Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Rabu, 06 April 2011

Hiruk Pikuk "Ruang Antara" dalam Novel "Anak Semua Bangsa" Karya Pram

Apa saja telah berkembang dalam diri bangsa ini? Dan sebagai butir pasir dari gurun bangsa-bangsa Asia samar-samar aku ikut juga berbangga sekalipun, ya, sekalipun sebagai pemuda anak bangsa Jawa, aku rasai berada di tempat jauh, jauh sebagai anak bangsa jajahan. (Pramoedya)

Anak Semua Bangsa (selanjutnya ASB) merupakan satu bagian dari empat roman Pram yang ditulis di Pulau Buru, lebih dikenal dengan Roman Tetralogi Buru. Bila pada Bumi Manusia merupakan periode penyemaian dan kegelisahan, maka roman kedua ini, Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa.

Novel ASB menjadi begitu penting untuk melihat sejarah periode gerakan nasional awal yang kelak akan melahirkan sebuah konsepsi tentang keindonesiaan dari perspektif lain. Maksud perspektif lain yakni sejarah tidak disampaikan secara kering sebagaimana terskripta dalam buku-buku pelajaran di sekolah yang memberi jarak antara pembaca dan kurun sejarah yang tercerita. Tetapi, kita akan diseret untuk mengambil peran dari karakterisasi tokoh-tokoh dalam ASB. Karena karya sastralah yang dianggap sebagai media paling tepat untuk melukiskan dilema situasi kolonial, melalui penceritaan kembali, baik secara citra maupun arketipe. Pertama, karya sastra adalah bahasa, sistem tanda, sehingga sangat tepat untuk melukiskan perasaan. Kedua, karya sastra bukan objektivitas itu sendiri. Masalah-masalah yang dikemukakan dalam karya sastra bukan kolonialisme sebagaimana dipahami dalam dalam sejarah umum, melainkan apa yang dibuat oleh kolonialisme. Ketiga, sastra adalah refleksi sekaligus reflaksi, inovasi sekaligus negasi dan afirmasi. Melalui kemampuan kreativitas imajinatif karya sastra pada gilirannya melukiskan masalah yang ada sekaligus mungkin ada, bahkan yang mungkin sama sekali tidak ada dalam kenyataan.

Lewat tokoh-tokohnya, Pram berhasil menyodorkan aneka renik-renik permasalahan kolonial yang cukup pelik. Permasalahannya tidak sekedar penjajah melawan terjajah yang kemudian menghasilkan simpulan bahwa penjajah selalu salah. Dikotomi penjajah dan terjajah, akan lebih menarik bila kita mencermati lewat kerangka poskolonial. Hal ini menyebabkan kita akan menjumpai akulturasi penjajah dan terjajah secara periodik yang akan menghasilkan “ruang antara”. Selanjutnya “ruang antara” akan menghadirkan hibriditas, dan ambivalensi. Implikasinya seperti pernyataan Edward Said, bahwa identitas tak pernah tunggal (non monolit luar biasa).

Biasanya “ruang antara” dialami oleh kalangan terpelajar dari bangsa terjajah. Pendidikan Eropa membuat Minke dalam kontruksi sosial Bourdieu, sebagai agen via habitus serta modal tersendiri di arena kolonial untuk meneguhkan dominasi. Minke sadar dengan kultural bangsanya yang selalu bermegah-megahan dengan nama. Dengan wawasan yang dimilikinya, Ia menyindir kemudian membandingkan dengan Shakespeare.

“…..Dan birokrat dan ningrat Jawa, bangsaku, suka memilih nama indah-indah sebagai hiasan. Juga untuk mengesani, mempengaruhi diri sendiri serta umum selingkungannya, dengan keindahannya. Shakespeare dramawan Inggris itu tak pernah mengenal birokrat dan ningrat Jawa yang suka berindah-indah dengan nama, malahan suka mengukuhkan jabatan pada namanya pula.” (2009: 26).

Kritik Minke merupakan sebuah hibrida, sehingga menimbulkan identitas baru serta ambivalensi di sisi lain. Apakah ambivalensinya? Dengan memerbandingan tersebut, Minke otomatis menerima keunggulan Eropa dibanding bangsanya. Hal sama juga terjadi ketika Minke menanggapi keperkasaan Jepang sebagai Negara asia satu-satunya yang diakui oleh Eropa sebagai sebuah negara berdaulat. Minke berfikir jauh dari posisinya sebagai kaum terjajah yang identik dengan dominasi penguasa (baca: penjajah). Ia melihat Jepang sebagai sebuah kebanggaan dari persamaan geografis, benua asia.

“Apa saja telah berkembang dalam diri bangsa ini? Dan sebagai butir pasir dari gurun bangsa-bangsa Asia samar-samar aku ikut juga berbangga sekalipun, ya, sekalipun sebagai pemuda anak bangsa Jawa, aku rasai berada di tempat jauh, jauh sebagai anak bangsa jajahan……Yang ada terasa olehku: Eropa mendapatkan kemuliaan dari menelan dunia, dan Jepang dari menggerumiti Tiongkok.” (2009: 57)

Pembayangan Minke sayup-sayup bisa kita tangkap kesadaran posisi sebagai anak jajahan yang secara kultural terdominasi dalam sistem kolonial. Maka kemudian munculah keprihatinan Minke menghadapi situasi seperti ini. Betapa aneh kalau setiap kemuliaan dilahirkan di atas kesengsaraan orang lain. (hal. 57). Inilah ambivalensi di sisi lain, keagungan Eropa ternyata menyimpan borok. Lebih tajam Pram membidik Eropa lewat tokoh Ontosoroh, perempuan pribumi dengan segudang pengetahuan Eropa. Ia menilai bahwa Eropa tak sepenuhnya agung seperti dalam gambaran ideal pembayangan selama ini.

“Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di manapun ada yang mulia dan jahat. Di manapun ada yang malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi: yang kolonial, dia selalu iblis. Kau hidup dalam kolonial. Kau tak dapat menghindari. Tak apa asal kau mengerti, dia iblis sampai akhir jaman, dan kau mengerti dia memang iblis.” (2009: 110-111)

“Ruang antara” juga diperebutkan oleh non pribumi. Sahabat Minke dari Belanda, Miriam de La Croix, memaparkan pandangannya terhadap permasalahan Jawa dan Hindia dengan Eropa. Miriam mengajak Minke untuk melihat Eropa dan Hindia secara seimbang. Bukan lantaran Eropa penjajah kemudian semua yang Eropa buruk. Lalu pada surat-surat yang lainnya ia mengajak Minke bekerjasama untuk yang terbaik bagi Jawa, Hindia, dan Eropa.

“Tidak benar Jawa dan Hindia dikuasai Eropa semata-mata karena kerakusannya…..Sekiranya Jawa dan Hindia pada jaman yang sama jauh lebih maju daripada Eropa, dengan kapal-kapalnya datang menjelajah Eropa, adakah akan kau kira Eropa berbahagia karena dijajah bangsamu? (2009: 144)

Dialog-dialog di “ruang antara” mau tak mau menghasilkan wacana hibriditas dan identitas baru. Pram berhasil untuk tidak terjebak pada titik di mana dia sendiri adalah produk dari kolonialisme bangsanya. Secara cerdik, Pram meramaikan “ruang antara” dengan isu nasionalisme yang dikemukakan Ter Haar. Ter Haar merupakan orang Eropa berpaham liberal yang kritis terhadap penguasaan Eropa di tanah jajahannya. Ia memberitahu Minke perihal organisasi modern, sebagai senjata modern untuk melawan terhadap dominasi Eropa. Ia mencontohkan bagaimana pemuda Tiongkok menggugat dominasi golongan tua dalam politik. Lalu angkatan muda Filipina dalam melawan penjajahan Spanyol. Bagi Minke yang dirasa penting dari Ter Haar yakni konsep nasionalisme.

“Dalam kabin kubuka kamus. Tetapi keterangan tentang nasionalisme itu sama gelapnya dengan keterangan Ter Haar, tak memberikan gambaran yang memuaskan. Tak ada sedikit pun kesamaan dengan kehebatan yang digambarkannya tentang kebangkitan Filipina terhadap Spanyol dan Amerika Serikat.” (2009: 417)

Wacana-wacana dialogis yang kontinyu antar penjajah dan terjajah pada kerangka poskolonialisme berlangsung dalam “ruang antara’. Kita bisa melihat bagaimana kepiawaian Pramoedya, berlari-lari dari identitas satu ke lainnya dengan tak terjebak pada satu sisi.

Dalam istilah Bourdieu, kita bisa menempatkan tokoh-tokoh dalam “ruang antara” sebagai praktik intelektual kolektif di arena kolonial. Semua agen (baca: tokoh) berjuang dalam arena kolonial dengan habitus plus modal intelektualitasnya masing-masing untuk memerjuangkan kebenaran tanpa sekat-sekat dan berlandaskan kemanusiaan. Minke, Ontosoroh, Miriam, Terhaar, merupakan agen-agen yang mempunyai kepentingan untuk menggugat konsepsi ketakadilan dan penindasan.