Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Kamis, 28 Oktober 2010

Sumpah kakek 82 tahun


Sumpah pemuda sudah menginjak angka dua dari kepala delapan. Sebutan kakek sudah tak bisa dipungkiri. Lazimnya kakek, usia senja tersebut sudah tentu mengundang aneka peyakit berbondong-bondong. Asam urat, diabet, hipertensi, asma, katarak, dll. silih berganti menemani sisa umur. Bila ibarat manusia, sumpah pemuda sudah tak relevan lagi untuk diagungkan. Takutnya nanti terlalu silau atau istilah jawanya "ulap".

Lalu salahkah bila kita tetap memperingatinya? em, tentu saja tak salah, meski tak sepenuhnya benar. Pokok permasalahannya itu sejauh mana pemaknaannya. Bila sekedar rutinitas saja, lebih mulia kiranya tak perlu diperingati. Toh, percumtakbergun. Nah, pemaknaan seperti apa kalau begitu? Pertanyaan bodoh barangkali ini.

Pemaknaan sumpah pemuda, mari cermati paragraf awal tulisn ini. Sadar atau tidak, 82 tahun merupakan waktu sedikit untuk mengekalkan sebuah sumpah. Saat ini, sumpah pemuda terbaring di museum dan kalender-kelender umum. Hanya terbatas sumpah, tanpa realita yang jelas. Kalu toh mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia, kenapa setiap etnik suka bertikai? mengaku berbahasa Indonesia, toh Bahasa Inonesia menjadi barang tersier.

Atau barangkali. sumpah pemuda hanya sebuah ikrar masa lalu yang perlu dikubur. Kenapa tidak? Kalau memang sudah nggak relevan ya dikubur saja. "82 tahun sudah dekat dengan liang lahat" kata temanku. Kalau demikian saya anjurkan buat sumpah versi lain. Mungkin bunyinya begini:

KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA: BERSUMPAH TAK SUMPAH-SUMPAHAN LAGI.