Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Rabu, 04 Maret 2015

TAK ADA NASI LAIN: Membincangkan Solo dan periode awal kemerdekaan

Gambar: http://4.bp.blogspot.com
Kalau ingin bercengkrama dengan masa peralihan kuasa di awal menjelang kemerdekaan, maka novel Tak Ada Nasi lain bisa menjadi alternatif referensi. Tentu saja jangan juga dianggap bahwa novel yang berlatar belakang sejarah ini sebagai sejarah ansich. Karena sebagaimana fiksi, tentu imajinasi penulis akan kita dijumpai di sini. Meskipun keunggulan dari novel ini, yakni ditulis oleh pelaku zaman di era itu.

Saya pikir irama zaman, lebih kurang sama dengan realitas pada saat itu. Keakuratan data, itu masalah berbeda. Ini novel yang dikembangkan oleh penulis dengan pembayangan dari sudut pandang tertentu. Makanya, bila dibanding dengan membaca sejarah terhadap fakta yang sama, buku ini memiliki keunggulan. Kita akan diajak berkeliling dari perasaan ke perasaan tokoh yang ada. Tentang kota solo (Surakarta Hadiningrat). Tentang kehidupan bangsawan di akhir kuasa Belanda. Tentang masuknya Jepang yang menggantikan Belanda. Tentang awal periode kemerdekaan.

Diceritakan secara cermat dari sudut pandang orang ketiga. Saptono, seorang pribadi yang memiliki derita batin akibat pola pikir yang dialaminya sejak kecil. Saptono sejatinya lahir dari Ibu bangsawan, yang serta merta bisa dikatakan bangsawan juga. Namun tak begitu realitasnya. Kehidupannya di rumah Pakliknya, Raden Wirosaroyo, membuatnya merasa terasing. Sebagai orang numpang, ia menyadari betul ketimpangan sikap bulik-pakliknya dibanding dengan sepupunya. Embrio ini, diperkuat dengan masa lalu dirinya yang tidak cukup jelas. Ia hanya ingat siapa Ibunya. Sedangkan Bapaknya yang menurut ceita selingkuh dengan pembantu keluarganya, tak diingat lagi.

Hidup di kalangan bangsawan Surakarta, Saptono memiliki akses untuk sekolah hingga SPG. Sejatinya, Saptono hidup di tiga era berdekatan yang memiliki tiga zona yang beda. masa akhir pendudukan Belanda, kedatangan jepang, dan alam kemerdekaan. Pembaca akan disuguhi renik renik kemunduran kehidupan di Surakarta Hadingrat akibat masuknya Jepang. Susah sandang juga susah pangan. Hingga berita kekalahan Jepang tersiar, dan tak lama terdengar kabar bahwa di Jakarta sudah diproklamasikan kemerdekaan di seluruh jajahan Belanda yang saat itu dikuasai Jepang.
"Zaman merdeka datang tiba-tiba. Saptono tidak siap dan menduga. Zaman merdeka
mengubah keadaan dan segalanya dengan tiba-tiba. Berubah keadaan kota, berubah
keadaan keluarga, dan sikap hati" (118).

Novel ini juga berbicara tentang benturan budaya yang dialami Saptono. Pada pasca merdeka, kehidupan sudah memunculkan banyak renik dan kondisi sosial yang jauh beda dari masa sebelumnya. Saptono merasa asing dengan situasi yang terjadi. Dalam suatu kesempatan, ia merasa pejuang-pejuang (termasuk dirinya) yang berada di garis depan saat peperangan, tak mempunyai nilai pasca merdeka.Ia banyak mengalami kebimbangan yang sebenarnya sifat ini sudah diendapnya di masa kecilnya. Urusan asmarapun dia juga gagal. Ia menikah dengan sepupunya yang sebenarnya tak dicintainya.Sebagai guru, dia juga belum bisa memberikan kesejahteraan bagi keluarganya.

Novel ini layak dibaca untuk bercengkrama dengan keseharian di awal periode kemerdekaan. Latar kehidupan solo dengan kaum bangsawannya.Serta sebagai cermin kehidupan masa lampau sebagai khatarsis untuk menghadapi saat ini dan juga ke depannya.