sudah ia buka. "Lapor pak, si anak menangis lagi. menunjuk-nunjuk hape pak supervisor yang dimeja. Kakinya dihentak-hentak. Satu monitor telah pecah kena seruduk" ujarnya pelan dan sederhana.