Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Rabu, 06 April 2011

Sastra Selayang Pandang

Semua orang tahu apa yang dimaksud dengan cahaya. Tetapi akan amat rumit ketika kita mencoba mendefinisikan apa yang dimaksud dengan cahaya. Hal dilematis ini pulalah juga yang menimpa orang-orang berkecimpung di dunia sastra. Perdebatan sengit tentang definisi sastra dari kalangan pecinta, peneliti, bahkan sastrawan sendiri tak bisa terelakkan.

Teeuw, dalam Sastra dan Ilmu Sastra, mengakui jika batasan-batasan yang dibuat masih berputar pada sempit atau longgar. Pakar sastra Indonesia asal Belanda itu, mencoba mendekati definisi sastra dari akar katanya littera (huruf: Yunani) dari litteratur (Sastra:Inggris). Secara harfiah, littera (huruf: Yunani) berarti tulisan. Sementara dalam perkembangannya litteratur(Sastra:Inggris) berarti tulisan yang indah. Tetapi kesimpulan akhir, bahasa tulis ternyata tidak identik dengan bahasa sastra.

Plato mengatakan jika sastra bernilai rendah, karena hanya copyan dari realitas yang tak dapat diindra. Aristoteles, murid Plato, menentang gurunya bahwa sastra adalah khatarsis. Luxemburk dkk. menyatakan jika unsur sastra yakni fiksionalitas. Dengan kata lain, yang bukan fiksi adalah bukan sastra. Bagaimana dengan Arjuna Wiwaha, Ramayana dan Mahabaratha? Sulit juga untuk mengatakan novel teenlit dan harlaque roman adalah sastra. Bahkan, Andrea Hirata yang sudah memproklamirkan bahwa tetraloginya adalah novel sastra, banyak pihak juga yang mengklaim bahwa tetralogi laskar pelangi bukan novel sastra. Hal serupa juga terjadi dengan novel Ayat-Ayat Cinta.

Lalu apakah sastra itu yang sebenarnya? Bila di sekolah menengah, definisi sastra bisa kita jumpai sebagai tulisan yang indah. Mungkin siswa-siswa akan merasa puas dengan definisi itu. Tapi tidak dengan orang yang bergelut di dalamnya. Pertanyaan kemudian adalah, keindahan yang seperti apakah sebagai tolak ukur untuk menghakimi suatu karya sebagai sastra atau tidak? Sebagai bagian dari seni yang bermediumkan bahasa, fungsi sastra via Homerus dengan dulce et utile juga tak banyak membantu untuk mendapatkan definisi tepat mengenai sastra.

Pada akhirnya, kita tahu sastra dan bergelut dengannya. Karena keindahan sebagai tolok ukur sastra adalah masalah rasa, maka kita cukup memahami saja. Sambil memanfaatkan fungsi sastra ala Homerus. Bahwa fungsi sastra yakni memberi keindahan dan kebermanfaatan.