Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Rabu, 25 Maret 2015

Membaca Surat dalam Novel SPTJKYJTC





 Penulis: 
Dewi Kharisma Michelia
Tebal: 
240 Halaman
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama


 Di era multi digital semacam ini, tentu saja berkirim surat merupakan hal yang tidak bisa dikatakan lagi biasa. Komunikasi saat ini cenderung dua arah. Melalui telepon selular, media sosial, dan bahkan untuk kegiatan formal semisal rapat terdapat pula istilah teleconference. Tentu saja interaksi dua arah akan lebih memaksimalkan perbincangan. Negosiasi dan sebagainya dapat tercipta pada saat yang bersamaan. Sehingga komunikasi akan menjadi lebih efektif.

    Kembali pada surat, meskipun sudah berevolusi menjadi surat elektronik (e-mail) maka penggunaannya terbatas. Untuk menanyakan kabar dan lain-lain (lebih bersifat pribadi), e-mail kalah jauh jika dibandingkan semisal facebook, twitter, bbm, chat, dll. Semasa saya kecil (ini sebagai pembanding dengan era multi digital), kakak sepupuku selalu gembira ketika menerima surat dari kekasihnya. Karena tak ada ponsel, maka jalur surat yang dititipkan pada perantara (mak comblang). Tentu saja untuk membalasnya tidak mudah, karena urusannya hati dan tentu saja merangkai katanya harus benar-benar sempurna. Setelah surat dikirim, masalah belum selesai. Sepupu saya ini harus merawat debar-debarnya. Bagimana reaksi kekasihnya? Bagaimana balasannya?

    Kartini, menjadi masyhur diantara segudang perempuan yang menjadi pejuang, yakni karena dia menulis surat pada koleganya di Belanda. Tentang keresahannya melihat kaum perempuan di lingkungannya yang tertindas. Pada tahun 1911, Mr. JH Abendanon (sahabatnya), Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Pemerintah Hindia-Belanda, mengumpulkan surat-surat tersebut (tidak semua surat dikumpulkan karena selain banyak juga susah melacaknya) menjadi sebuah buku berjudul “Door Duisternis tot Licht, Gedachten van RA Kartini”.

    Bila Mr. Abendanon mengumpulkan sekaligus membukukan surat Kartini merupakan bagian dari sejarah, maka Dewi Kharisma Michelia  penulis novel Surat panjang Tentang Jarak Kita Yang Jutaan Tahun Cahaya (SPTJKYTC) juga turut menjadi bagian sejarah. Novel yang terbit tahun 2013 ini, meskipun sudah memasuki era multi digital, namun dalam komunikasi tokohnya masih  setia menggunakan media surat. Dari 39 bab, 38 bab diantaranya merupakan sebuah surat.     Apakah dalam novel sastra Indonesia kita ada yang  demikian?

    Untuk menjadi bagian dari estetika baru yang dimunculkan, pertama kita akan dibuat geleng-geleng kepala dengan panjangnya judul novel yang menjadi pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 ini. Kenapa judulnya begitu, di novel sudah ada penjelasannya. Novel dibuka dengan bab 1 yang berjudul Tulisan di Kartu Pos tertanggal 31 Agustus 2012. Sebagai pembuka, tokoh aku mengirimkan sebuah bendel surat (tokoh aku sendiri tidak mengenal dengan penulis surat) yang diperolehnya dari anak pemilik toko buku langganannya. Pemilik toko buku tersebut merupakan sahabat dari perempuan penulis surat yang telah meninggal karena kanker paru-paru. Tujuannya yakni pada teman kecil penulis surat yang sangat dicintainya (meskipun teman kecilnya sudah menikah dengan perempuan lain).

    Bab ke dua berisi transkrip Rekaman Suara dalam Keping CD tertanggal 24 Juli 2008. Transkrip ini dibuat untuk memudahkan penerima surat dari rekaman CD yang disertakan dalam bendel surat di bab 1. Selanjutnya di bab 3 sampai bab 39 (terakhir), kita akan mendapati tiap judul bab dengan nomor surat dan tanggal yang disusun secara kron0logis. Berawal dari Surat Ke-1 (23 Juli 2008) dan berakhir Surat Ke-37 (26 Juni 2011).

    Di novel SPTJKYTC tidak dijelaskan apakah surat tersebut sampai di alamat penerima atau tidak. Menarik, tokoh aku di bab pertama (yang mengirimkan surat ke teman masa kecil penulis) hanya mucul sekali di bab pertama. Selanjutnya, dikuasai oleh tokoh aku sebagai penulis surat.

    Berdasar surat-surat tersebut, kita akan disuguhi mozaik kehidupan penulis. Perempuan lajang 40 tahun yang menjadi wartawan di salah satu media nasional. Perempuan yang tinggal seorang diri di apartemennya di Jakarta ini selalu bercerita apa yang disukai dan tidak disukai dalam surat-suratnya yang tidak pernah ia kirimkan. Tentang politik, sastra, seni,pernikahan kedua orang tuanya yang melabrak adat kebangsawanan di Bali.

    Novel ini mampu menhadirkan suspense di sana-sini. Ketika membuka lembar demi lembar, kita akan dituntun untuk membuka halaman berikutnya lagi dan lagi. Dewi Kharisma Michelia cukup berhasil dengan gaya penceritaanya yang memanfaatkan model surat. Dengan bahasa yang renyah, tampaknya ke depan penulis ini akan banyak memberikan kejutan lagi di buku-buku berikutnya.