Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Selasa, 26 Juli 2011

Memungut kesederhanaan di angka 66 tahun

Seorang kawanku sering bertanya pada saya, apa sih yang spesial di bulan Agustus itu. Kata temanku, memang ada perayaan semisal lomba-lomba dll. Tetapi itu semua hanya angin lalu, dan tak membekas sebuah cap nasionalisme mempunyai sebuah bangsa yang konon katannya penuh dengan kesuburan.



Saya akhirnya dilema juga, pernyataan temanku tak salah. Selama ini kita amat dekat dengan ritual. Berulang-ulang. Tetapi interpretasi kita terhadap ritual tadi hanya sebatas di muka. Permukaan saja lebih tepatnya. Pengalaman lain seputar rutinitas perayaan, ketika  ngobrol dengan Putu Wijaya, setelah monolognya di HUT RI ke berapa gitu (saya lupa), di Unair. Nah, beliau bilang, seklise apapun sebuah perayaan, tapi pasti ada implikasinya. Pemaknaan sesederha apapun pasti turut serta dalam sebuah ritual rutin. Sehingga Putu merasa perlu ritual perayaan-perayaan untuk mengenang sesuatu. Apalagi yang kita kenang ini, lahirnya sebuah bangsa, ingat bukan bangsat, tapi bangsa.

Angka 66 untuk ukuran sebuah bangsa, memang tak menjadi parameter untuk kemajuan ataupun kemunduran. Meski, kita sering dilabeli sebagai negara yang sedang berkembang. Berkembang yang penuh kerancuan, apakah normal atau abnormal. Nah, saya pikir ritual-ritual rutinan pitulasan (17 Agustus) harus senantiasa ada. Permasalahannya bukan pada serutin atau sesering, tetapi memungut kesederhanaan pemaknaan. Tentu saja ini perlu pengawalan, supaya tak sekedar perayaan yang menguap ditelan udara.

Teman saya, hanya manggut-manggut ketika saya gurui. Saya jelaskan dengan berapai-api, bahwa perayaan itu perlu. Raut mukanya tampak sekali kalau belum "Ngeh", dan terlihat dipaham-pahamkan suapaya aku senang. Mungkin ini lho. Aku hanya tersenyum kecut, sebab argumentasiku masih belum sepenuhmya kuterima. Bahwa perayaan itu tak perlu. Tak perlu rutinitas. Mubazir. Namun saya takut untuk berbicara lebih jauh. Setelah berdiam agak lama, aku putuskan untuk pulang. Aku tersenyum Diapun tersenyum. Ritual sebelum kami berpisah.