Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Sabtu, 21 Mei 2011

Sebuah Tinjauan Dekontruksi dan Relevensi Sastra

Dekontruksi merupakan pengurangan atau penurunan intensitatas kontruksi itu sendiri ( Kutha Ratna, 2007:245). Sehingga unsure biner dalam sebuah oposisi tidak selalu mendominasi. Sebaliknya, unsure-unsur yang semula selalu terlupakan, terdegrdasikan dan termarginalisasikan seperti: kelompok minoritas, kelompok yang lemah, kaum perempuan, tokoh-tokoh komplementer dn sebagainya, dapat diberikan perhatian yang memadai, bahkan secara seimbang dan proposional.

Pada dasarnya dekontruksi merupakan pengembangan dari pos strukturalisme. Bahkan Junus (Endraswara, 2008:174) dekontruksi sebagai pasca strukturalisme yang ekstrem. Sifat ekstrem yang dimaksud dalah pemaknaan karya sastra dapat dimulai dari aspek mana saja bahkan dari aspek kecil yang semula tidak menarik perhatian orang.

Menurut Derrida (Endraswara, 2008:174) menegaskan jika unsure yang semula tak logis atau mapan dalam konteks struktur secara tidak langsung kadang-kadang justru akan muncul berulang-ulang. Sehingga akan menguatkn pemknaan atau malah mengaburkan.

Benar dalam dekontruksi berlku pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dpat dimanfaatkan semaksiml mungkin. Ini yng disebut Spivak (Kutha Ratna, 2007:246) bahwa dekontruksi merupkan gagasan antara destruktif dan konstruktif.

Menurut Endraswara (2008:173), relevansi dekontruksi bagi penelitian sastra ada empat hal.

  1. Terdapat keterkaitan dengan serangkaian kritik, termasuk kosep kesastran sendiri.

  2. Sebagai sumber tema

  3. Sebagai contoh stretegi pembacaan

  4. Sebagai gudang cadangan saran-saran mengenai kodrat dan tujuan ktitik sastra itu sendiri.

Berbicara Dekontruksi, tak lengkap bila tak membicarakan tokoh utama teori ini.

Derrida dan Konsep teoritisnya

Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris, Perancis tanggal 8 Oktober 2004 –Karena itu Derrida lebih dikenal sebgai filosof Perancis daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat, terutama kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah konsep. Dekonstruksi, alat yang digunakan untuk meruntuhkan konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi kita selama ini. Saya akan memulai penjelasan mengenai konsep dekonstruksi dengan memberikan sebuah contoh dari implementasi dekonstruksi sederhana. Anda pasti tahu Batman ?? Seorang pahlawan dari kota Gotham, yang diciptakan oleh ilustrator Amerika, Bob Kane, pada tahun 1938. Batman berbeda dengan Superman. Jika Superman menegakkan kebenaran dan keadilan yang dilandasi semangat cinta dan keikhlasan, maka sebaliknya Batman –dengan tangan kosong- menegakkan kebenaran setelah kedua orangtuanya dibunuh, –yang tidak lain- dapat saya katakan jika Batman memulai “kariernya” itu dengan melakukan pembalasan dendam. Nah, kepada Batman inilah, terminologi Derrida dapat diterapkan, Batman telah “mendekonstruksi” konsep pahlawan selama ini. Konsep pahlawan yg selama ini dianggap sesuatu pekerjaan tulus, tanpa latarbelakang “pembalasan dendam” yang mendasarinya, didekonstruksi oleh Batman. Secara singkat, ia mendekonstruksi konsep yang selama ini kita terima sebagai sesuatu yang sudah jelas dan baku dihadapkan dengan antitesisnya. Jadi, bukan hanya kemalangan atau kekejaman yang ternyata diperlukan untuk menyediakan peluang bagi heroisme, namun juga kualitas2 inheren di dlaam tindak kepahlawanan –sama seperti ketika Batman menggunakan kekerasan untuk mengalahkan musuh yang hendak menuntut keadilan kepadanya, seperti Joker.

Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya akan menjadi makhluk freaky yang konyol; bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker. Terapan ilmu ini jauh lebih sulit dari penjelasannya. Bahkan, karena teori ini sulit untuk dimengerti, timbul banyak kontroversi dan kritik terhadapnya. Toh, tetap saja Derrida menanggapi hal tersebut dengan santai, bahkan ia mengatakan, “Tak seorang pun pernah marah pada matematikawan atau seorang dokter yang tidak dipahaminya sama sekali atau kepada seseorang yang berbicara dengan sebuah bahasa asing. Tetapi, mengapa kita nampaknya selalu meminta filsuf untuk berbicara secara “mudah” dan bukanny kepada para ahli-ahli tersebut yang bahkan lebih susah lagi untuk dipahami oleh pembaca yang sama ?”. Kesulitan ini lebih bermuara pada gaya prosanya yang sulit untuk ditembus. Derrida memang mengakui jika Dekonstruksinya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya. Singkatnya, konsep dekonstruksi tidak didefinisikan secara cocok. Derrida sendiri pernah menulis mengenai konsep dekonstruksi ini pada Profesor Izutzu di Jepang pada tanggal 10 Juli 1983, demikian isinya :

“…Dekonstruksi bukan suatu metode dan tidak dapat dibuat menjadi metode apapun…..Benar bahwa dalam mazhab-maxhab tertentu (universitas maupun budaya, khususnya di Amerika Serikat) “metafora” teknis dan metodologis yang dianggap dapat mendekati arti kata “dekonstruksi” ternyata malah merusak atau menyesatkannya saja….Tidak cukup juga bila dikatakan bahwa dekonstruksi tidak dapat direduksi menjadi suatu instrumen metodologis atau memberikan padanya serangkaian aturan dan prosedu-prosedur yang dapat disediakan. Tidak juga dapat diklaim bahwa setiap “peristiwa” dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus tertentu, sedekat mungkin pada sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda tangan. Juga harus diperjelas bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun operasi.”

Derrida menganalogikan Dekonstruksi dengan sebuah contoh dari sejarah filsafat di dalam cerita Phaedrus. Katanya, Plato menceritakan menceritakan mitos mengenai seorang raja Mesir Thamus yang ditawari oleh dewa Thoth kreasinya yang berupa tulisan. Tetapi, Thamus menolaknya. Ia menilai jika tulisan lebih mempunyai banyak potensi bahaya melebihi manfaatnya bagi manusia. Memang, tulisan dapat menawarkan sebuah ingatan kultural dan intelektual yang semakin sulit dikalahkan oleh waktu –yang melebihi penurunan informasi secara turun-temurun melalui tradisi oral. Tetapi karena kemudahan untuk menyerap informasi dari tulisan inilah, maka kemampuan memori manusia mulai merosot. Guru-guru mulai menjadikan buku (tulisan) sebagai penuntun bagi murid-muridnya –di mana tanpa mereka, murid-murid dapat mengalami misinterpretasi terhadap apa yang telah diajarkan oleh gurunya. Dengan adanya buku, maka perlahan-lahan saksi paternal dan budaya saling menyayangi dari guru ke murid akan mulai pudar. Hal inilah –sebenarnya- yang menjadi esensi dan pengetahuan sejati yang diturunkan oleh seorang guru terhadap muridnya -karena guru yang dewasa dan bijaksana secara sejati, memiliki otoritas yang lebih besar daripada tulisan dan tinta, dan dapat menurunkan kedua faktor di atas kepada muridnya. Tulisan hanya akan menjadikan metode pembelajaran sekedar sebagai metode penghafalan, peralatan mekanis untuk menciptakan simulakrum pengetahuan. Bahkan, kata Derrida, Barat sering mencurigai mereka yang mempelajari segala sesuatu dari buku, seolah-olah buku mampu menyingkapkan dan mengungkapkan pengetahuan yang sejatinya tidak mereka pahami. Derrida berpendapat jika pengistimewaan ucapan di atas tulisan seperti ini merupakan prasangka endemik dalam tradisi filsafat dan agama Barat. Derrida melihat jika Plato dalam Phaedrus jatuh dalam metafora-metafora yang ada dalam praktik penulisan. Hal-hal yang dianggap positif dalam cerita –seperti ucapan, memori hidup, dan kehadiran guru- didefinisikan berdasarkan perbedaan kontrasnya dengan hal-hal yang mengancam mereka. Ucapan, contohnya, bukan sesuatu yang berbeda secara fundamental dengan tulisan, melainkan hanya representasi dan semacam tulisan “yang baik”, yang tertulis dalam “jiwa para siswanya”. Plato dapat menggunakan berbagai macam metafora untuk menjelaskan filsafatnya, tetapi tanpa metafora sekalipun, tetap saja, menurut Derrida mereka setara dengan membaca teks belaka. Mudahnya, bagaimana tulisan dapat mengunci dengan kuat bunyi/kata yang keluar dan mereka ucapkan ? Derrida menolak anggapan jika makna mempunyai korespondensi ideal antara bunyi sebuah kata dengan subjek dan makna yang dikandungnya. Menurut Derrida, relasi merupakan objek yang arbiter, yang berubah-ubah menurut waktu. Pendekatan dekonstruktif lebih menyoroti isi teks agar ia dapat menyingkapkan makna yang seharusnya literal namun telah termanifestasi ke dalam berbagai metafora maupun perwujudan kata-kata. Tujuan dekonstruksi bukan utk menjembatani dua jurang yang ada itu –antara kata dan makna-, melainkan hanya utnuk menunjukkan jika jurang itu memang sudah seharusnya ada dan tidak dapat dielakkan lagi.