Menu

Puisi (60) Resensi (19) Opini (17) Sastra (16) Cermin (15) Menjadi guru (13) Teror (9) Sabda Pemilik Kampung (8)

Rabu, 01 Juli 2015

Lelaki Penggenggam Banner itu Telah Pergi


Di hari pertama puasa kali ini, saya mendapati kabar yang begitu membuat diriku terhuyung. Salah satu sahabatku harus memenuhi panggilanNya. Entah bagaimana saya dapat membalas apa yang selama ini dia berikan di tiap kebersamaan kami.
-----------
Hakim, salah satu murid saya yang memiliki integritas. Saya mengenalnya lima tahun yang lalu. Saat mengajar di SMK Tri Guna Bhakti, kelas Hakim lah yang pertama kali kumasuki. Meski sekolah berada di pinggiran kota, namun anak-anak dalam kelas itu memiliki daya tarik. Tentu saja, salah satunya sang kapten, yakni Hakim. Di kelas, dia cukup menonjol. Murah senyum. Dan amat antusias dengan apa yang saya sampaikan. Sebenarnya, saya tak menyangka juga jika dua dari siswa kelas tersebut akan menjadi sahabatku ke depannya. Hakim dan Rama. Keduanya, kerap tertukar saat aku memanggil keduanya. Bukan karena mirip, tetapi jeleknya daya ingatku.

Selepas lulus pun, susah sekali mengusir tentang sosok Hakim. Dan kalau sudah berpikir Hakim, saya juga akan mengingat Rama. Satu paket. Ini juga bukan tanpa alasan. karena tiap saya bertemu Hakim, hampir pasti selalu ada Rama. Kalaupun bertemu salah satu dari mereka, saya akan tanya lebih dulu: Hakim ke mana? atau Rama ke mana?

Persahabatan kami lebih intens saat bulan puasa dua tahun lalu. Kebetulan saya tinggal sendirian. Sehingga kerap keduanya bermalam di kontrakan. Kobtrakan saya berada di daerah Asempayung, Gebang putih. Belakangnya kampus ITS. Padahal rumah keduanya cukup jauh dari tempatku. Namun karena barangkali ada chemistry diantara kita, kebersamaan itu tak bisa dielakkan. Entah itu mulai berbuka bersama, sahur bersama, atau ngobrol sana sini sambil bermain playstation. Saat bermain PS, Hakim tampil begitu digdaya. Aku tak pernah bisa mengalahkannya. Namun begitu, saya tak pernah mengakui kekalahan saya. karena selalu ada saja alasan yang saya utarakan.

Di lain waktu, pernah juga membuat film dokumenter tentang perjalanan kami mencari takjil gratis. Kami menyebutnya dengan tiga kaum dhuafa. Tujuannya yakni masjid Al-falah, berada di sebalah selatan Taman Bungkul. masjid tersebut memang mengalokasikan takjil baik makanan dan minuman yang cukup banyak. Yang saya sayangkan, film itu tak bisa kutemukan lagi di mana lektaknya.

Yang cukup terkaing-kaing yakni saat sahur bersama. Berharap di masjid Al-Akbar, Pagesangan, ada kegiatan sahur gratis. Ternyata tak sesuai dugaan. Kami parkir di masjid sekitar pukul 02.00. karena tak ada tanda-tanda ada makanan gratis, akhirnya kami mencari penjual makanan. Alhamdulillah, susah sekali menemukan mereka. Sampai kaki kami menginjak pasar Jambangan. Di situ terdapat satu-satunya penjual soto ayam, yang kebetulan akan tutup. Terpaksa dengan negosiasi, kami menikmati soto super hemat di depan ruko. Subuh yang masih lama, membuat kami tiduran di lantai ruko. Saling membincangkan kebodohan kami pagi itu. Hakim dengan kekonyolannya. Dilengkapi Rama. Biasanya kalau begitu, saya yang dikeroyok.

Sempat vakum beberapa bulan, setelah sebelumnya sebulan penuh dalam kebersamaan. kami bertemu lagi di kos-kosan baruku. Di daerah Bulak Rukem Timur. Hakim dan Rama kembali bersamaku. Tiap malam kami selalu beradu kepandaian main catur. Untuk urusan catur, saya lebih canggih ketimbang memencet tombol stick PS. Hal ini sampai-sampai, saya kadang lupa kalau dulu Hakim pernah menjadi muridku. Karena ejekan saya kadang vulgar dan cenderung kekanak-kanakan.

Hakim & Rama, merupakan satu paket. Tapi mereka bukan sisi mata uang. Mereka adalah manusia sebagaimana saya. Tak jarang saya mendapati mereka tidak akur. Kadang masalah kecil yang kemudian dibakar egois, menjadi emosi berlebih. Menurutku ini bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Ini manusiawi. Pershabatan tanpa ketak akuran, susah sekali dibayangkan. kalau sudah begitu, saya akan berdiri di tengah. membiarkan mereka belajar dari emosi-emosi yang meletup. Buktinya, mereka mampu melepaskan masalah dari ketak akuran menjadi seperti sedia kala. Baik-baik saja.

Puncaknya, ini saya pikir, keduanya menjadi pendamping saya dalam menyiapkan ribetnya prosesi pernikahan. Mulai melipat undangan. Menjemput Bapak dan Pakdheku di terminal. Menemaniku di malam-malam menjemput hari bahagia. Tidur dalam sebuah ruangan sempit dengan peserta tidur yang membludak. Menjadi tukang foto di akad nikah. Mengunjungi anakku yang baru saja lahir. Hakim dan Rama telah benar-benar masuk ke wilayah-wilayah privat, yang bahkan saudaraku tak tahu. Saat demikian, saya menjadi lebih berarti. Saya sebatang kara, ibuku meninggal. Bapakku juga tak pernah bersamaku semenjak kecil. Sementara saudara-saudaraku berada di kampung.
-----------
Kabar dari Bu Ari pagi itu, membuat skema emosiku berubah drastis. Hakim, sahabatku, telah berpulang. Kecelakaan. Secara detail aku tidak bisa menceritakan di sini. Namun, sekali lagi siklus kehidupan akan senantiasa terjadi. Sahabatku, pagi itu, telah lebih dulu menghadap Allah. Selanjutnya tentu saja, giliran kita yang akan menghadapNya.

Selamat jalan, mas Hakim (laki-laki penggenggam banner)

:Di suatu waktu, saya dan Rama akan mengunjungimu

(Prambon, 18 Juni 2015)