Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Sabtu, 21 Mei 2011

Bilangan FU

Novel ini dikisahkan dari perspektif tokoh Yudha Sandi. Seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat. Yudha dan kesebelas temannya merupakan pemuda-pemuda kota. Mereka ini meninggalkan kegemerlapan kota dengan berpetualang dari satu tebing sunyi nan curam ke tebing lainnya. Tapi, Yudha dan kawan-kawannya bertabiat kota yang khas. Rasa unggul yang ada pada mereka membuatnya buta dan tuli terhadap kehidupan masyarakat di sekitar tebing-tebing yang mereka perawani.

Yudha akhirnya dihadapkan pada wacana baru ketika akan membuka pemanjatan tebing di daerah Watu Gunung. Pertemuannya dengan Parang Jati, mahasiswa akhir geologi ITB, mengantarnya pada petualangan ideology yang cukup sulit untuk diterimanya. Sebagai produk modern, ia (baca: Yudha) membaca wacana dengan kerangka modern. Segala hal yang rasionalitas merupakan sesuatu yang hakiki, sedangkan di luar itu adalah kebodohan.

Ketika yudha mendapati ‘sesajen’, pohon-pohon besar, begitu juga tentang babi ngepet yang merupakan jelmaan manusia, dan upacara sesajen bekakak di daerah Watu Gunung. Semua ini dari perspektifnya merupakan sesuatu yang tidak mempunyai nilai guna, suatu kebodohan dan tidak mempunyai dasar. Namun, Parang Jati, pemuda bermata bidadari dan berjari 12. selama kebersamaannya dengan Yudha mampu membuat pemuda ini berpikir ulang. Menurut mahasiswa geologi tersebut, kacamata modern tidak bisa digunakan untuk menilai kepercayaan tradisional. Dalam kerangka pikir modern, segala sesuatu harus berfungsi dalam tujuan tertentu. Dan tujuan tertentu keuntungan. Sebab segala hal itu baik jika menguntungkan. Segala hal menguntungkan bila baik. Yang mengecoh adalah baik untuk siapa?

Selanjutnya, Yudha mengenal pemuda setempat yang bernama kupu-kupu. Tapi lebih tepatnya mengetahui, sebab diantara mereka tidak pernah sekalipun berkomunikasi. Saat itu ia dan parang Jati melayat di rumah salah seorang penduduk setempat yang mmeninggal akibat gigitan anjing gila. Di sana pemuda kupu-kupu menentang jenazah almarhum yang ternyata pamannya untuk disembahyangi dan disemayamkan di pemakaman umum setempat. Lantaran selama hidupnya mendiang telah bersekutu dengan iblis di watu gunung. Yakni memberikan sesajen dalam waktu-waktu tertentu. Hal semacam ini merupakan perbuatan sirik. Dan dalam ajaran Islam, syirik merupakan dosa besar yang tidak diampuni oleh Tuhan. Meski memantik reaksi keras dari pemuka agama setempat, akhirnya pemuda kupu-kupu berhasil membuat jenazah pamannya dikuburkan di perbukitan watu gunung. Hanya mayat malang tersebut yang terdapat di sana, ditemani roh-roh penunggu bukit itu. Kenyataan yang demikian sulit diterima Yudha. Selain perbedaan agama, baginya mendiang selama hidupnya merupakan bagian dari mereka. Tapi adilkah ketika mati harus dikucilkan seperti itu?