Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Minggu, 06 November 2011

Menjadi guru dan tetek bengek lainnya

Seabrek tetek bengek untuk syah menjadi guru dewasa ini (guru di sekolah formal). Harus ini dan itu. Dengan harapan, akan menjadi ideal. Pokoknya serba ribet. Apalagi kebijakan dari pemegang kebijakan, selalu berubah dan makin ruwet. Saya mencoba untuk berpikir positif saja, bahwa itu untuk kemajuan bangsa ini.

Tapi ketika turun ke lapangan, tetek bengek tadi (yang menjadi prasyarat) melempem. Pasalnya tetek bengek tadi terkadang rancu di situasi-situasi tertentu. Setelah saya menjadi pengajar, pembuatan RPP (Rencana Pelaksanaan Pengajaran) ternyata tidak semegah yang saya bayangkan waktu mendekam di bangku kuliah. Itu baru RPP, belum hal-hal lainnya yang sama sekali mengawang di awang-awang.

Ternyata saya hanya butuh sedikit lebih sabar dan lebih kreatif (sedikit) untuk mengajar di kelas. Membuat siswa tersenyum. Membuat siswa terbangun dari tidurnya. Membuat siswa melihat dirinya sendiri dalam konteks masyarakat. Itu saja menurut saya yang penting dalam pendidikan pada situasi yang saya alami (sekolah ekonomi kelas bawah).
Siswa datang saja ke sekolah merupakan sebuah prestasi. Maka jangan berpikir bagaimana mendongkrak prestasi di bidang akademik (meskipun ini juga menjadi tujuan utama). Apalagi fasilitas jauh dari kata memadai. Pemerintah lebih sibuk menyuplai sekolah-sekolahnya (sekolah negeri). Dalam hal ini saya tak menyalahkan pemerintah. Masalah pemerintah terlalu banyak. Sementara masyarakat lebih percaya pada sekolah standar nasional dan standar internasional yang mahalnya luar biasa. Maka tak heran, bila sekolah yang saya tempati menerima siswa-siswa kalah  (gagal tes sekolah di negeri). Diperparah lagi kondisi ekonomi orang tua yang amburadul (Keadaan ekonomi saya juga tidak kalah amburadul).

Bisa dibayangkan, bagaimana tetek bengek yang menjadi syarat malah menjadi beban administrasi yang cukup mengganggu. Terlalu bising dengan ini dan itu, sementara prestasi siswa masih pada posisi "mau sekolah". Tapi tidak berarti sekolah yang saya tempati tamat. Seperti sebuah hukum, bahwa selalu saja ada posisi biner dalam setiap situasi. Meskipun mayoritas kondisi siswa, fasilitas, dan guru di bawah standar.

Tapi saya selalu punya ambisi. Sedikit demi sedikit dengan kerjasama dengan guru lainnya, kami bertekad untuk menuju posisi sekolah standar. Bukankah hidup itu hanya memperjuangkan mimpi? Jadi, tunggu apa lagi. Bangkit.