Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Jumat, 13 Februari 2015

Tikus


Tidak semua orang suka tikus. Termasuk saya. Saya ini tidak suka dengan tikus. Di rumah, semenjak sepuluh hari ini rumahku disatroni kawanan tikus. Tidak hanya satu, tapi kira-kira 10 ekor. Bisa lebih. Soalnya setiap kepergok, tikus-tikus ini langsung ngacir. lagian bentuknya mirip-mirip. kalau saya berhasil hitung, itu perkiraan kasarnya. Ada yang besar dan sebagian lagi masih junior. Istri dan kedua anakku mulai berisik.
"Pa, mama mulai terganggu"
"Ya, Pa. Kakak dan adik juga tak nyaman lagi. Ayo pindah Pa.." sulungku merengek.
" Pa,,, Mama tak tahan lagi. Ini tikus sudah kita racun semua. Tapi kan faktanya... Usul kakak itu bagus. Kita pindah Pa. Kalau perlu dari kota ini. Ke luar pulau juga ndak apa-apa. Saya takut sial dengan keberadaan setan-setan itu.."

Semenjak dialog malam itu, istri dan kedua anakku berubah. Sudah tak lagi terbuka seperti biasa. Sesekali tersenyum dan banyak diamnya. Saya tahu, ini buntut penolakanku pindah rumah. Lagian, kalau dipikir pikir, kenapa harus ekstrem sekali pikiran keluargaku ini. Ini hanya soal tikus. Sekali lagi, tikus. 10 hari saja sudah mampu mendongkel puluhan tahun di rumah warisan ini. Apa tidak gila. Apakah kalau pindah rumah, bisa sesederahana itu. Pindah, kemasi barang, lalu tempati rumah baru. Ah, itu konyol sekali. Pindah rumah itu sama halnya mencerabut pohon dengan akar-akarnya lalu dipindah dengan ditanam lagi di tempat baru. Ditanam seakar-akarnya. Ya, kalau tempatnya cocok. Bisa tumbuh lagi. Risikonya terlalu berat. Ini simpulan terakhir. Makanya solusinya, mengusir paksa kawanan tikus sialan itu. Faktanya, sampai hari ke dua puluh, tak ada perubahan yang berarti.

"Papa tidak setuju pindah rumah. Ini namanya kalah telak. Keok. Masa sama tikus saja kita kalah. Murahan sekali." Istriku masih belum memberikan pendapatnya. Malam itu dia kelihatan cantik sekali.
"Percaya sama papa. Risiko terlalu besar kalau pindah. Pindah? Tak semudah itu ma..." Istriku masih diam. Matanya menerawang. Saya hafal. Istriku akan diam kalau sedang ada masalah. Bukan diam menurut. Tetapi, merencanakan entah itu apa. Selama ini diam-diam saya kagumi kejeniusan dia. Tapi kali ini saya pikir idenya terlalu berlebihan. Pindah rumah. jelas bukan hal bijak.

Malam itu, ketika Hanum sudah tidur. Saya mengendap menuju dapur. Di dapurlah biasanya kawanan bangsat itu berlarian. Aneh juga, kenapa hanya dapur? Tiba-tiba ada hal yang baru malam ini kusadari. Langkahku terhenti. Ada pemandangan aneh di depanku. Bangsat-bangsat itu sedang bergerombol di meja makan. Yang paling besar, dikelilingi kawanan lainnya yang ukuran tubuhnya lebih kecil. Kuperhatikan semuanya. Hampir saja saya muntah, membayangkan mereka berlalu lalang di piring-piring kami. Di gelas-gelas kami. Di panci. Di penggorengan.

"Darno.." aku tergeragap. Suara itu dari arah meja makan. Tidak salah lagi, setan besar itu menatapku tajam. Seperti dalam dongeng. Hewan sialan itu bisa bicara. Memanggil namaku pula.
"Lebih baik, kamu tinggalkan rumah ini. Pindahlah secepatnya.." Lagi-lagi saya tercekat.
"Bangsat, kenapa kamu bisa bicara?" Gerombolan di meja makan itu tertawa lepas. Mengakak seperti mendengar lelucon.
"Darno. Kamu jangan sok suci. Kami lebih baik darimu. Kami ini hanya tikus dapur. Takdir kami sebgai tikus original. Asli. Tidak jadi-jadian."
"Maksudmu?" sahutku dengan suara agak berbeda.
Lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Saya merasa terhina.
"Mamaaaaaaa, papa mirip tikus.." Suara itu disusul kehadiran istriku. Disusul lolongan dan tangisan.

(Ruang kerjaku, 13/2/15: 23.00)