Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Sabtu, 08 Desember 2012

JUMPA II



Sudah menjadi kodrat sekolah bila siswa dilarang pake sandal di sekolah. Maka, ketika dijumpai sandal di mushola, sandal itu langsung diambil. Begitulah tim kesiswaan sekolahku. cukup tegas. Tak heran, sehabis Jumatan, pak Fatah (penjaga sekolahan) kebingungan mencari sandalnya. ternyata, sandalnya dikira punya siswa oleh tim kesiswaan. Sehingga dengan tanpa alas kaki menuju ruang BK. Habis Jumatan pun menjadi riuh oleh gelak tawa anak-anak.

Tapi pagi itu saya hanya bisa merasakan detak keriuhan tersebut. pasalnya, saya berada pada jarak waktu 10 tahun dari kejadian itu. Sekarang mushola kecil sekolahku telah menjadi sebuah masjid. bangunanpun sedikit diperluas hingga parkiran. sayap kanan dan kiri diberi pagar. saya duduk di beranda sambil menakar pandangan. Masih sama seperti dulu. tapi berbeda. begitulah yang berkecipak di kepalaku.

ketika tengah berjibaku denganmasa lalu, saya dikejutkan dengan seorang lelaki yang hendak sholat. Rupnya beliau guru di sini. Kebetulan pada waktu dulu, beliau belum ada. sehingga saya tak kenal. namun, spertinya wajah beliau tidak asing. berkelebat bayangan teman di fesbuk.

"Kok, di sini mas" ujarnya bersahaja.

saya menjawabnya dengan sejujurnya. lalu beliau sholat dhuha dan meninggalkan tempat itu. Beliau berpamitan dan tersenyum. Saya masih bimbang apakah itu pak Kuswantoro (teman fesbuk) atau bukan. saya memang punya dua teman di fesbuk yang mengajar di sini. Salah satunya pak kuswantoro dan bu septa, kebetulan kami belum pernah bertemu langsung. keherananku dipecah oleh kegaduhan siswa yang telah ujian. parkiran langsung gaduh oleh dentuman knalpot siswa-siswa. Pikiranku semakin kacau dan badanku bergetar. tapi saya harus berani. saya harus punya nyali untuk menemui guru-guruku.

******

Di pintu kantor saya sempat kaku. tak bisa membayangkan bagaimana ekspresiku bila bertemu dengan Beliau-beliau. tapi, waktu sudah tidak memberikan toleransi. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Maka saya langsung masuk kantor sambil mengucapkan salam dengan cukup parau. bergetar hebat. di pintu, Pak Madjid kusalami. Beliau tampaknya kebingungan.

"Haris ya mas. Mau cari Bu Yanti?"

Saya cium tangannya. Baru kemudian ada celetukan yang menyebut nama saya dengan pelan. Langsung saya sambar dan betulkan.

"Ya, itu nama saya. Saya Shodiqin" ujarku bergetar hebat. campur aduk dan sebagainya.

Distulah saya menyalami guru-guru saya. Sampai bingung saya mulai dari mana. Bu Masrifah, Bu Rini, Pak Apri, Bu Rini, Bu Shinta, Bu Yanti, Bu Nanik, Pak Karyani (Mungkin ada yang terlupa). Bahkan sampai lupa tidak menyalmi guru-guru baru. Bukan berarti saya sombong, tetapi saya merasa di dunia mimpi. Saya bhkan tak percaya bisa bertemu mereka kembali setelah sekian lama tidak berjumpa. Saya lalu duduk dengan posisi salah tingkah. bingung malu, bahagia dan lainnya.

Mungkin pertemuanku hanya sebatas salaman dan basa-basi ala kadarnya. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk menyuntikkan motivasi yang besar ke depannya untukku. Saya memang pemimpi, hidup saya kugantung dengan mimpi yang mungkin bagi semua orang hanyalah kegilaan. Tapi sekarang saya tlah membuktikan, saya kembali ke tempat ini dengan langkah berbeda. Anak desa yang culun dan cupu. Meskipun masih culun dan cupu setidaknya saya bersyukur bahwa langkah saya berbeda.

Terima kasih semuanya. Teh manis dari bu Eva ku tenggak habis. jajan di toples belum sempat kulahap. Tapi senyummu, guruku, telah membuat semangatku menjadi berkali-kali lipat.