Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Rabu, 10 November 2010

Meneropong kesesastraan kita

Sebuah diskusi sastra menarik, berlangsung di tengah pagelaran Festival Seni Surabaya. Dengan lakon, Sastra Indonesia 25 ke Depan, pihak panitia menyuguhkan tentor-tentor handaal semacam Afrizal Malna, Kris Budiman, Yoga S, Ayu Sutarto, Budi Dharma dan Cahyono. Mereka berkelindan menelusuri sejarah kesusastraan ke depan. Spesial lagi, hadirin yang turut serta terdapat beberapa muka tenar yakni: Lan Fang, Shoim Anwar, Shoim Anwar dan pegiat sastra dari berbagai komunitas.

Sastra Indonesia saat ini merupakan sebuah skandal dengan legitimasi-legitimasi tertentu. Lebih jauh, Afrizal berbicara mengenai sejarah yang diciptakan untuk ditaati bukan dipahami. Sejarah sastra sampai saat ini belum ada, menurutnya, cuma ada perodisiasi dan angkatan yang ada. Lalu bagaimana sastra ke depannya? Sastrawan plontos ini menyatakan jika kedepannya, sastra akan menjadi milik orang-orang di luar komunitas sastra. Hal ini diamini oleh Budi Darma, yang waktu itu menjadi panelis.

Sebagai sosiolog, Kris Budiman melihat dari perspektif globalisasi. Dia menyebut saat ini merupakan generasi post televisi, sehingga pemikiran generasi sekarang akan berpola lain dengan generasi sebelumnya. Selanjutnya, sastra masa depan mmerupakan sastra visual dengan durasi minimum. Fakta ini melihat dari menjamurnya cybersastra. Dengan media monitor, ketahanan baca kita menjadi minim. Implikasinya tulisan tulisan sastra akan terdesak menjadi miniatur dan visualisasi menjadi sebuah daya magis. Meskipun demikian, sastra tebal akan tetap ada lewat cara konvensional.

Sastra kita adalah sebuah ketegangan, begitulah sosiolog Unair, Yoga S, berpendapat. Tarik ulur pusat dan pinggir akan selalu mewarnai perjalanan sastra kita ke depannya. Sementara Ayu Sutarto menilai, kekuatan sastra etnik tak perlu dicemaskan. Karena bila semua sudah terkaver dengan tulisan, maka semua etnik akan bangkit menunjukkan jati dirinya. Tak ada yang perlu dikalutkan, tambahnya.

Budi darma menambahkan, jika sastrawan yang mampu berbicara banyak adalah mereka yang selalu teguh hati. Baik fisik maupun batin. Dengan tak ikut arus, maka orisinalitas plus ideologi akan terumus dalam literer yang kuat.