Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Jumat, 29 Juli 2011

Lampuki; Wilayah baru di serambi mekkah



Nah, Lampuki itu hasil novel sayembara DKJ 2010. Kebetulan jadi jawara. Dan sebetulnya bukan sebuah kebetulan, karena isinya cukup satire dan sesekali (banyak kali) meninju sejarah bangsa ini.

Latar tempat novel ini di sebuah daerah Nangroe Aceh Darusalam, Lampuki. Dari sudut padang orang pertama, cerita dimulai dengan tarik ulur distansi emosi antara si aku dengan salah satu tokoh aktif GAM. Meskipun tidak secara vulgar mendukung GAM, tapi sayup-sayup bayangan simpati terhadap gerakan separatis itu nampak. Konfrontasi antar pemerintah pusat dalam memburu GAM tersebut dilukiskan dengan sederhana. Justru kesederhanaan itu yang membuat mencekam.

Bagaimana kesewenang-wenangan tentara pemerintah dalam setiap operasinya. Tak segan menghajar setiap orang yang dicurigai. Apalagi bila operasi di daerah terpencil yang jauh dari sasran media. Lampuki, tempat yang tidak begitu terpencil. Arafat menggambarkan, senyum serdadu (tentara pemerintah) berhamburan ketika bertemu dengan penduduk. Berbeda dengan di daerah terpencil, garang dan main hajar.



Nah, Lampuki menurut saya berhasil menggambarkan situasi batin orang sipil dalam keriuhan konfrontasi antara pemerintah vs Gam. Pelukisan yang baru, karena jarang wilayah ini ditemukan orang. Maka, bila fiksi masih dianggap sebagai sarana alternatif membaca sebuah fakta, Lampuki wajib kita baca. Kita renungkan. Entah setuju atau tidak setuju, itu urusan lain.